Talin, Cerpen “Pertarungannya”

Dosen DPBJ Ibu Noviyanti Aneros S.S., M.A yang mengajari kami pada mata kuliah Nihon Bungaku atau Sastra Jepang pada tahun 2017, meminta kami untuk membuat hasil karya berupa cerpen terkait Jepang.

Berikut hasil karya cerpen yang telah saya coba tulis. Semoga dapat menghibur para pembaca semua.

“Pertarungannya”

Talin Salisah

Natsumi membuka kelopak mata dengan perlahan, cahaya lampu yang menusuk bola mata menyebabkan denyut nyeri di sekitar pelipisnya semakin terasa. Yang menyapanya pertama kali adalah langit-langit berwarna krim dengan lima tiang besi vertikal sebagai penyangga. Begitu menjulang tinggi langit-langit tersebut membuat Natsumi menyadari satu hal.

Oh, tidak, aku tertidur di aula latihan akademi.

“Selamat pagi.”

Sial, suara itu.

“Lebih tepatnya, selamat malam, Hime-sama.”

Gadis itu bangun dari lantai aula latihan dengan canggung, diam-diam mengintip sosoknya dari sudut mataku. Kei duduk tegap menyilangkan kaki, kedua lengannya terlipat di dada. Matanya yang berwarna hitam bagaikan langit malam itu memandang Natsumi dengan tatapan dingin.

Hari ini Kei mengenakan blazer berwarna biru dongker, tidak ada dasi merah berhias titik-titik putih kebanggan akademi mengiasi lehernya. Kancing teratas sengaja ia lepas untuk membuatnya bernapas lega, kain kemeja pada kedua lengannya ia lipat hingga mendekati siku.

Sepertinya ia sangat kelelahan. Benar, kelelahan mencarimu, Natsumi bodoh.

“Sudah puas menatapku, Natsumi?”

Natsumi mengedipkan mata beberapa kali. “Siapa yang menatapmu?”

“Hantu.” Oke, jawabannya sangat sarkastik sekali. “Kau kira aku menunjukkannya pada siapa lagi?”

Um, maaf, Kei.”

Kei menghela napas. Aura semakin menggigit ketika tatapannya mengunci seluruh pergerakan yang Natsumi buat. “Kenapa kau tidak menjawab teleponku?”

Gadis itu mengecek intercom di pergelangan tangan kirinya, dan benar, ada dua puluh panggilan tak terjawab tertulis di sana. Sepuluh di antaranya berasal dari Kei, tiga dari Natsume, tiga lainnya milik Kaoru, kemudian empat dari Sora, ibunya. Di sudut intercom jam menunjukkan pukul sepuluh pada malam hari. Tanpa sadar Natsumi menerjunkan dirinya sendiri ke dalam masalah yang sebenarnya sangat ingin ia hindari.

Bagus sekali.

“Kenapa kau tidak menjawab teleponnya?” ulang Kei sedikit menuntut.

Natsumi menutup mata sejenak. “Aku tidak menyadarinya.”

“Tidak sadar walaupun intercommu itu bermode getar dan berkedip?” Kei mengangkat kedua alisnya mempertanyakan satu fakta yang jelas-jelas tidak bisa dibuat sebagai sebuah alasan.

“Ma, maaf.” Natsumi menatap mata Kei, ia tidak berniat meninggalkan fokusnya pada gadis itu.

Suara getaran memberi jeda pada perbincangan mereka .Kei menatap intercomnya sejenak, kemudian ia memperlihatkan layar intercomnya pada Natsumu lalu menyeringai. “Timing yang tepat bagiku untuk melapor.”

Gadis itu mengerucutkan bibir, tersinggung.

Pip!

“Ya, Natsume.”

Apa kau sudah menemukannya?

Kei mencuri pandang, gadis itu menggeleng kepala dengan tegas sebagai jawabannya. Moodnya untuk berbicara dengan Natsume sedang tidak baik. Memikirkan argumen yang akan terjadi di antara mereka membuat tubuh Natsumi semakin lemas. “Aku sudah menemukannya.”

Natsumi bisa mendengar napas lega Natsume yang berhembus. Ia juga kelelahan sama seperti Kei. Tentu saja, gadis itu menghilang sejak pagi tadi tanpa ada komunikasi apapun dengan orang lain.

Baguslah,” sahutnya. “Aku harap kau secepatnya mengantar Natsumi ke rumah.”

“Kau tidak ingin berbicara dengannya?”

“Kei!” bisik Natsumi setengah berteriak.

Tidak perlu. Dia pasti sangat kelelahan.”

