Cerita Mahasiswa.
Minasan, konnichiwa!
Kali ini admin ingin mengenalkan bagaimana pengalaman kuliah bahasa Jepang di Korea Selatan yang terbilang program ini baru pertama kali terlaksana setelah Departemen Pendidikan Bahasa Jepang UPI menandatangani MoU dengan pihak Bussan University of Foreign Studies di tahun 2019. Dengan MoU ini kesempatan mahasiswa DPBJ untuk belajar di luar negeri menjadi semakin luas. Apalagi dengan banyaknya mahasiwa jurusan bahasa Jepang yang juga selain gemar budaya Jepang juga gemar budaya Korea, membuat daya tarik tersendiri bagi mahasiswa itu sendiri.
Pada keberangkatan yang pertama ini, ada 2 mahasiswa DPBJ UPI yang pergi ke universitas tersebut dengan beasiswa. Salah satu diantaranya bernama Novita Risyanti. Sangat disayangkan karena pandemik yang melanda hampir di seluruh dunia, tidak terkecuali Korea Selatan, membuat seluruh perkuliahan hanya dapat diikuti secara online. Tapi ternyata dengan keterbatasan tersebut, Novita masih dapat mengenal dan merasakan budaya Korea. Bagaimana ceritanya selama satu tahun di Korea? yuk simak tulisan dari Novita berikut.
Belajar Bahasa Jepang di Korea Selatan di Tengah Pandemi
Novita Risyanti
Ketika seseorang mempelajari suatu bahasa asing, mempelajari bahasa tersebut langsung di negara asalnya pasti merupakan sebuah kesempatan emas. Tapi, alih-alih mempelajari bahasa tersebut di negara asalnya, bagaimana kalau mempelajarinya di negara lain? Pasti sedikit terdengar aneh, bukan? Walaupun agak aneh, ini adalah cerita pengalaman saya mengikuti kegiatan pertukaran pelajar di Korea Selatan.
Saya Novita Risyanti mahasiswa Pendidikan Bahasa Jepang UPI angakatan 2016. Pada tahun 2020 tepatnya akhir bulan Februari 2020 alhamdulillah saya diberikan kesempatan untuk mengikuti kegiatan pertukaran pelajar di Busan University of Foreign Studies (BUFS) selama satu tahun. Rasanya seperti mimpi, karena pergi ke Korea adalah salah satu hal yang saya impikan sejak dulu. Dan saya rasa tahun 2020 adalah tahun keberuntungan saya, walaupun banyak orang merasa tersiksa karena pandemi yang tiba-tiba melanda.
Saya pergi pada tanggal 28 Februari 2020. Sebelum keberangkatan, banyak sekali kekhawatiran karena pandemi. Bagaimana tidak, saya pergi ke Korea saat negeri ginseng tersebut mengalami puncak lonjakan kasus Covid-19. Dari pihak kampus pun hampir saja tidak mengizinkan saya dan teman saya untuk berangkat karena khawatir akan kondisi di sana yang sedang parah. Namun alhamdulillah akhirnya saya bisa berangkat juga, dengan syarat saya harus melakukan karantina di asrama kampus sesampainya di sana selama 14 hari.
Setelah selesai karantina saya mengikuti kegiatan orientasi kampus. Begitu memasuki semester baru, saya sedikit kecewa karena kelas dilaksanakan secara online. Oh iya, mengenai mata kuliah yang saya kontrak, saya mengambil mata kuliah bahasa Jepang tentunya. Dan karena mata kuliah bahasa dan budaya Korea menjadi mata kuliah wajib yang harus diikuti, saya juga mengontrak mata kuliah bahasa Korea. Untuk jumlah minimal sks yang harus diambil dalam satu semesternya, yaitu 9 sks. Dan sebenarnya tidak ada syarat saya harus mengontrak mata kuliah bahasa Jepang karena saya mahasiswa jurusan bahasa Jepang. Tapi, karena saya merasa ada tanggung jawab dengan jurusan saya, maka saya tetap mengontrak mata kuliah bahasa Jepang.
