OSAKA IN THE WORLD (OIW) dan Gagasan Summit Budaya UPI

Oleh AHMAD DAHIDI

Sejak diangkat menjadi pegawai negeri sipil di Universitas Pendidikan Indonesia tahun 1983, selalu terlintas dalam benak saya, bagaimana caranya turut andil dalam pengibaran bendera UPI di kancah nasional maupun di kancah internasional, khususnya Jepang. Mengapa saya membatasi hanya di Jepang? Sebab hanya itulah yang mungkin bisa saya lakukan sesuai dengan profesi saya ini. Saya ingin memberikan kontribusi positif kepada UPI dalam berbagai bentuk kegiatan dengan memanfaatkan bahasa Jepang yang saya kuasai.
Dalam perjalanan saya mengabdi di UPI (kurang lebih sudah 29 tahun) cukup banyak kegiatan yang saya lakukan, khususnya UPI dan Jepang antara lain simposium lingkungan hidup tahun 1993. Kegiatan ini kerja sama antara UPI dan Osaka Jisshi (Kadin Jepang Cabang Osaka), mendatangkan grup kesenian Laras Rumingkang UPI ke Osaka Jepang dan sekitarnya tahun 1992, merintis kerja sama antara UPI dan beberapa perguruan tinggi di Jepang, dan menerobos sejumlah lembaga dan perusahaan Jepang agar mereka menyisihkan uangnya untuk beasiswa mahasiswa UPI. Dan yang baru-baru ini saya lakukan adalah turut serta menggulirkan program Osaka Bisnis Internship Program (OBIP) 2012.
Rangkaian kegiatan tersebut, bermula dari perkenalan saya dengan beberapa orang Jepang. Berkat perkenalan itulah berkembang dan beranak pinak menjadi berbagai program kegiatan. Perlu saya kemukakan bahwa salah satu upaya yang selalu dipikirkan dan ditindaklanjuti adalah berusaha menjalin silaturahim dengan orang Jepang yang sudah saya kenal. Caranya sangat sederhana. Saya selalu berusaha komunikasi via email atau komunikasi langsung menggunakan media Skype. Kalau dulu sebelum dunia internet berkembang, saya selalu memaksakan diri untuk menulis surat, menulis kartu pos, atau setidak-tidaknya kartu ucapan selamat tahun baru kepada mereka, yang konon dalam budaya mereka, kartu ucapan tahun baru ini mempunyai nilai tersendiri. Mungkin kebiasaan ini tidak jauh berbeda dengan budaya kita ketika kita berkirim kartu ucapan selamat pada tahun baru atau permohonan maaf ketika menjelang hari raya Idulfitri. Kedekatan batin dengan orang Jepang yang saya jalin selama ini, Alhamdulilah sudah banyak menghasilkan keuntungan baik untuk kepentingan saya pribadi maupun untuk lembaga yang saya cintai, UPI.

