Tabir Neyama dari Kacamata Orang Jepang Oleh Ahmad Dahidi

Tabir Neyama dari Kacamata Orang Jepang

Oleh Ahmad Dahidi

 “Apa yang bapak lakukan setelah memasuki masa purnabakti?”, itulah salah satu pertanyaan yang saya terima dari salah seorang dosen Departemen Pendidikan Bahasa Jepang FPBS UPI  ketika saya diundang oleh jurusan untuk makan bersama di sebuah restoran. Pertanyaan yang cukup menggelitik sebab jawaban yang mana yang mesti saya sampaikan. Mengapa demikian? Sebab cukup banyak kegiatan yang dilakukan setelah memasuki purnabakti ini diantaranya memilih dan memilah naskah naskah yang masih berupa draf, yang selama ini masih terbengkalai, yang sekarang masih tertidur pulas di rak buku. Saya merasa “berdosa” tidak bisa menuntaskannya selama masih bertugas padahal mungkin saja ada sesuatu yang bisa “diwariskan” kepada para kohai atau teman teman seprofesi, setidaknya kepada para mahasiswa di lingkungan jurusan. Tentunya, tulisan ini, secara khusus saya persembahkan kepada Mr. Tadao Isozaki yang telah tiada dan teman teman Jepang lainnya yang tergabung di dalam perhimpunan Kan I Ren yang telah banyak membantu saya dan orang Indonesia yang sedang studi di daerah Kansai.

Salah satu naskah yang mengelitik saya yaitu sebuah tulisan yang saya terima dari solmet orang Jepang berjudul “Asal Usul – Neyama”. Tulisan tentang Neyama ini, saya terima dari penulisnya ketika saya sedang studi lanjut di Osaka University tahun 90 an. Bagi orang Indonesia yang studi lanjut di daerah Kansai, tidak aneh dengan kelompok Kan I Ren (Kansai Indonesia Rengo Kyokai) sebuah perkumpulan orang Jepang yang pernah tinggal di Indonesia pada masa Indonesia diduduki Jepang tahun 1942 s.d. 1945. Salah seorang pengurusnya yaitu orang Jepang yang menulis tentang Neyama ini.

Apa itu Neyama? Bagaimana Neyama dibangun? Apa fungsi Neyama? Dan lain sebagainya. Sebenarnya, informasi tentang Neyama ini bisa ditemukan di Mbah Google, namun semuat tulisan yang muncul di situ ditulis oleh orang Indonesia. Keistimewaan informasi Neyama yang saya tuliskan kembali ini merupakan sebuah tulisan yang diungkap oleh pelaku asli, yaitu  orang Jepang ketika Neyama itu dibangun. Jadi, tulisan yang saya ungkap ini merupakan pandangan orang Jepang terhadap kronologi Neyama itu dibangun.

Semoga bermanfaat.

 

Asal Usul Neyama Versi Orang Jepang

 

Isozaki (nama lengkapnya Tadao Isozaki) menyatakan bahwa tulisan tentang asal usul Neyama ini, aslinya dalam bahasa Jepang, kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia atas bantuan sdr. Komatsubara, J. Setiawan dan Arslan Syafirin serta sahabat Indonesia lainnya. Tadao Isozaki adalah salah seorang karyawan Osaka Seima Ltd. Japan yang ditugaskan oleh perusahaannya antara tahun 1943 s.d. 1945. Selanjutnya, Isozaki mengisahkan asal usul Neyama yang ia baca di sebuah majalah Kokusai Jiho Japanes Monthly of International Affair, topick of the month terbitan bulan Nopember 1971 tentang Wakil Presiden Republik Indonesia Sri Sultan Hamengku Buwono IX satu satunya Sultan di Indonesia pada saat itu. Dari majalah tersebut Isozaki mengetahui bahwa tuan Kubota presiden dari P.T. Nihon Koei telah menulis tentang terowongan Neyama yang berada di Campur Darat Tulungagung Jawa Timur. Tulisan berjudul “Kecerdasan di Indonesia”, ringkasan tulisan Mr. Kubota sebagai berikut:

“Jauh sebelum perang saya tertarik dengan keadaan pulau Sumatera dan Jawa karena pada masa itu saya menjabat sebagai konstruktor. Karena itu saya selalu melihat keadaan kedua pulau tersebut. Khususnya saya tertarik melihat keadaan di sekitar kali Brantas yang sesungguhnya. Mudik kali tersebut berada di sebuah gunung yang bernama gunung Kelud. Gunung tersebut pernah meletus pada tahun 1951 yang mengakibatkan banyak korban jiwa penduduk. Sejak saat itu lahar, batu, abu dan tanah lumpur akibat letusan gunung mengendap didasar kali Brantas. Karena itu setiap tahun pada musim hujan air mudah meluap sehingga terjadi banjir besar.