“Baiklah. Sampai jumpa, Natsume.”

Kei, hati-hati di jalan.”

Padahal gadis itu yakin Natsume ingin meminta penjelasannya dengan segera, Natsume tahu bahwa Natsumi memang sedang mendengarkan percakapannya dan Kei. Tetapi Natsume lebih memilih membiarkan gadis itu untuk tidak berkata apapun demi menenangkan pikirannya yang mungkin sedang kacau

Terlalu asyik mendengar pembicaraan antara Kei dan Natsume, ditambah otaknya yang tiba-tiba menjadi kosong, Natsumi mendapatkan Kei sudah berdiri di ambang pintu aula latihan sembari menelusupkan jemarinya ke dalam saku celana. Ia sedikit memiringkan kepala menungguku untuk cepat menghampirinya.

“Apa yang kau harapkan kepada gadis yang ambruk akibat latihan menyiksa untuk segera menghampirimu, Kei?” teriak Natsumi menggoda laki-laki itu.

Lagi-lagi dia mengangkat kedua alisnya.

Oh, respon yang luar biasa.

Kei tersenyum lalu menggelengkan kepala tidak percaya terhadap tingkah gadis ini yang mungkin kekanakan baginya. Natsumi membalasnya dengan memamerkan deretan gigi ketika sosoknya semakin dekat. Laki-laki itu memutar badan menawarkan punggungnya yang tegap, menjadikan lutut kiri sebagai tumpuan ketika ia berjongkok.

“Naiklah, kuberi kau tumpangan gratis.”

Kali ini bagian Natsumi untuk tertawa. “Aku hampir mempertanyakan kepekaanmu, kau tahu?”

“Tenang saja, kepekaanku belum tumpul,” balasnya diselingi dengan tawa yang merdu. “Ayo cepat, keluargamu sudah menunggu.”

“Sesuai dengan keinginanmu, Ouji-sama.”

 

**

 

Tubuh Natsumi terlonjak tatkala suara pintu yang terbanting mengenai permukaan dinding menyapa pendengarannya. Ia hampir saja menjatuhkan novel Royal Blood favoritnya ke atas lantai, fakta bahwa alat pemompa darah masih berdetak di dalam rongga dadanya merupakan berita yang menyenangkan.

“Berani sekali kau tidak menjawab teleponku kemarin!”

Kaoru berjalan menghampiri Natsumi bagaikan monster raksasa yang tidak sengaja menginjak bangunan di bawah kakinya. Dari atas kasur, Natsumi bisa merasakan beratnya langkah kaki gadis itu bersamaan dengan wajahnya yang mengerut. Sudah berulangkali gadis itu membuat Kaoru menjadi seperti ini dan masih saja bergidik ngeri melihatnya.

Ia bukan pembuat onar atau anak berandal yang mengacaukan harmoninasi di dalam masyarakat. Tetapi di saat situasi menjadi sulit, sikap keras kepalanya akan muncul membuat orang-orang di sekitar Natsumi kelimpungan.

Tiba-tiba Kaoru melemparkan diri memeluk Natsumi dengan erat. Kedua lengannya melingkar di leher Natsumi cukup kuat, cukup kuat sampai-sampai alat pernapasannya mulai kehilangan oksigen perlahan-lahan.

“Kaoru, napas… ku!” ucap Natsumi sembari menepuk punggungnya berulangkali.

Ia menggelengkan kepalanya tegas. “Kau tidak angkat intercommu dan aku nyaris menjadi gadis gila menunggu kabar darimu, kau tahu!”

“Aku… mengerti,” Semakin kuat lengan yang melingkar, semakin tercekik pula tenggorokanku. Jika aku mati karena kehabisan napas, maka salahkan pada sahabatku ini. “Tolong… le… pas… Kao… ru.”

Kaoru memekik lalu dengan cepat melepas pelukannya.

“Ma, maaf, kau tidak apa-apa?!”

“Pertanyaan yang bagus, Kaoru.” Sahut Natsumi sarkastik. Gadis itu mengerucutkan bibir, setelah itu ia menjulurkan lidahnya mengejekku.

“Kau membuatku khawatir.” Nada yang diberikan Kaoru menyatakan bahwa ia tidak main-main. Sekarang Natsumi lebih takut dengan sisi serius yang dimilikinya, itu berarti ia akan lebih banyak berargumen dengan Kaoru. “Kenapa kau tidak bercerita?”

Kaoru sedikit memberikan jarak, duduk di sisi tempat tidur sembari menangkup kedua tanganku dengan hati-hati. Aku membalasnya dengan memegangnya lebih erat. “Aku harus berlatih, Kaoru.”