Salah satunya adalah hasil perkenalan saya dengan Mr. Nakahashi yang sudah berjalan kurang lebih 20 tahun. Konsep silaturahim yang diajarkan Islam merupakan rel kehidupan yang besifat universal. Artinya bisa diterapkan kepada siapa pun dengan tidak memandang ras, bahasa, maupun latar belakang budaya. Mungkin yang berbeda hanyalah istilahnya saja. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah silaturahim. Menurut Mbah Google, ternyata istilah ini ada juga di dalam bahasa lain seperti dalam bahasa Jepang: kizuna/yuujou, Inggris: friendship, Belanda: vriendschap, Jerman: Freundschaft, Korea: 우정, Mandari: 友谊, Prancis: amitié, dan Vietnam : tình bạn.
Mungkin saja makna yang mendalam masing masing istilah dalam berbagai bahasa ini berbeda, namun substansinya saya kira sama, yaitu mengajak kita untuk menjalin persahabatan agar dunia ini damai. Karena sangat tidak mungkin perdamaian bisa dicapai apabila tidak diawali dengan proses silaturahim ini. Konsep silaturahim ini, saya terapkan dalam kehidupan saya, diantaranya dengan orang Jepang yang bernama Nakahashi Masami.
Saya berkenalan dengan Mr. Nakahashi pada tahun 1990. Ketika itu saya sedang mendalami bahasa Jepang di Osaka University of Foreign Studies , Japan (Sekarang sudah bergabung dengan Osaka University). Waktu itu, ada kegiatan seminar dan workshop di tempat dia bekerja. Saya diminta oleh pihak Osaka Univ. untuk menjadi narasumber di tempat tersebut. Intisari info yang saya kemukakan waktu itu, yaitu gambaran umum Indonesia, gambaran singkat Kota Bandung, penjelasan singkat tentang UPI (waktu itu masih IKIP Bandung dan berbagai kegiatannya) serta sedikit memperkenalkan angklung. Narasumber orang asing ada enam orang, semuanya menyampaikan keadaan negara, lembaganya, dan salah satu budaya tradisonal di negara masing-masing.

Seminggu setelah seminar dan workshop, Mr. Nakahashi datang mencari saya ke Osaka Univ. yang intinya ingin bertemu dan tertarik ke masalah budaya tradisional khususnya angklung. Pada pertemuan itu, saya sampaikan bahwa saya bukan ahli angklung apalagi memainkannya, akan lebih baik kalau Anda membuat program pengenalan budaya Indonesia ke Jepang. Itulah saran saya di sela-sela obrolan dengannya.
“Bagaimana caranya?” tanya dia.
“Waaah, itu gampang asal ada uang,” kata saya.
“Saya sanggup memenuhi keinginan Anda, bahkan di lembaga kami banyak kegiatan berkesenian yang dilakukan mahasiswa dan dosen kami. Insya Allah potensi mereka akan mempunyai daya jual untuk diperkenalkan kepada masyarakat Jepang,” demikian tegas saya.
Perlu saya kemukakan bahwa salah satu program Mr. Nakahashi (Osaka in the World Committee disingkat OIW) yaitu memperkenalkan budaya tradisional negara luar ke Jepang atau budaya tradisional Jepang ke luar negeri. Waktu itu, sudah diundang tim kesenian dari Srilangka dan New Zealand.
“Naah, bagimana kalau untuk tahun berikutnya dari Indonesia?” lanjut saya.
Untuk menggelindingkan program tersebut saya memohon kepada Rektor UPI (Waktu itu, Prof. Abdul Kodir. alm dan Bapak Karna Yudibrata sebagai PR III IKIP Bandung) dokumen yang berkaitan dengan kegiatan mahasiswa dan dosen dalam bidang kesenian yang bisa dipertontonkan kepada masyarakat Jepang. Alhasil, IKIP Bandung sanggup memenuhi undangan OIW dengan mengirimkan muhibah kesenian ke Jepang yaitu mengirimkan grup kesenian Laras Rumingkang (kira-kira 35 orang termasuk pimpinan rombongan). Untuk kelancaran program tersebut, saya mengajak Mr. Nakahashi untuk berkunjung ke IKIP Bandung dan sekaligus melihat persiapan yang dilakukan oleh tim kesenian.
Sementara tim kesenian mempersiapkan diri di kampus IKIP Bandung, saya dan Mr. Nakahashi berkeliling di Osaka dari kota yang satu ke kota lainnya. Tujuannya adalah memperkenalkan hasil kunjungan kami ke IKIP Bandung dan sekaligus meyakinkan para donatur. Perlu saya jelaskan bahwa pendanaan untuk mengundang Tim Kesenian IKIP Bandung waktu itu diperoleh dari anggaran Divisi Hubungan Luar Negeri yang ada di setiap kota, dan kekurangannya dari donatur atau simpatisan Jepang terhadap Indonesia.
Beberapa bulan setelah itu, Alhamdulillah muhibah kesenian ke Jepang dapat terlaksana kurang lebih selama satu bulan. Kegiatannya di samping melakukan performance di sembilan kota, juga mengadakan kunjungan ke sekolah-sekolah, dan homestay di rumah orang Jepang. Delegasi dipimpin oleh Bapak Karna Yudibrata, Bapak Akhlan Husen, Bapak Elin Samsuri, Bapak Wawan Danasasmita, dan Ibu Narawati. Sedangkan Rektor IKIP Bandung (Prof. Abdul Kodir. alm) & Ibu menyusul dua minggu setelah rombongan tiba di Jepang.