Pada jaman perang tentara angkatan darat, Jepang membuat terowongan dekat Campur Darat Tulungagung untuk mengalirkan air banjir ke laut Selatan setinggi air yang tergenang di daerah itu.

Sekian lamanya keadaan terowongan Neyama menjadi sempit sehingga salurannya menjadi buntu sama sekali. Setelah Indonesia merdeka pemerintah ingin memperbaiki terowongan Neyama. Untuk maksud tersebut saya mendapat panggilan dari pejabat tinggi pemerintah R.I. yang menanyakan pendapat saya tentang bangunan terowongan tersebut. Karena pemerintah R.I. tahu bahwa rombongan saya yang mengetahui sedalam dalamnya tentang seluk beluk bangunan terowongan itu. Karena itu saya diminta supaya membuatkan jawaban mengenai rencana serta blue print untuk menjelaskan teori perbaikan secara lengkap dan mendetail.

Anggaran serta teori perbaikan yang saya buat ternyata disetujui oleh pemerintah R.I. Tentang biaya hal ini dapat diselesaikan melalui pampasan perang. Karena itu konsep saya dapat langsung diwujudkan. Perbaikan terowongan Neyama bisa diselesaikan dalam waktu 1 tahun dengan biaya sebesar U.S. $ 1.500.000,-. Biaya tersebut rupa rupanya dapat kembali lagi dalam waktu setahun setelah perbaikan. Karena tanah bekas rawa-rawa menjadi tanah persawahan yang subur. Hasil bumi menjadi berlipat ganda dan rakyat tidak menderita lagi akibat banjir pada setiap musim hujan tiba”.

Demikianlah ringkasan tulisan tuan Kubota pada majalah tersebut diatas.

Setelah membaca tulisan tuan Kubota pada majalah tersebut, Isozaki tertarik untuk menulis tentang keadaan yang terjadi serta asal usul pembangunan terowongan Neyama di Campur Darat Tulungagung. Karena Isozaki sebagai orang sipil yang bekerja pada perusahaan Osaka Seima Ltd. di Kediri dari tahun 1943 sampai 1945 mau tidak mau Isozaki terlibat langsung sewaktu terowongan Neyama dibangun. Sebenarnya gagasan pembangunan datangnya bukan dari tentara angkatan darat Jepang. Gagasan pembangunan tersebut datang dari tuan Enji Kihara seorang Residen di Kediri yang baru diangkat pada masa itu. Sayang sekali catatan tentang pembangunan Neyama yang dilaksanakan pada masa perang dulu tidak dibukukan. Sehingga didalam perpustakaan ilmu pengetahuan dan sosial terbitan Universitas Waseda yang paling teliti itupun tidak ada tertulis sedikitpun tentang Neyama. Karena itu Isozaki sangat menyesal. Oleh sebab itu, Dia mengambil gagasan untuk mengumpulkan semua orang yang pernah terlibat langsung pada waktu terowongan Neyama dibangun. Apalagi setelah tuan Tadashi Ohtsuka kepala bagian ekonomi keresidenan Kediri pada masa itu telah pula meninggal dunia. Terpaksa dengan segera Isozaki mencari sumber asli dengan menanyakan perihal pembangunan Neyama tersebut kepada tuan Hideo Tokunada bekas kepala bagian administrasi keresidenan Kediri dan tuan Kintaro Toita bekas juru bahasa keresidenan. Di samping itu Isozaki juga sering berkirim surat kepada tuan Enji Kihara bekas Residen Kediri yang sekarang tinggal di Hachiohji. Untuk mengutarakan maksudnya, Isozaki menulis tentang asal usul riwayat pembangunan Neyama. Pada pertemuan perkumpulan Kediri-Kai (Perhimpunan Kediri) yang diadakan di Tokyo pada tahun 1975, Isozaki berjumpa dengan tuan Enji Kihara. Pada kesempatan yang singkat itu, tidak lupa Isozaki menanyakan tentang terowongan Neyama. Beliau menjanjikan kepada Isozaki bahwa beliau sanggup menulis tentang riwayat dibangunnya terowongan Neyama secara terperinci. Akhirnya surat yang dijanjikan itu Ia terima, bunyinya sebagaimana termuat dibawah ini:

