Cerita mahasiswa.
Minasan, konnichiwa!
Kali ini admin menerima tulisan dari Sera-san yang telah kembali dari kuliahnya di Musashino University. Menarik sekali ceritanya mengenai kerja keras Sera-san bekerja sambilan di Jepang untuk memenuhi kebutuhan hidup selama kuliah. Sepertinya Sera-san yang sekarang sudah dewasa dengan berbagai pengalaman yang dicari secara aktif selama berada di Jepang. Patut dijadikan contoh bagi adik-adiknya yang sekarang sedang belajar bahasa Jepang di Departemen Pendidikan Bahasa Jepang UPI ataupun adik-adik SMA yang ingin kuliah di DPBJ UPI ini. Terima kasih Sera-san telah berbagi cerita. Teruskan semangatnya hingga tercapai cita-cita yang diinginkan. Dewa dewa, yuk kita simak cerita Sera-san berikut.
Pengalaman Belajar Di Musashino University di Masa Pandemi
Serafina Dara Firdaus
Tahun 2020 bisa dibilang sebagai tahun yang paling banyak memberikan saya pembelajaran dan pengalaman baru. Di tahun itu alhamdulillah saya mendapatkan kesempatan untuk menimba ilmu selama satu tahun lamanya di negara Jepang, negara yang selalu saya impikan. Tetapi di tahun tersebut juga pertama kalinya muncul sebuah virus yang sampai saat ini-pun masih marak peyebarannya di berbagai belahan dunia, covid-19. Tahun lalu tepatnya di bulan Maret mendekati hari keberangkatan saya, tiba-tiba ada berbagai kendala yang hampir saja membuat saya tidak jadi berangkat. Jujur saya pun sebenarnya di titik itu sempat meragu, sempat takut. Siapa juga yang tidak takut dengan virus yang membuat panik banyak negara? Akan tetapi melihat dukungan dari kedua orangtua saya, akhirnya saya tetap mengusahakan agar akhirnya saya bisa tetap berangkat ke Jepang.
Setelah mengurus berbagai berkas tambahan akhirnya tiba juga di hari saya harus berangkat. Melihat langsung bandara yang biasanya ramai tiba-tiba menjadi tidak berpenghuni, justru tambah membuat saya menjadi khawatir. Berpisah dengan orangtua di pintu keberangkatan rasanya berat sekali. Selama di perjalanan saya bahkan tidak berani untuk melepas masker N-95 dan sarung tangan yang saya kenakan sekali-pun. Pihak kampus yang awalnya akan menjemput saya di bandara, pada akhirnya tidak bisa datang dikarenakan pada saat itu kondisi di Jepang masih sangat ketat akan mobilitas, dan bandara dinilai sebagai tempat yang rawan untuk dikunjungi. Dari sini saya mulai paham bahwa karena virus ini, kedepannya-pun akan ada banyak hal yang berubah atau berganti secara mendadak, dan saya yang harus menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Karena itu sesampainya di bandara saya langsung bergegas pergi ke asrama kampus menggunakan kereta.
Sesampainya di asrama saya disambut oleh beberapa orang guru dan juga pihak kampus, saya juga bertemu murid asal Thailand yang baru saja tiba seperti saya. Asrama yang saya tinggali sangat besar, tingginya lima lantai yang tiap lantainya ada lebih dari 10 kamar. Saya awalnya senang karena saya kira saya akan bertemu banyak murid lain disini, akan tetapi ternyata banyak sekali murid yang tidak jadi berangkat karena negara mereka sudah terlanjur melarang penerbangan internasional. Karena itulah asrama besar itu nanti akhirnya hanya akan dihuni oleh setidaknya 20 orang saja dan lantai paling atas hanya diisi oleh 2 orang. Ya, saya dan salah satu teman saya.
3 minggu di awal saya tiba hanya diisi oleh isolasi mandiri dan mengurus berkas-berkas yang tentunya perlu diurus secepatnya. Saya juga mulai mencari lowongan kerja part-time di internet, aplikasi khusus pencari part-time job dan saya juga datang ke mini market-mini market disekitar asrama untuk menanyakan langsung apa mereka sedang mencari part-timer. Dan pada minggu ke 4 akhirnya perkuliahan dimulai, yang tentu saja diselenggarakan secara online. Awalnya saya sedih karena acara penerimaan murid baru, bahkan kelas yang nanti akan diselenggarakan kedepannya akan berbentuk online class, tetapi melihat kondisi yang seperti ini ya mau tidak mau harus dijalani.
