Sri, Cerpen “Sembazuru”

Dosen DPBJ Ibu Noviyanti Aneros S.S., M.A yang mengajari kami pada mata kuliah Nihon Bungaku atau Sastra Jepang pada tahun 2017, meminta kami untuk membuat hasil karya berupa cerpen terkait Jepang.

Berikut hasil karya cerpen yang telah saya coba tulis. Semoga dapat menghibur para pembaca semua.

“Sembazuru”

Sri Oktaviane

“Katanya kalau bisa bikin sampai seribu, keinginan kita bisa jadi kenyataan, Rei!”

Rei tertawa kecil saat kenangan itu tiba-tiba kembali melintas tanpa diminta. Tangannya meraih toples bening yang berisikan origami beraneka warna di sudut meja. Origami-origami itu telah dibentuk sedemikian rupa sehingga jika dilihat sekilas agak menyerupai sebuah kandang dengan sekumpulan burung bangau yang saling bertumpuk saking banyaknya. Raina –si pemilik toples— bilang ia punya keinginan yang sangaaaaaat penting. “Bener-bener penting yang harus jadi kenyataan dan ga boleh ga kejadian,” katanya yang khas dengan segala keribetannya. Karena itu, ketika melihat sebuah artikel berjudul “Senbazuru” yang kebetulan lewat di explore instagram, dengan semangat 45 yang menggebu-gebu, ia langsung minta diantar ke toko buku untuk membeli origami dan toplesnya. Iya, toplesnya juga sengaja dibeli untuk dijadikan kandang para bangau. Padahal di rumah toples-toples kue masih berjajar dengan rapi tanpa isi. Kenapa tak pakai itu saja?

“Ini sakral, toplesnya juga harus spesial,” jawabnya ketika ditanya.

Dan Rei hanya mendengus menahan tawa. ‘Sakral apanya? Upacara masih mangut-mangut nahan ngantuk aja sok sokan ngomongin sakral.’

Rei ingat kebiasaan Raina yang selalu memeluk toples ‘sakral’ itu dengan sayang sebelum tidur sambil berkata, “Sabar ya bangau-bangaukuuuu. Kalau udah kumpul semua kalian ga akan dempetan gini lagi kok.” Diikuti dengan kecupan gemas dan berakhir dengan tertawa-tawa sendiri.

Rei saja terkadang bergidik ngeri melihat tingkah konyol yang menurutnya mulai menjurus ke arah gangguan jiwa dari adik 5 menitnya itu. Dan ia jadi berpikir, “Kok bisa ya temen-temennya tahan?” Padahal tingkah konyol Raina yang selalu muncul tanpa tahu tempat itu sempat membuatnya berpikir untuk pura-pura tidak kenal saja di sekolah. Rei benar-benar serius dengan niat itu, sampai akhirnya terpaksa harus diurungkan begitu ia menyadari bahwa orang-orang sekolah tahu mereka mempunyai nama keluarga yang sama, tanggal lahir yang sama, dan terlebih muka-yang-sama, karena yah… mereka kan kembar? Siapa yang akan percaya kalau Rei bilang dia tak kenal Raina dengan fakta-fakta yang telah disebutkan barusan?

Karena itu lah, kapanpun Raina melakukan kekonyolan di sekolah, saat itu juga Rei akan ikut terkena getahnya. Seperti saat gadis itu keasikan melipat-lipat origami pada jam pelajaran PKn. Siapapun tahu kalau bu Endang—guru mata pelajaran itu— paling tidak suka jika ada murid yang kelihatan tak memperhatikan pelajarannya, namun saking khusyuknya dengan kegiatan yang menurutnya sakral itu, Raina bahkan seperti tak menyadari kehadiran sang guru. Lebih parahnya lagi ia lupa tak membawa buku catatan serta PR yang hari itu akan dibahas. Hasilnya? Rei menemukan gadis itu dalam keadaan merengek dengan alat tempur berupa ember dan sikat wc di genggaman.

“Hng… bantuin.”

Ingin rasanya Rei pulang duluan dan membiarkan gadis setengah abnormal didepannya itu sendirian saja kalau tak ingat mereka tinggal serumah. Mama pasti akan mengomel kalau tahu dirinya meninggalkan sang adik dalam keadaan mengenaskan begini. Selain itu akan memakan waktu lama jika ia hanya diam menunggu adiknya selesai melakukan pekerjaan yang mustahil bisa diselesaikan dengan baik itu.