“Pada tahun 1942 awal bulan Agustus saya mendapat perintah dari panglima tertinggi H. Imamura Jendral pertama dari angkatan darat Jepang yang masuk ke pulau Jawa untuk diangkat menjadi Residen Kediri di Jawa Timur. Pertengahan bulan Agustus saya sudah berada ditempat tugas. Pada bulan September hujan turun terus menerus (pada waktu itu musim hujan). Seluruh daerah keresidenan dilanda banjir besar. Sawah dan rumah penduduk terendam air sampai setinggi atap rumah mereka. Air banjir tersebut lama sekali surutnya lebih kurang sebulan lamanya. Karena keadaan kemiringan tanah didaerah itu hanya 1/1000. Akibat banjir banyak penduduk yang pindah ketempat lain. Dan seluruh kegiatan ditempat itu mengalami kemacetan. Yang sangat mengherankan ternyata rakyat yang tinggal didaerah banjir tersebut pada umumnya tidak ada yang merasa kuatir. Rupa rupanya mereka sudah terbiasa dengan banjir yang melanda. Sebaliknya bagi saya setelah melihat sendiri keadaan banjir yang melanda, tidak akan membiarkannya begitu saja. Apalagi mengingat bahwa saya selaku seorang Residen di daerah itu. Kemudian saya kumpulkan para pegawai, Bupati dan Wedana Kediri pokoknya semua orang yang berpengaruh di daerah keresidenan Kediri pada masa itu. Untuk merundingkan bagaimana caranya mengatasi bahaya banjir tersebut. Dari mereka tidak ada satupun pendapat yang keluar. Karena itu saya mengajukan pendapat dan buah pikiran saya dihadapan mereka, sebagai berikut:

  1. Keadaan pantai Selatan merupakan satu pengunungan yang berbentuk seperti sabuk dengan ketinggian lebih kurang 100 meter. Jadi untuk mengalirkan air air banjir kelaut Selatan perlu dibuat parit untuk mengalirkannya. Setelah mereka mendengar pendapat saya diatas. Baru keluar beberapa pendapat dari yang hadir seperti berikut :
  1. Pada jaman Belanda sudah pernah ada usaha semacam itu tetapi mengingat akan kesulitan yang harus dihadapi rencananya gagal dan tidak jadi diusahakan.
  2. Akibat banjir penduduk memang menderita, akan tetapi selain itu banjir juga membawa lumpur yang tersangkut di sawah sehingga tanah menjadi subur karenanya.
  3. Bukan mau bermaksud mengingkari kewajiban, karena sekarang dalam keadaan perang, kiranya tidak ada gunanya memikirkan pekerjaan yang sesulit itu. Setelah hadirin mengeluarkan pendapat mereka seperti tersebut diatas, lalu saya berbicara lagi.
  1. Selama Angkatan Laut dan Darat Jepang bertempur di medan perang, kitapun sebagai orang sipil perlu bertempur disini dengan air banjir. Sebab kalau tidak demikian siapa lagi yang akan memikirkan kepentingan orang banyak.
  2. Tentang keuntungan pupuk yang dibicarakan tidak dapat dicampur adukan dengan banjir. Sebab di daerah lain yang tidak terkena banjir ternyata tanahnya tidak kalah suburnya.
  3. Mengenai kegagalan yang dikemukakan semasa pemerintah Belanda itu keputusasaan mereka itu membikin saya lebih bersemangat untuk meneruskan rencana ini. Sebab menurut pendapat saya pada jaman Belanda barang-barang mudah didapat dan tersedia banyak. Jadi mustahil kalau mereka tidak bisa mengerjakannya. Mungkin mereka hanya berpura pura saja kepada rakyat, demi untuk keuntungan sendiri.

Selanjutnya masih ada beberapa pertanyaan dan saling tukar pikiran diantara kami yang hadir. Akhirnya kebanyakan dari yang hadir menyetujui pikiran saya tersebut diatas. Untuk maksud itu kemudian saya memberanikan diri ke Jakarta akan menerangkan maksud saya tersebut kepada Panglima Tertinggi yang baru Letjen Harada. Ternyata Panglima menyetujui dan menjanjikan pula bantuannya. Bagi saya kata-kata beliau sudah cukup menghibur hati.