Musashino University, itulah nama kampus tempat saya belajar dua semester lamanya. Sebelum saya tiba di Jepang, pihak universitas memberikan saya placement test online. Karena itu ketika pembelajaran dimulai saya sudah secara otomatis ditempatkan di kelas yang sesuai level saya. Yang saya pelajari disana tidak jauh dari pelajaran Bahasa Jepang pada umumnya, lalu saya juga bisa mengikuti beberapa mata kuliah yang muridnya bercampur dengan mahasiswa jepang asli. Dan beberapa bulan sekali juga ada mata kuliah kesenian tradisional yang diselenggarakan seperti 書道 (calligraphy) dan 短歌 (short poem).
Setelah sebulan terlewati, saya akhirnya diterima bekerja di salah satu mini market di dekat asrama. Tapi lama-kelamaan saya menyadari bahwa gaji dari mini market saja tidak akan cukup menutupi uang kebutuhan pribadi saya. Ya, beasiswa yang saya terima bukanlah beasiswa full. Memang saya tidak perlu membayar uang studi, akan tetapi uang kebutuhan pribadi, saya sendiri yang harus menanggungnya. Ditambah lagi kampus dan asrama saya yang posisinya berada di Tokyo, tentu saja mempengaruhi tagihan-tagihan yang perlu saya bayar menjadi lebih mahal dibanding harga-harga yang ada di luar Tokyo. Bahkan asrama besar yang saya tinggali saja tagihannya 40.000yen/sebulan, dan itupun belum termasuk tagihan listrik, gas, air, dan lainnya.
Lalu apa yang saya harus lakukan? Tentu saja mencari part-time job yang lain, yang memberikan setidaknya lebih banyak gaji dari part-time job saya yang pertama. Sudah sampai sejauh ini bukan waktunya untuk mengeluh lagi saya pikir. Memang terdengarnya melelahkan tapi saya yakin ini bisa menjadi kesempatan bagi saya untuk bertemu lebih banyak orang baru dan juga mendapat lebih banyak pengalaman baru.
Setelah melamar part-time job secara online, dan melewati wawancara dengan pemilik melalui telepon, lalu mengikuti training selama 2 minggu, akhirnya saya diterima bekerja di kaiten-sushi di daerah ginza. Saya di sana bekerja di bagian kitchen, saya tentunya merasa senang karena mendapatkan pengalaman membuat banyak sushi selama berada di Jepang. Bukan hanya sushi, saya juga dipercaya pemilik untuk membuat minuman, salad, dan juga dessert. Benar-benar pengalaman yang menyenangkan, saya pikir. Tidak hanya itu, saya juga bertemu banyak teman baru yang umurnya bervariasi dari 18 tahun sampai 50 tahun. Memiliki teman yang umurnya bervariasi membantu saya berlatih untuk berbicara bahasa Jepang secara non-formal kepada yang seumuran dan berbicara secara formal kepada yang lebih tua dengan natural.
Selama dua semester hari-hari saya kebanyakan diisi dengan online class dan part-time job. Selama di sini saya bukan hanya belajar materi perkuliahan, saya juga belajar caranya me- manage keuangan sendiri, belajar disiplin waktu, dan tentu saja mengasah social skill yang saya miliki. Awalnya mengikuti kelas ditambah bekerja di dua tempat sekaligus memang melelahkan, tapi lama-lama ternyata badan saya dengan sendirinya mulai terbiasa.
Kadang saya juga pergi bermain dengan teman asrama, teman kelas, teman di tempat kerja, juga teman Indonesia yang sama-sama sedang belajar di Jepang. Karena menurut saya istirahat itu juga penting, uang memang bisa dicari lagi tapi waktu dan pengalaman tertentu hanya akan ada di suatu moment saja. Oleh karena itu, selagi ada uangnya, selagi ada waktunya, selagi ada yang menemani, saya pasti akan menggunakan kesempatan itu untuk mengunjungi daerah-daerah di Jepang yang belum pernah saya kunjungi.
Tidak terasa sudah hampir satu tahun lamanya. Online Class akhirnya berakhir, Saya juga akhirnya keluar dari tempat kerja saya. Yang awalnya program ini saya jalani dengan penuh rasa takut dan ragu akhirnya berakhir dengan cepat, tidak terasa dan dengan perasaan “aku masih ingin di sini”. Memang saya menjalani ini semua sendiri, tapi tentu saja saya tidak akan bisa sampai titik ini tanpa bantuan dari orangtua saya, sensei-sensei saya di UPI, sensei-sensei saya selama disini, teman-teman saya yang ada di Indonesia dan juga teman-teman saya yang ada disini. Atas doa-nya, supportnya, nasihat-nasihatnya, sungguh saya sampaikan terimakasih banyak.