Selanjutnya, dalam rangka ulang tahun OIW yang ke-10, para delegasi dari sepuluh negara berkumpul di Osaka pada tahun 1999. Dari IKIP Bandung diwakili oleh saya dan Bapak Prof. Dr. Fuad Abdul Hamid (Waktu itu, beliau sebagai PRIV IKIP Bandung). Kemudian, dalam rangka ulang tahun OIW yang ke-20 tahun ini (tahun 2010), kami diundang lagi ke Osaka. Kali ini diwakili saya sendiri dan Prof. A. Chaedar Alwasilah, Ph.D. (sebagai PR I UPI). Pada kesempatan ini telah ditandatangani sebuah deklarasi bersama (dalam dua bahasa yaitu bahasa Inggris dan bahasa Jepang) oleh 20 puluh perwakilan negara peserta. Berikut ini adalah deklarasi yang dimaksud.

共同宣言
~人・地球・未来~
私たちOSAKA IN THE WORLD実行委員会は、民族音楽・舞踊などを通してお互いの国の文化を理解するために交流を図ってきた。その中で、本当の豊かさや本当の幸せが何である かを気づかされることが多かった。それを時代を担う世代のどう伝えていくかを模素してきた。
私たちのこれからは、自文化を継承するだけでなく、異文化理解の大切さを再確認し、市民レベルでの交流を推し量っていくことに心がけたい。そのことが、相互理解につながり、やがては世界平和へと発展していくとの意見で一致をみた。
本日20周年記念事業を契機に、今回参加した代表者同志のつながりを大切にし、相互理解のプログラムに向けた取り組みについて、積極的に協働していくことを宣言する。

Joint Declaration
~Human/Earth/Future~
We, the OSAKA IN THE WORLD COMMITTEE have carried out this cultural exchange program in order to help understand each other’s culture through ethnic music and dance. Throughout this program, we have had many chances to notice and showcase cultural aspects that bring worth and happiness to us. And we attempt to convey this importance to the next generation.
We will not only follow our own culture, but hope to recognize the importance of sharing different cultures, and we will endeavor to continue this promotion of cultural exchange among people from all walks of life.
Sharing this idea, we should all agree that recognizing this importance leads us to better understand each other. And we believe that it is in this way that world peace will be achieved. So, on this, the 20th anniversary of our program, we declare that we will all continue to respect this relationship and continue cooperating to have this interrelated program.
November 28, 2009.

