Shifa, Cerpen “Yukiguni”

Dosen DPBJ Ibu Noviyanti Aneros S.S., M.A yang mengajari kami pada mata kuliah Nihon Bungaku atau Sastra Jepang pada tahun 2017, meminta kami untuk membuat hasil karya berupa cerpen terkait Jepang.

Berikut hasil karya cerpen yang telah saya coba tulis. Semoga dapat menghibur para pembaca semua.

 “Yukiguni”

Shifa Hajar L

Subuh sebelum menjelang dan gelap yang masih menyelimuti negeri Yuki (Yukiguni), dengan semangat menggelora dan peralatan tempur seadanya, Ia berkata kepada ke 3 anak laki laki nya, “Jagalah Ibu mu, jagalah ibu mu.”. Ia pergi membawa mantel dipundaknya bergegas meninggalkan keluarganya. Namanya Akashi. Seorang pedagang biasa yang cinta dengan keluarga dan negeri nya. Sekian dalam cintanya, Ia rela berjuang untuk bertempur dengan negeri penjajah yang telah menjajah negeri Yuki 70 tahun lamanya.

Negeri Yuki adalah negeri yang sudah lama sekali tidak merasakan kebebasan dan udara pagi yang segar. Sepertiga negeri ini sudah dikuasai oleh para penjajah. Ledakan keras dan teriakan sudah seperti kicauan burung yang setiap hari terdengar dimana mana. Terjun ke medan perang sudah menjadi aktivitas sehari hari. Hanya satu masyarakat Yukiguni inginkan, yaitu mengembalikan senyum negeri Yuki.

Pada hari itu, terik matahari membakar hati para pejuang Yukiguni. Ribuan barisan siap terjun kapanpun. Dingin salju pun tak cukup meredakan gejolak api para pejuang. Mereka menggenggam bara api di tangan mereka dan siap menerima apapun. Salju pun berubah menjadi merah. Ledakan keras tak menjadikan mereka takut sedikitpun. Satu persatu tombak dilempar, mengarahkan pedang kepada lawan dan satu baris dua baris pun siap berlari kedepan tanpa menoleh kebelakang. Inilah para singa Yukiguni.

Para pejuang berbondong bondong berlari. Berusaha menegakkan kembali kedamaian di negeri ini. Sosok Akashi yang mana ia adalah seorang pemimpin pasukan gelombang ke 3, yang suara lantangnya menggetarkan raksasa yang tertidur dan menjadikannya buruan oleh para penjajah, berada paling depan dan mengarahkan seluruh kekuatannya mendobrak tembok kekalahan. ——————————————————–“Chiyo….chiyo….” ucap Akashi sambil melihat kearah langit——————–

Beberapa wilayah sudah dikuasai kembali oleh masyarakat Yukiguni. Yukiguni telah kehilangan ribuan para pejuang, tersisa sekian ratusan banyaknya telah kembali memasuki gerbang masuk besar pembatas wilayah Yukiguni. Para keluarga berkumpul disepanjang gerbang menanti salah satu keluarga mereka dan walhasil ada yang kembali adapula yang tidak. Salah satu nya keluarga Akashi.

Salah seorang pejuang berkata kepada istri dan anak anak Akashi, “Maaf….maaf….maaf….maaf….” dengan air mata berlinang tak kuasa menahan.

Chiyo yang merupakan istri dari Akashi pun menjawab dengan lantang,

“Aku telah lupa bagaimana untuk bahagia, jika aku harus bahagia, biarlah kebahagiaanku melihat suamiku mati dalam memperjuangkan keluarga dan kebenaran. Aku tak pernah melihat senyuman seperti senyuman yang ditunjukan kepadaku disaat ia akan berangkat menuju medan perang!”.

Wajah dan tatapan yang mengekspresikan kepasrahan tak pernah pudar, mimik wajah yang sama, suara yang bergetar, air mata yang mengalir dan harapan yang tandus, semua terhapuskan oleh suara Chiyo yang menggetarkan para keluarga lainnya. Semua menoleh kepada Chiyo dan suara isakan pun mereda.

Keadaan Yukiguni berkembang pesat setelah 10 tahun lamanya. Kini ke 3 anak Chiyo telah tumbuh menjadi dewasa. Mereka bernama Akira, Kazuko dan Teiko. Namun, Chiyo kini harus melepaskan salah satu anak nya, Akira, untuk terjun ke medan perang. Ekspresi yang sama masih terlihat dalam pancaran tatapannya seperti 10 tahun yang lalu. Tajam dan berkobar.

Chiyo berkata kepada Akira, “Ambilah pedang ini, jangan kau copot mantel itu dari pundakmu.”.