Dosen mata kuliah bahasa Jepang di BUFS hampir kebanyakan dosen orang Korea dan bahasa pengantar perkuliahan adalah bahasa Korea. Awalnya saat mengikuti kelas saya agak sedikit hm… ingin tertawa sambil menangis karena harus paham dengan kedua bahasa tersebut di waktu yang bersamaan. Belajar bahasa Jepang dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia saja kadang saya kesulitan, dan saat itu saya harus belajar bahasa Jepang dengan bahasa pengantar yang bukan bahasa ibu saya. Sungguh, rasanya sangat ‘nikmat’.
Setelah dua bulan mengikuti kelas online, saya memutuskan untuk mencari lowongan pekerjaan paruh waktu. Sebenarnya saya mendapatkan beasiswa dari pemerintah Korea, yaitu beasiswa GKS (Global Korea Scholarship). Tetapi karena keadaan keluarga dan ekonomi yang mendesak, saya harus mencari tambahan uang saku. Alasan lainnya, karena kelas dilaksanakan secara online, sangat bosan dan monoton rasanya apabila hanya menghabiskan waktu luang di asrama. Selama di Korea saya bekerja di dua tempat, pertama di restoran barbeque all you can eat, dan kedua di restoran sushi. Di kedua tempat tersebut saya bekerja di bagian mencuci piring di dapur. Saat bekerja di restoran barbeque saya bekerja seminggu 3 hari yaitu pada hari Jumat, Sabtu, dan Minggu. Saya bekerja per harinya selama 5-6 jam dengan gaji 8.590 Won per jam. Kemudian dua bulan kemudian saya berhenti dan mencari pekerjaan paruh waktu lain dengan jam kerja yang agak lebih lama namun pekerjaannya lebih ringan. Akhirnya saya diterima di restoran sushi. Di sana saya bekerja 4 hari dalam satu minggu, yaitu dua hari di akhir pekan dan dua hari di hari kerja dengan gaji sedikit lebih banyak dibanding tempat sebelumnya, yaitu 9.000 Won per jam. Saya bekerja di tempat tersebut sampai satu bulan sebelum kepulangan saya ke Indonesia.
Untuk mencari kerja paruh waktu di Korea sebenarnya tidak sulit kalau bisa berbahasa Korea. Banyak sekali lowongan paruh waktu yang bisa dicari melalui aplikasi yang bernama Alba Cheonguk dan Albamon. Di sana juga banyak tersedia lowongan pekerjaan paruh waktu yang menerima orang asing. Setelah menemukan lowongan pekerjaan yang pas, hanya perlu mengirim SMS ke nomor yang tertera di aplikasi untuk menanyakan tentang apakah lowongan masih tersedia. Jika masih tersedia, biasanya akan diminta untuk wawancara. Wawancaranya menggunakan bahasa Korea. Oleh karena itu pastikan memiliki setidaknya kemampuan bahasa Korea sehari-hari yang baik jika ingin melamar pekerjaan paruh waktu di Korea. Perjalanan saya bisa mendapatkan pekerjaan paruh waktu juga tidak mudah. Saya telah melakukan hampir 6 kali wawancara selama di Korea. Bekerja paruh waktu di Korea sedikit beda dengan Jepang. Di Jepang sangat memungkinkan untuk orang asing bisa bekerja di bagian kasir atau sebagai pelayan. Sedangkan di Korea, kebanyakan tempat tidak menerima orang asing untuk bekerja di bagian kasir atau pelayan karena alasan bahasa. Di Korea ada sebuah budaya yang bernama budaya cepat-cepat (biasanya disebut budaya ppalli ppalli). Budaya ini mengharuskan untuk bergerak cepat-cepat dalam melakukan suatu pekerjaan. Jika karena kendala bahasa pelayanan toko lambat, maka akan banyak pelanggan yang protes. Saya pernah dimarahi beberapa kali oleh rekan kerja saya di dapur ketika gerak saya lambat saat bekerja. Sebagai orang asing yang tinggal di Korea mau tidak mau saya harus menyesuaikan diri dengan budaya tersebut.