Dalam rangka membuka Jurusan Pendidikan Sosiologi di FPIPS, saya, Prof. Dr. Idrus Affandi, M.Pd. (ketika itu Dekan FPIPS), dan Ibu Dr. Elly Malihah (ketika itu Ketua Prodi Jurusan Sosiologi) berkunjung ke Osaka. Waktu itu, kami berkunjung ke The Japan Foundation Kansai dan beberapa perguruan tinggi di Osaka. Tujuan kami ke Jepang tiada lain dalam rangka menjajaki kerja sama UPI (FPIPS) dan lembaga Jepang, khususnya suksesi pembukaan Jurusan Pendidikan Sosiologi. Pada kunjungan ini, kami banyak dibantu oleh OIW, terutama oleh Mr. Nakahashi. Sebagai wujud nyata bahwa OIW pun sangat mendukung jurusan Sosiologi, dan suksesi rencana Summit Budaya 2014, kami mengundang OIW ke kampus UPI untuk mengisi seminar dan workshop yang diselenggarakan Jurusan Pendidikan Sosiologi. Pada kesempatan ini, ada empat orang Jepang hadir, yaitu tiga orang Pengurus OIW (Mr. Yamanishi Ippei sebagai Ketua OIW, Mr. Masami Nakahashi sebagai Wakil Ketua, dn Mrs. Minamino sebagai Bendahara OIW), dan satu orang undangan OIW yaitu Mr. Nabeshima. Pada kesempatan yang baik ini, saya selenggarakan pula temu kangen antara Pengurus OIW dan para alumni Laras Rumingkang di Isola Resort UPI.

Di sela-sela kegiatan ulang tahun OIW yang ke-20 di Osaka, saya sarankan, bagimana kalau ulang tahun OIW untuk yang akan datang, tidak di Jepang (Osaka) tapi dilaksanakan di luar Jepang dan dipercepat waktunya? Maksudnya jangan tahun 2020, tapi sekitar tahun 2014 atau tahun 2015? Kalau tahun 2014, UPI siap menjadi tuan rumah?”, demikian pancingan saya kepada pengurus OIW pada waktu itu. Tentu saja pancingan tersebut sudah saya bicarakan terlebih dahulu dengan Prof. Chaedar yang mewakili Indonesia di forum tersebut. Kemudian gagasan ini dipertegas oleh Prof. Idrus ketika kami melakukan kunjungan ke Osaka Jepang.

Mengapa diusulkan tahun 2014? Ada beberapa alasan yang terlintas dalam pikiran saya waktu itu, yaitu:

(1) Para peserta delegasi rata-rata sudah berumur 60 tahun. Bahkan ada perwakilan dari Peru dan pengurus OIW itu sendiri ada yang sudah berumur 76 tahun. Bisa dibayangkan kalau ulang tahun dilaksanakan tahun 2020, umur mereka lebih tua sepuluh tahun dari umur sekarang. Saya sendiri (kalau panjang umur) sudah mencapai umur kepala enam.

(2) Namun yang paling mendasar dalam benak saya adalah adanya dorongan yang kuat ingin sekali turut serta pengibarkan bendera UPI di kancah internasional yang notabene sebagai salah satu perwujudan visi UPI “Universitas Pelopor dan Unggul”. Saya ingin sekali berbuat sesuatu untuk UPI yang sifatnya monumental. Mana mungkin pelopor dan unggul kalau UPI ini tidak dikenal oleh negara luar. Jadi, pengenalan UPI tidak hanya diselenggarakan mubibah kesenian dengan bepergian ke manca negara, namun penting juga orang-orang luar datang ke UPI sendiri dan melihat langsung kondisi UPI yang sebenarnya. Ini penting untuk meyakinkan para orang asing terhadap UPI.

(3) Seandainya ulang tahun OIW ini terlaksana di UPI , maka akan hadir perwakilan 25 negara, yaitu: Jepang, Srilangka, New Zealand, Indonesia, Meksiko, Thailand, Korea, Cina (Mongol), Turki, Malaysia, Peru, Irlandia, Vietnam, Bulgaria, Filipina, Rusia, Italia, Nepal, Georgia, India, Argentina, dan Ukraina. Saya sendiri sangat berharap setiap delegasi membawa serta rombongan kesenian untuk ditampilkan di UPI. Sementara di UPI sendiri, (pada hari H-nya) bisa diperlihatkan berbagai hasil kreasi mahasiswa dan dosen seputar kegiatan yang berhubungan dengan berkesenian termasuk juga penampilan mantan grup kesenian Laras Rumingkang.