Akira menjawab dengan lantang, “Okaasan, aku tidak akan kembali sebelum aku menang!”.

Dari jauh, Chiyo melihat sosok Akashi dalam diri Akira. Pergilah Akira dengan pejuang lainya.

1 tahun berlalu, kembalilah para pejuang dan seperti biasa terisa sekian orang.

Salah satu pejuang berkata kepada Chiyo,”Dia gugur….”.

Chiyo menjawab dengan lantang, “Akira tidak gugur, ia telah menang.”.

Setelah beberapa bulan kemudian, Kazuko yang kini telah berusia 25 tahun pun harus meninggalkan Yukiguni dan pergi ke dalam medan tempur.

Chiyo berkata kepada Kazuko, “Ambilah kuda dan tombak ini, jangan kau copot mantel itu dari pundakmu.”.

Kazuko menjawab dengan lantang, “Okaasan, aku tidak akan kembali sebelum aku menang!”.

Setelah 1 setengah tahun kemudian, Kazuko tak kembali dan seperti biasa tersisa hanyalah ratusan pejuang.

Salah satu pejuang berkata kepada Chiyo, “Dia telah menang……….”.

Chiyo mejawab dengan lantang dan senyuman, “Ya, dia telah menang!”.

Setelah 2 tahun kemudian, Teiko telah beranjak dewasa, dan juga harus meninggalkan satu satu nya ibu yang telah membesarkannya.

Chiyo berkata kepada Teiko, “Ambilah ….——“.

Lalu Teiko memotong pembicaraan Chiyo dan berkata,

“Aku tak ingin apa apa, biarlah pedang dan mantel di pundaku yang akan aku bawa. Aku tidak akan kembali sebelum aku menang!.”

Tinggalah Chiyo di sebuah rumah yang kini sunyi dan luas.

Hari itu pertempuran berlalu cepat. Setelah 4 bulan kemudian, para pejuang kembali menyisakan puluhan pejuang saja.

Salah satu pejuang berkata kepada Chiyo,

“Dia……..—“, perkataannya terhenti karena melihat Chiyo yang berlinang air mata.

Chiyo pun berkata, “Aku menangis sedih karena aku tak punya siapa siapa lagi yang akan aku berangkatkan.”.

Banyak jasa yang telah ia lakukan dalam perjuangan ini. Chiyo tak bisa menahan dan akhirnya ia sendiri pun yang memutuskan untuk terjun kedalam medan perang.

Salah satu pemimpin barisan menegaskan kepada Chiyo,

“Maaf, jika anda mau akan kami berika stok yang lebih untuk keseharianmu akan tetapi tinggalah di negeri ini bersama yang lainnya.”.

Namun Chiyo menjawab dengan amarah, “Apakah kau meremehkan ku karena aku seorang wanita?!”.

Sang pemimpin pasukan melihat tatapan tajam Chiyo dan mengizinkan nya untuk ikut dengan syarat ia tidak boleh ikut dalam perang hanya diperbolehkan membatu dalam sarana prasarana di tempat persembunyian.

Pada akhirnya, Chiyo pun bergabung dengan para pasukan dan mengerahkan segala kekuatannya untuk mengemban tugas penting di bidang logistik, medis dan konsumsi. Bersama para pejuang wanita lainnya, ia berusaha mengobati para pejuang lainnya yang terluka.

Dirawatnya mereka yang terluka dan menimbulkan amarah dari dalam diri Chiyo, “Seperti inikah kekejaman para penjajah itu!”.

Lalu, Chiyo pun bangkit dan tidak dapat menahan diri lagi. Ia bangkit dengan gagah beraninya, dinaiki kuda yang berada di luar tenda, ia tak memperdulikan orang orang disekitar yang hendak mencegat dirinya dan ia tebaskan pedang nya kearah lawan.

Chiyo pun berhasil menggugurkan puluhan musuh didepannya, akan tetapi Chiyo akhirnya terjatuh karena sebuah panah yang menancap.

Saat itu langit pun menjadi gelap dan salju turun. Kobaran asap api membuat salju menjadi hitam dan menjadi merah setelah menyentuh dasar.

Chiyo terbaring di atas salju yang tebal dan menatap ke langit dan berkata,

“Aahh, aku akan segera menemuimu….”.

Chiyo tidur untuk selamanya dengan mantel yang masih berada dipundaknya. Mantel ini bukanlah sebuah mantel pakaian, melainkan rasa bangga, kegagahan, tanggungjawab, harga diri, kepercayaan dan keberanian yang dimiliki oleh keluarga kecil Akashi.

Mereka membawa mantel Yukiguni dan telah dikenang oleh masyarakat. Mantel ini menjadi warisan paling berharga pada setiap individu yang berada di negeri Yukiguni.