Coba pikir, mencuci piring yang mudah saja selalu ada satu atau dua piring yang berakhir di tempat sampah dalam keadaan hancur berkeping-keping. Dan membayangkan jika pekerjaan ini akan dihiasi dengan beberapa adegan terpeleset yang berujung pada cedera di kepala adiknya yang memang sudah tidak beres itu membuat Rei berdecak gemas.

“Minggir aja sana. Dikerjain sama lo mah subuh baru beres!”

Maka dari itu, mau tidak mau, suka tidak suka, ujungnya Rei juga yang mengerjakan.

***

           Suasana makan malam kali ini rasanya sangat kaku. Tak ada celotehan Raina dan tak ada juga omelan Mama yang selalu menegur ketika mereka meributkan hal kecil di meja makan. Selain kedua hal itu, yang berbeda dari malam-malam biasanya hanyalah kursi paling kanan yang biasanya kosong kini diisi oleh Papa.

Papa memang jarang sekali pulang ke rumah sampai-sampai Rei terkadang lupa kalau ia masih punya sosok seorang ‘ayah’. Dan sekalinya Papa pulang ke rumah beginilah keadaannya. Tak ada obrolan hangat layaknya orangtua dan anak, yang terdengar hanyalah suara-suara alat makan seperti sendok, garpu, dan piring yang saling beradu seolah menertawakan situasi ini.

Biasanya Raina yang akan berperan sebagai pemecah dinding kaca antara Rei dan Papa. Walau hanya ditanggapi singkat oleh Papa, selalu ada cerita yang muncul dari mulut gadis berambut lurus itu.

“Kemarin Rei menang tanding basket lho, Pa! Heran deh, padahal dia bukan anak basket, tapi yang banyak cetak angka justru Rei.”

“Kenapa ga ikut ekskulnya aja?” tanya papa saat itu. Sikapnya seperti tak mengacuhkan cerita Raina, tapi pertanyaan itu lolos walau tanpa ekspresi berarti.

Dan bodohnya, pertanyaan singkat seperti itu saja membuat perut Rei terasa tergelitik. Kalau Raina bilang, “kayak ada kupu-kupu gitu di perut gue.” Menggelikan, tapi apa yang dikatakan Raina memang cukup mewakili.

“Males latian,” jawabnya setelah jeda beberapa saat.

Sesingkat itu, tapi Rei benar-benar tak tahu harus mengatakan apa lagi. Isi kepalanya benar-benar kosong jika harus digunakan untuk saling berbalas cerita dengan Papa.

“Boro-boro diem di sekolah lebih lama buat ekskul, Pa. Nunggu Raina selesai piket aja betenya minta ampun.”

“Pokoknya pulang harus bareng ya, Rei. Adeknya jangan ditinggal. Jaman sekarang tuh bahaya cewek dibiarin pulang sendiri masih sore juga.” Ini Mama yang menimpali.

Terus begitu hingga makan malam berakhir dan  masing-masing dari mereka kembali pada kesibukannya masing-masing. Papa dengan segala dokumen bisnisnya, Mama dengan telepon dari rekan usaha butiknya, Rei dengan PS-nya dan Raina dengan para bangaunya.

           Ngomong-ngomong, Raina bilang bangau yang terkumpul sudah seratus lebih dan kalau sudah sampai lima ratus dia bakal kasih intip apa keinginannya pada Rei. Sebenarnya Rei tak benar-benar ingin tahu apa keinginan adiknya itu—paling hal-hal tak penting seperti tiket konser band-band kesukaannya atau urusan cinta— tapi ia hanya mengiyakan saja agar tak mendengar celotehan tentang senbazuru itu lebih lama.

***

           Rei menemukan dirinya terbangun di kamar dengan warna dominan hijau tosca milik sang adik. Penghuni aslinya tak ada disini namun wangi khas bayi milik gadis itu tetap tinggal di kamar ini. Ia melenguh sebentar, kemudian bangun dan mencoba meregangkan tubuhnya. Atensinya secara otomatis kembali terjatuh pada toples bening berisikan para bangau milik Raina dan pikirannya melayang pada ucapan terakhir Papa malam tadi.

           “Besok kita jenguk Raina.”

           Rei menurunkan kakinya dari ranjang bersprai motif awan itu. Ia menghampiri meja belajar tempat menyimpan toples dan mencari-cari origami yang masih tersisa untuk menambah koleksi bangau milik Raina. Ketika dulu Rei dirawat karena DBD, Raina datang membawakan  pudding kopi kesukaannya. Walau serumah katanya wajib membawa sesuatu untuk orang yang dijenguk. Dengan keadaan sekarang, Raina tak akan bisa makan walau Rei membawakan kastangel kesukaannya sekalipun. Karena itu, Rei akan membawakan Raina bangau yang selalu dibilang sakral oleh si gadis.