Setelah itu pada musim kemarau saya bersama kira-kira 15 orang pergi meninjau kedaerah Campur Darat untuk melihat dari dekat keadaan pegunungan dan rawa-rawa. Ternyata luasnya lebih kurang 20 Km2. Tak lama setelah itu pekerjaan pembangunan baru dimulai dengan tenaga manusia dan peralatan yang sangat sederhana sekali. Tidak ada insinyur maupun peralatan mesin sama sekali. Yang menguntungkan, tenaga manusia mudah didapat dengan upah setiap orang Rp.0,20 sehari.

Pekerjaan dimulai dari dua arah

  1. Bagian Utara…………masuknya air.
  2. Bagian Selatan……….keluarnya air

Jadi seharusnyalah kedua pintu tersebut sesuai dan lurus.

Keadaan pegunungannya tidaklah begitu tinggi, tapi semuanya masih merupakan hutan belantara. Karena itu selain memotong pohon dan mengambili akar-akarnya sambil melihat pula apakah arahnya sudah betul, juga memilih bagian rawa yang paling baik untuk dapat disambungkan. Pernah juga dicoba dari tiga jurusan untuk dapat membandingkan satu dengan yang lainnya. Dengan demikian semua orang setiap hari bekerja keras seakan akan bertempur dengan gunung. Sejak saat itu daerah bangunan tersebut kami namakan Neyama karena menurut saudara Nishida (juru bahasa kantor Keresidenan) diambil dari kata daerah setempat yang artinya Tumpak Oyot dan sejak itu nama Neyama populer diantara kami. Semula saya pikir setelah pembangunan parit selesai pekerjaan telah berhasil dengan sukses. Tidak menyangka bahwa akan mendapat hambatan dinding yang amat sukar diatasi. Semula pekerjaan tidaklah begitu sukar sewaktu masih mengerjakan kaki gunung. Tapi setelah mencapai ketinggian gunung pekerjaan semakin sulit. Meskipun telah dapat diketahui bahwa Jarak antara Utara dan Selatan tinggal 800 meter lagi. Karena daerah itu penuh dengan gumpalan gamping yang meskipun diledakan dengan dinamit tidak akan menghasilkan apapun. Karena itu mulai dari tempat tersebut kami mulai mengganti cara kerja dengan membuat terowongan yang sesungguhnya. Disamping kesukaran, ada hal yang mengembirakan. Yaitu kebetulan kami mendapat pinjaman satu mesin rock drill yang dipinjamkan maskapai Ishihara Sangyo dan mendapat pula bantuan tenaga seorang ahli, sehingga kami banyak belajar bekerja dari padanya. Pekerjaan pembangunan berjalan maju terus dengan lancar. Tapi sayang sisa dinamit tinggal sedikit lagi sehingga kami harus mencari kesana kemari. Kebetulan sekali tiba-tiba ada orang yang mengetahui bahwa sewaktu tentara Belanda melarikan diri melewati daerah Campur Darat banyak bom yang mereka buang kedalam rawa-rawa. Setelah diadakan pemeriksaan ternyata dapat ditemukan sebanyak 23 buah bom ukuran besar kecil. Untuk mengambil mesiunya kami datangkan seorang Cina tukang pembuat kembang api. Bom tersebut kami suruh potong untuk diambil mesiunya. Caranya bagian luar bom tersebut dilumuri minyak, kemudian perlahan lahan dipotong dengan gergaji besi. Hasilnya dapat dikumpulkan mesiu sebanyak 10 ton. Setelah itu pembangunan bertambah maju. Dengan menggansir gumpal batu gamping tersebut menyebabkan tidak perlu lagi diadakan pembetonan. Maka pada pertengahan bulan Nopember tahun 1944 terowongan Neyama pembangunannya telah sempurna untuk dapat dihubungkan sampai kelaut Selatan. Setelah itu diadakan upacara pengaliran air yang pertama dihadiri Panglima Tertinggi Letjen K. Harada. Pada kesempatan itu pula nama Neyama untuk bangunan terowongan tersebut dikukuhkan. Sedangkan air yang mengalir didalamnya kami beri nama Osamu diambil dari nama pasukan tentara Jepang yang berkuasa pada masa itu.