Pekerjaan paruh waktu yang tersedia untuk orang asing biasanya kebanyakan pekerjaan di dapur, seperti mencuci piring, membungkus pesanan, membantu memasak, bersih-bersih, dan pekerjaan sejenisnya. Kalau pun ada tempat yang menerima orang asing bekerja di bagian kasil atau pelayan, biasanya akan dipilih orang asing yang sudah sangat fasih berbahasa Korea atau orang asing yang sudah tinggal bertahun-tahun di Korea.
Walaupun keseharian saya di Korea memang lebih banyak dihabiskan untuk kuliah online dan kerja paruh waktu, saya juga tidak melewatkan kesempatan untuk jalan-jalan. Selama di Korea saya sudah mengunjungi beberapa daerah selain Busan, seperti Seoul, beberapa kota di Gangwon-do, Pulau Jeju, Ansan, Ulsan, Gimhae, Gyeongju, Suwon, dan lain-lain. Walaupun saat pergi ke setiap daerahnya hanya menetap sebentar, saya merasa sangat beruntung karena di tengah pandemi masih bisa jalan-jalan di Korea. Tentu saja saat perjalanan saya mematuhi protokol kesehatan yang diterapkan oleh pemerintah Korea.
Di Korea saya juga sudah mencicipi semua mode transportasi yang ada di sana. Mulai dari bus umum, bus antar kota, taksi, kereta cepat (KTX dan ITX), kereta biasa (Mugunghwa), dan pesawat domestik. Salah satu hal yang saya suka dari Korea adalah biaya transportasi di Korea tidak semahal di Jepang, jadi saat ingin pergi bermain tidak perlu khawatir biaya transportasi akan mahal.
Selama empat musim di Korea, musim gugur dan musim dingin adalah favorit saya. Saat musim gugur, Korea sangat cantik, daun-daun semuanya menjadi warna oranye dan cuacanya pas. Tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Dan walaupun musim dingin di Korea suhunya bisa mencapai minus, saya senang ketika salju turun. Jalan-jalan dan gedung-gedung ditutupi salju sehingga semuanya menjadi putih, sangat indah.
Karena sampai akhir semester kedua pun perkuliahan hampir keseluruhan dilakukan secara online, sangat disayangkan saya tidak dapat merasakan kehidupan kampus di Korea. Untuk mendapatkan teman mahasiswa Korea pun saya hanya bisa mengandalkan program kampus yang bernama Tandem, dimana pada program ini mahasiswa asing akan dipasangkan dengan mahasiswa Korea yang sedang mempelajari bahasa negara asal mahasiswa asing tersebut. Sisanya, karena saya ingin memiliki banyak teman Korea, saya menggunakan bantuan aplikasi chatting untuk mendapatkan teman baru.
Pada awalnya saya berpikir bahwa satu tahun adalah waktu yang lama, namun setelah dijalani ternyata setahun itu sangat singkat rasanya. Ditambah karena adanya pandemi, banyak rencana dan hal-hal yang ingin saya lakukan tidak dapat terwujud. Aktivitas pun terkadang terbatas. Walaupun begitu saya selalu sangat bersyukur karena masih diberi kesempatan yang mungkin diinginkan oleh orang lain, yaitu belajar di luar negeri.
Semoga cerita singkat pngalaman saya ini dapat bermanfaat, atau setidaknya menghibur teman-teman. Di sini saya juga ingin menyampaikan bahwa belajar bahasa Jepang bisa dilakukan dimana saja. Memang akan lebih baik jika belajar di negara asalnya, yaitu di Jepang. Namun, jika ada kesempatan untuk mempelajarinya di tempat lain, sambil menjelajah pengalaman baru, tidak ada salahnya untuk mengambil kesempatan itu, bukan? Saya berharap kouhai-kouhai saya juga dapat merasakan segudang pengalaman yang saya dapatkan di Korea pada kesempatan selanjutnya. Terima kasih banyak sudak membaca cerita saya, ya!