           Toples bangau itu sudah setengah penuh. Mungkin tinggal beberapa bangau lagi bisa genap lima ratus bangau. Raina bilang agar bisa terkabul tak boleh ada yang membantu, tapi rasanya Rei menyesal, kenapa ia tak membantu Raina sejak awal agar tahu apa keinginannya. Dan yang lebih ia sesalkan daripada itu, kenapa ia tak menunggu Raina pulang saat itu?

           “Rei, gue ada rapat dadakan nih. Tungguin bentar ya? Pleaseeeee!” ujar Raina begitu menghampiri Rei yang menunggunya di parkiran sekolah. Baterai HPnya habis, jadi terpaksa ia harus bolak balik ruang osis-parkiran-ruang osis untuk mengabari kakak 5 menitnya itu.

           Rei berdecak kesal. Ini sudah jam 4 sore dan sebentarnya rapat osis dengan bahasan pensi itu bisa sampai 3 jam, belum kalau rapatnya molor. Bukannya apa, sejak tadi Rei sudah mengantuk, dan kalau dibawa tidurpun akan pusing kalau langsung mengendarai motor. Itu juga bahaya kan?

           “Gue duluan deh, lo nebeng atau pesen grab aja ya?”

           “Iiiih kok gituuuu? Ntar Mama ngomel tau rasa!”

           “Yaudah, lo ijin pulang gih,” ucap Rei santai sambil menstarter motornya.

           “Gabisa Reiii, gue kan sekretarisnyaaaaa.”

           “Bodo. Gue balik nih.”

           Ribut seperti biasa. Seringan itu. Obrolan terakhir dimana hari yang tak pernah terbayangkan akan terjadi akhirnya datang.

           Malam itu Raina tidak pernah sampai di rumah.

           Mama mencoba menelepon berkali-kali dan hanya suara monoton operator yang menjawab panggilan. Sampai akhirnya saat Rei baru akan membuka pintu untuk kembali menjemput Raina di sekolah, ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Rei tak tahu apa yang dikatakan sang penelepon, yang jelas saat itu raut muka Mama mulai panik.

           Dan hal yang paling Rei ingat di malam itu adalah rumah sakit dan tubuh Raina yang tergeletak di ranjang putih dengan noda merah yang berasal dari kepala gadis itu.

***

           Kemungkinan sisa origami ada di laci, jadi untuk pertama kalinya Rei membuka laci meja belajar itu. Benar saja, disana ada beberapa pack origami yang belum terpakai dengan warna-warna pastel—warna khas Raina. Rei meraih kertas-kertas itu, namun kemudian tangannya menyentuh sesuatu yang lain. Itu origami bangau yang lain. Tapi kenapa ada di laci? Terpisah dari para bangau yang ada di toples. Warna bangau itu putih, berbeda dari para bangau di toples yang berwarna-warni. Rei berniat memasukannya kedalam toples sebelum akhirnya menyadari ada tulisan yang timbul dari punggung bangau itu. Setelah menimang-nimang sejenak ia membuka kembali lipatan satu-satunya bangau yang berbeda itu.

           Jemari Rei meremas kertas putih itu setelah mendapati apa yang tertulis di permukaannya.

“Semoga Rei sama Papa bisa akur dan ngobrol banyak. Aamiin.”

           Singkat. Sesimple itu. Tapi entah mengapa ujung-ujung bibir Rei terangkat perlahan, dan tanpa disadari ada cairan bening yang jatuh meluncur melewati pipinya.

***

“Pa, berangkat sekarang aja yuk. Mumpung belom panas.” Untuk pertama kalinya Rei menghampiri Papa dan memulai percakapan terlebih dahulu.

Selama di mobil entah Papa atau Rei melemparkan pembicaraan-pembicaraan kecil. Walau masih terasa kaku, tapi ada Mama yang sesekali ikut menimpali.

Ini hari keseratus sejak Raina pergi. Dan Rei benar-benar membawa satu bangau hasil lipatannya sendiri untuk dibawa ke makam Raina.

‘Gausah percaya mitos. Gue pasti bakal banyak ngobrol sama Papa. Lo liat aja, Na.’

Karena mungkin senbazuru Raina belum benar-benar menjadi senbazuru, tapi tanpa membuatnya jadi seribu pun Rei akan berusaha mewujudkan keinginan adiknya itu.

 

 

 

おわり