Suatu kejadian yang menyedihkan pernah terjadi ketika semua orang sedang asyik bekerja meledakkan gumpalan gamping tiba-tiba saudara Morioka terkena letusan dinamit sehingga meninggal dunia. Atas nama Residen Kediri kami makamkan jenazahnya dengan mengucapkan belasungkawa yang sedalam-dalamnya. Demikian pula kepada kira-kira 100 orang penduduk yang menjadi korban Neyama akibat penyakit malaria maupun kecelakaan yang menyedihkan. Pada kesempatan itu juga diadakan upacara untuk menghormati arwah-arwah mereka yang telah meninggal.

Tambahan :

Setelah dapat dipastikan pelaksanaan pembangunan kecerdasan Neyama, saya dirikan panitia untuk mencari dana istimewa dengan membatasi banyaknya dana sebesar Rp.300.000,- Karena pada saat dimulainya pekerjaan sama sekali tidak punya modal walau hanya sepicis sekalipun. Kekurangan maupun kelebihan dana tersebut akan saya pertanggung jawabkan nanti di Jakarta.

Mungkin terdapat kesalahan dalam catatan saya ini, mengingat surat ini saya tulis dalam keadaan tergesa-gesa. Karena itu pada kesempatan ini terlebih dahulu saya mohon maaf. Salam saya Enji Kihara”.

Demikian bunyi surat tuan Kihara tentang terowongan Neyama yang ditulisnya atas permintaan Isozaki. Kiranya merupakan surat wasiat. Karena tak lama kemudian beliau meninggal dunia pada tanggal 15 Juni 1977 dalam usia 85 tahun.

Pada tahun 1976, Isozaki mengumpulkan dan merapikan surat-surat lama untuk kepentingan perkumpulan Kediri-Kai. Tidak disangka Isozaki menemukan pula satu pita tape record, berisi pidato tuan Ohtsuka (bekas kepala bagian ekonomi kantor Keresidenan Kediri) dan pernah menjadi wakil Walikota Jakarta. Setelah kembali ke Jepang pernah pula jadi Walikota Sakai dekat Osaka. Pidato tersebut diucapkan beliau di gedung Suntory House pada tanggal 12 Juni 1968 untuk mewakili hadirin menyampaikan ucapan selamat datang dan selamat ulang tahun kepada tuan Enji Kihara dan isteri. Rekaman pidato tuan Ohtsuka inipun juga menjadi wasiat. Karena beliau meninggal dunia pada tanggal 2 November 1973 di rumah sakit Kyoto.

Pidato tuan Ohtsuka tersebut secara singkat ditulis Isozaki dibawah ini. Karena di dalam pidatonya beliau menyinggung sedikit peristiwa pembangunan terowongan Neyama yang dipimpin tuan Enji Kihara. Isi pidato tersebut sebagai berikut:

“Pada tahun 1942 saya ditempatkan di Kediri. Tidak lama setelah bertugas disana, kalau tidak salah bulan Oktober 1942 kami semua dikejutkan oleh datangnya banjir besar yang melanda daerah Kediri dan sekitarnya. Yang mengherankan kami pada saat itu ternyata penduduk sama sekali tidak menunjukan rasa bingung maupun terkejut. Malahan ada diantara mereka yang berkata, banjir seperti ini biasa, bahkan 4 tahun sekali terjadi banjir yang lebih besar dari ini. Akan tetapi tuan Residen beranggapan lain, meskipun mengetahui bahwa akan menghadapi kesukaran yang hebat. Air banjir ini harus dialirkan ke laut Kidul. Dapat dipastikan bahwa pekerjaan ini adalah pekerjaan keberanian dengan kecerdasan yang luar biasa. Setelah bangunan terowongan Neyama selesai nama tuan Kihara menjadi terkenal diantara 19 Residen yang berada di Pulau Jawa. Jika mengutip pribahasa “Dibawah panglima yang gagah berani tidak ada satupun serdadu yang lemah”. Tapi sayang kami semuanya hanya merupakan serdadu yang lemah. Sehingga tuan Kihara sering jengkel melihat cara kerja kami. Meskipun banyak diantara kami yang sakit bahkan ada yang sampai meninggal dunia sewaktu mengerjakan terowongan tersebut. Namun tuan Kihara maju terus tanpa putus asa. Sehingga akhirnya terowongan Neyama dapat diselesaikan dengan baik. Setelah itu semua majalah dan koran selalu menulis tentang Neyama. Tidak saja yang terbit di Pulau Jawa bahkan sampai kedaerah Selatan semua membicarakannya. Sehingga nama tuan Kihara menjadi sangat termasyur karenanya. Tentang keadaan pada waktu Neyama dibangun sudah tentu tuan Tokunaga dan yang lain mengetahuinya lebih jelas. Setelah terowongan selesai dengan sukses, nama Residen Kediri mendapat kehormatan dimana-mana. Meskipun ada diantaranya yang merasa kewalahan sewaktu pembangunan. Tapi setelah bangunan selesai semua merasa lega dan bersenang hati. Suara tertawa terdengar dimana-mana. Dengan demikian jelaslah bahwa terowongan Neyama yang telah selesai dibangun 1tu, sesungguhnya adalah kegiatan dan buah pikiran tuan Kihara sendiri”