Harapan ini terlintas setelah saya menyaksikan Pasar Seni di ITB. Seperti diketahui, Pasar Seni ITB sudah menjadi program rutin empat tahunan di mana materi kegiatannya memperlihatkan kreativitas mahasiswa dan dosen ITB kepada masyarakat luas baik berupa pameran seni, dan juga diselenggarakan kegiatan akademik lainnya seperti seminar, workshop, dan sejenisnya. Termasuk juga difasilitasinya wisata kuliner yang bisa dinikmati oleh para pengunjung. Meniru hal yang positif dari perguruan tinggi lain menurut hemat saya bukan hal yang tabu dan dilarang. Yang penting, bagaimana mengemas kegiatan yang pada gilirannya menjadi trendmark perguruan tinggi tersebut.
UPI yang memfokuskan diri pada pendidikan, sudah sewajarnya melaksanakaan kegiatan gebyar UPI yang memperlihatkan kreativitas mahasiswa dan dosen. Misalnya, diperlihatkan berbagai produk pendidikan dan pengajaran hasil karya nyata warga UPI, model pembelajaran unggulan masing-masing prodi, diselenggarakan workshop sederhana dalam pembuatan media pembelajaran yang sesuai dengan karakter masing-masing prodi, diperlihatkan demontrasi teknik mengajar yang efektif untuk materi-materi yang sesuai dengan ciri khas prodi masing-masing, dll. Itu semua diperlihatkan dalam bentuk stand-stand prodi yang berjejer di kampus utama Bumi Siliwangi.
Selain itu, diharapkan sekali para mahasiswa UPI (termasuk kampus daerah) turut serta meramaikan hajat besar UPI ini dengan mendatangkan para mahasiswanya ke kampus Bumi Siliwangi. Sudah bisa dibayangkan betapa ramainya UPI saat nanti. Kenapa tidak? Mahasiswa UPI yang konon berjumlah kurang lebih 37.000 orang, lalu masyarakat Bandung dan sekitarnya, juga para simpatisan lainnya dari luar Bandung akan melirik UPI dan saya yakin mereka akan berdatangan ke UPI guna menyaksikan langsung “Summit Budaya 2014” yang sekaligus menjadi gebyar UPI 2014.
Untuk itu, seandainya satu malam menampilkan 1-2 grup kesenian, berarti perlu waktu dua minggu. Atau jika semalam ditampilkan lima negara, maka waktu yang diperlukan selama lima hari. Bukan kegiatan itu saja, dilaksanakan juga seminar atau workshop yang diikuti oleh semua delegasi. Seandainya obsesi ini bisa terwujud, tahun 2014 bisa dijadikan cikal bakal kegiatan rutin empat tahunan di UPI. Dengan kata lain, tidak salah apabila di UPI sendiri dibuat program rutin empat tahunan seperti halnya Pasar Seni di ITB.

(4) Bagaimana pendanaan untuk menyelenggarakan kegiatan ini? Inilah pekerjaan rumah yang mesti dipikirkan dari sekarang oleh pihak yang terkait, setidaknya oleh UPI dan OIW. Sebagai gambaran, Alhamdulillah dari hasil lobi beberapa bulan yang lalu (saya sendiri & Nakahashi) telah mendapatkan sebuah perusahaan Jepang (REI Jepang) yang telah menyanggupi menjadi sponsor utama untuk kegiatan summitt budaya ini. Mudah-mudahan lancar.

(5) Terakhir, cepat atau lambat, sebaiknya dibuat MOU antara UPI, OIW, dan sponsor yang saya maksud.
Demikian sekilas ceritera perjalanan saya, OIW, dan rencana summit budaya 2014 yang saya maksud. Mudah-mudahan berjalan lancar dan ada manfaatnya.

Osaka, 20 April 2012

Sumber: http://berita.upi.edu/2012/04/23/osaka-in-the-world-dan-gagasan-summit-budaya-upi/ [10 Mei 2012]