Demikianlah bunyi pidato tuan Ohtsuka yang direkam didalam tape record.

Konstruksi Neyama di masa perang, dikutip dari pembicaraan tuan H. Tokunaga dan tuan K. Toita masing masing sebagai bekas Kepala Bagian Administrasi dan bekas Juru Bahasa di Kantor Keresidenan Kediri pada masa itu, adalah sebagai berikut:

“Di salah satu hulu kali Berantas terdapat sebuah gunung yang bernama gunung Kelud. Gunung ini pernah meletus pada tahun 1919. Kawah gunung menjadi rusak sehingga laharnya berpancar turun kejurang Batak dan menganggu kampung Udanawu yang berada di hilirnya. Begitu pula kota Belitar dan sekitarnya. Akibat letusan gunung korban jiwa sebanyak 5.500 orang. Untuk mengatasi banjir pemerintah Belanda telah membuat lobang di sebelah kawah gunung dan terowongan dipinggirnya supaya air tidak melimpah di danau. Akan tetapi hampir dapat dipastikan setiap 4 tahun sekali terjadi banjir besar, akibat endapan lahar yang sekian lama terpendam di kali Berantas. Sehingga dasar kali menjadi dangkal. Kami sebelumnya tidak mengetahui bahwa akan ditempatkan bertugas di Kediri pada tahun 1942. Pada musim hujan tiba-tiba terjadi banjir besar di mana dalam waktu yang lama air baru surut. Melihat penderitaan penduduk disekitar kejadian, Residen Kediri tidak sampai hati. Lalu beliau mengumpulkan seluruh orang yang berpengaruh di daerah Kediri untuk membuat rencana bagaimana caranya mengatasi banjir. Walaupun peralatan dan bahan yang diperlukan tidak punya samasekali. Hal tersebut tidak dihiraukan oleh Residen (tuan Kihara). Karena demikianlah sifat tuan Kihara jika sudah punya rencana. Kehendaknya harus berhasil dan dia tidak akan mundur setapakpun. Apalagi pada masa itu tidak ada seorang insinyur, sehingga semua pekerjaan dikerjakan hanya menurut perintah tuan Kihara saja. Beliau hanya punya pengalaman dalam ilmu teknik sewaktu bertugas di kantor Gubernur Taiwan. Kepada kami berdua yang sama sekali tidak mengetahui cara kerja seorang insinyur mendapat pekerjaan dengan pembagian tugas sebagai berikut: Bagian Tokunaga, tuan Sadanaga, tuan Fujii dan bagian Ohtsuka, tuan Satoh, tuan Yagi dan tuan Morioka. Sesangkan tuan Toita dengan 3 orang pembantunya ditugaskan sebagai juru bahasa di tempat konstruksi. Tuan Residen sendiri setiap hari meninjau ke tempat konstruksi, masuk ke dalam rimba. Meskipun sepatunya rusak dan bajunya kotor seperti kain lap tidak diperdulikannya. Untuk mengadakan pembicaraan antara Kediri dan pusat Jakarta ditugaskan kepada Tokunaga untuk mengurusnya. Akan tetapi modal dan material sulit sekali didapatkan bantuannya dari pusat. Malahan kebanyakan mereka mentertawakan dan menghina pekerjaan kami. Hanya ada bantuan dari tuan Yamamoto direktur General Affair yang setelah pulang ke Jepang menjadi anggota Majelis Tinggi. Dialah yang pernah memberi bantuan secara sembunyi- sembunyi dari belakang berupa mesiu kepunyaan tambang batu bara Bajah. Mencari buruh semula merupakan hal yang sulit pula. Karena adanya kepercayaan penduduk yang tidak bisa dimengerti. Apalagi daerah Neyama merupakan daerah sarang malaria. Karena itu melalui Kepala Desa harus dapat ditegaskan kemauan kita untuk membangun Neyama. Setelah itu sedikit demi sedikit mulai berdatangan tenaga buruh dan pekerjaan kelihatannya bertambah ada kemajuan. Orang pusat di Jakarta yang dulunya mentertawakan lama kelamaan menjadi diam dengan sendirinya. Sebaliknya kami bertambah sibuk menambah pondok tempat membagi distribusi makanan kepada buruh. Pekerjaan yang mulanya menggali parit sekarang diganti dengan membuat terowongan. Karena sudah mendapat pinjaman mesin rock drill dan tenaga bantuan seorang insinyur sipil berpangkat kapten. Sebenarnya pembuatan terowongan sudah lama dipikirkan tuan Residen. Tapi karena peralatan tidak ada begitu pula tenaga insinyur maksud tersebut ditangguhkan dulu. Mulai saat itu pekerjaan sudah dapat dikatakan lancar dan sudah merupakan pekerjaan kontruksi yang sebenarnya. Meskipun disana sini masih harus bertarung dengan gumpalan gamping yang merupakan pekerjaan berat. Untuk menghilangkan asap akibat ledakan dinamit dibuat secara berselang-seling lobang yang berdiri tegak lurus. Menurut arah letak lobang tersebut dibuatkan gangsiran dengan dinamit sambil mengawasi arah Utara dan Selatan. Sungguhpun demikian sering juga terjadi kesalahan arah, sehingga seperti jalan ular. Karena itu harus diadakan perbaikan disana-sini. Dengan cara bekerja demikian, pekerjaan dapat diselesaikan selama satu tahun sampai ke arah Laut Selatan. Setelah pekerjaan dapat diselesaikan semua orang berteriak teriak kegirangan, perasaan semuanya menjadi lega. Pernah terjadi pada saat pertengahan pekerjaan terjadi kekurangan dinamit. Menurut keterangan penduduk di dalam rawa-rawa banyak bom dibuang Belanda, sewaktu mereka lari. Setelah diselidiki ternyata memang banyak. Karena dinamit ini pula pernah terjadi peristiwa yang menyedihkan. Yaitu pada suatu hari tuan Morioka sedang memasang dinamit didalam lobang batu seperti biasanya. Anehnya setelah ditunggu beberapa detik dinamit belum meledak. Karena itu ia ingin melihat apa penyebabnya dinamit tidak meledak. Meskipun ia membawa kayu panjang tapi tidak digunakannya, malah ia ingin melihat dari dekat. Tiba tiba setelah tuan Morioka mendekat, dinamit meledak. Tubuhnya terpelanting dan menderita luka berat. Langsung dibawa kerumah sakit Tulungagung, tapi sebelum naik kendaraan tuan Morioka telah meninggal dunia. Tuan Morimoto dan tuan Toita membawa Jenazah tuan Morioka ke Kediri dengan kendaraan secara tergesa gesa, tuan Residen dan tuan Tokunaga turut naik kendaraan. Sambil mencucurkan air mata tuan Residen mengatakan bahwa ia sangat menyesalkan kejadian ini, ia merasa bahwa dialah yang membunuh tuan Morioka. Sebelum terowongan Neyama selesai seluruhnya tuan Kihara dipindahkan tugasnya sebagai Residen di Periangan. Setelah Neyama selesai dibangun diadakan upacara pembukaan oleh tuan K.Yoshie Residen Kediri yang baru. Pada upacara pembukaan diantaranya diundang Panglima Tertinggi Letjen Harada dan Panglima pasukan VII tuan Dohihara yang kebetulan pada waktu itu sedang mengadakan inspeksi ke pulau Jawa. Tuan Ohtsuka juga hadir, sengaja datang dari Bandung yang pada tahun 1943 pindah dari Kediri.

Pada kesempatan itu Jendral Dohihara mengatakan sebagai berkut: “Ini adalah administrasi yang sesungguhnya di masa perang”. Pada saat itu juga hadir perwakilan administratur militer, kepala pasukan, kepala biro pengangkutan angkatan darat daerah Jawa Timur, wakil dari Sultan Jogja, Sunan Solo, Mangkunegara dan semua Residen. Pembukaan dilakukan pada tanggal 31 Agustus 1944 jam 11.00 siang. Untuk menghargai jasa tuan Kihara didatangkan satu pasukan khusus disertai barisan Yamada dari Kediri yang menyumbangkan sebuah lagu berjudul Neyama yang diciptakan mereka sendiri. Irama lagu tersebut seolah-olah kedengarannya mewakili perasaan mereka yang pernah bekerja untuk pembangunan Neyama”.

Adalagi cerita dari tuan Yokoi, pada tahun 1944 ia dipindahkan dari pabrik gula Taiwan di Cokro tur Surakarta ke pabrik gula Mojopanggung Kediri dekat Tulungagung tidak jauh dari Neyama.

“Selama dilakukan pekerjaan konstruksi Neyama, bila ada kerusakan pada mesin rock drill kamilah yang melakukan perbaikannya. Sesungguhnya keadaan mesin sudah tidak karuan, walaupun demikian kami selalu berusaha memperbaiki dengan sebaik-baiknya. Kadangkala setelah diperbaiki sesampai di Neyama dikembalikan lagi karena rusak. Perasaan kami seakan mau menangis. Tapi kami sadar betapa pentingnya tenaga mesin rongsokan itu bagi para pekerja yang sedang mati-matian membangun terowongan Neyama”.

Pada tahun 1979, Isozaki pernah berkunjung ke Indonesia. Dalam kesempatan itu tak lupa Ia singgah ke Campur Darat karena ingin melihat terowongan Neyama. Disana Ia bertemu dengan salah seorang teknisi Indonesia, yang sedang mengadakan pengeboran. Isozaki sedikit bercakap-cakap dengan teknisi itu dan ia mengatakan, “Terowongan ini dibuat pada waktu perang dunia II yang kemudian tersumbat pasir. Setelah perang, sebagai proyek pampasan perang, diperbaharui oleh teknisi Jepang menjadi lebih besar dan baru, yang selesai pada bulan Maret 1961. Itulah yang merupakan terowongan itu sekarang. Tetapi masih timbul beberapa kekurangan yang sekarang pemeriksaan dan perbaikannya ditangani oleh kami, teknisi Indonesia”.

Perlu diketahui bahwa (1) Terowongan di Keresiden Kediri yang dibangun pada jaman perang, pembangunannya dimulai pada bulan Februari 1943 dan selesai pada bulan Juli 1944. Panjang saluran air dari Campur darat sampai jalan masuk terowongan lebih kurang 4 km, sedangkan garis tengah terowongan lebih kurang 2 km dan panjang terowongan 800 meter; (2) Setelah perang, sebagai proyek pampasan perang, dilaksanakan pembangunan oleh P.T. Kashima Kensetsu dengan bimbingan pembangunan dari P.T. Nihon Koei yang dimulai dari bulan Oktober 1959 dan selesai pada bulan Mei 1961 dengan garis tengah terowongan 7 meter dan panjang lebih kurang 950 meter; (3) Secara resmi nama terowongan itu sekarang adalah Terowongan Tulungagung Selatan; dan (4) Pembangunan terowongan pada jaman perang itu, merupakan hal yang terjadi 40 tahun yang lalu, sehingga data-data pada pihak Jepang hampir tidak ada. Namun di tempat kejadian masih ada kemungkinan banyak yang tahu tentang pembangunan terowongan pada waktu itu. Oleh karena itu terutama bagi yang tertarik, diharapkan melaksanakan penyelidikan. Sebenarnya pada tanggal 31 Juli 1979, Isozaki mengunjungi Mas Sudiro, yang tinggal di jalan Ronggowasito Kediri. Menurut cerita beliau, ketika pembangunan terowongan Neyama, beliau menjabat kepala desa Gurah, yang pada waktu pembangunan itu telah mengirim sekitar 500 orang warga desa.

Demikianlah, riwayat asal usul pembangunan terowongan Neyama yang diceritakan sendiri oleh orang Jepang yang terlibat langsung dalam pembangunannya. Semoga tulisan yang saya angkat dari karya Isozaki ini, berguna bagi mereka yang ingin mengetahui pembangunan Neyama yang sesungguhnya versi orang Jepang.

Pondoh Hijau Indah, 20 Maret 2023

 

(Sumber: google.com)

(Sumber: google.com)