“Setidaknya beri tahu aku, tidak, beri tahu siapapun. Ibumu terus meneleponku karena kau tidak menghubunginya.”

“Aku tahu.” balasnya lemas.

“Kau sudah meminta maaf, ‘kan?”

Natsumi mengangguk.

“Aku siap mendengarkan keluh kesahmu, tapi kalau kau berlatih secara menyiksa seperti ini untuk menyalurkan kekhawatiranmu, lebih baik kau mengundukan diri dari kompetisi, Natsumi.”

Apa?

“Ini tidak menyiksa, Kaoru―”

“Hampir setiap hari kau berlatih, di rumah maupun di akademi, dan waktu berlatihmu lebih lama dari biasanya. Aku pastikan tubuhmu itu tidak beristirahat bahkan akan hancur jika kau tidak berhenti. Memangnya kau pikir aku tidak tahu kegiatan sadismu itu?” potongnya tegas.

“Kau ini berlebihan.” Natsumi melepas genggaman Kaoru dengan paksa. Kedua mata gadis itu mulai menunjukkan deklarasi perang, siap untuk meluncurkan rudal andalannya untuk melakukan adu mulut dengan Natsumi. “Ini kebiasaanku, kau paham, bukan?”

“Aku tidak mengerti.” ungkap Kaoru.

“Kaoru…”

“Ini sudah keterlaluan, Natsumi, kau bisa saja mengacaukan apa yang sudah kau rencakan. Hentikan latihanmu itu dan beristirahatlah!”

“Aku tidak bisa!”

“Dengarkan aku, Natsumi!” teriaknya di hadapan wajah Natsumi.

Dua hari berturut-turut Natsumi menerima teriakan dari dua orang berbeda, dari orang-orang yang ia sayangi. Jujur, ada perasaan sakit serta luka yang timbul ketika mereka memekik melampiaskan amarah kepada gadis itu. Tetapi Natsumi mengakui bahwa ia sendiri yang membuat mereka berdua khawatir, ia pantas menjadi bahan pelampiasan emosi mereka.

Kaoru menghela napas sejenak. “Istirahat. Tidak ada bantahan, tidak rengekan.”

“Kaoru!”

Sst!” Gadis itu meletakkan jarinya di depan bibirnya sendiri, menyuruh Natsumi untuk tidak melakukan aksi protes. “Apa perlu aku memanggil Kei kemari?”

“Hei, berani sekali kau mengancamku!”

“Hei, berani sekali kau tidak mengangkat teleponku!”

“Kau sudah mengatakannya tadi!”

“Ini mulutku, aku bebas mengatakannya!”

“Cukup!” kata Natsumi muak dengan perang yang mungkin tidak akan berakhir. “Oke, aku menyerah. Aku akan beristirahat.”

Kaoru memasang senyum kemenangan di bibirnya. “Istirahat sekali tidak akan membuatmu menjadi lemah, Natsumi, tenang saja.”

“Terserah.”

“Biarkan aku memelukmu.” Kaoru tertawa, ia mulai merentangkan lengannya dengan lebar dan mulai mendekatkan dirinya ke arah Natsumi. Secara otomatis Natsumi mendorong tubuhnya menjauh menyebabkan gadis itu nyaris terjungkal dari tempat tidur.

“Hentikan, itu menggelikan!” kata Natsumi. “Jangan mendekat!”

“Aku ini sahabatmu yang semalaman hampir tidak tidur berharap kau baik-baik saja di luar sana.”

“Dramatis!”

Dengan cepat Kaoru melingkarkan kembali lengannya di leherku hingga aku tidak bisa bergerak dengan bebas. Gadis itu tidak berhenti tertawa melihat tingkahku yang jijik dan ingin segera melepaskan diri darinya. Namun entah kenapa Natsumi ikut tertawa bersamanya, mencairkan suasana kamar gadis itu yang sempat membeku.

 

**

 

Dari kamar ganti peserta, Natsumi bisa mendengar suara sorak penonton yang bergemuruh dari tempat pertandingan. Tanpa terasa pertandingan final sudah berada di depan mata. Waktu yang Natsumi lewati, ia laui dengan berbagai latihan keras, keringat, serta perasaan ragu yang selalu menghantuinya setiap harinya. Walaupun ada saatnya gadis itu harus beristirahat sejenak karena perintah dari tuan putri cerewet, sahabatnya, Kaoru. Tetapi Natsumi berterimakasih dengan perintah tidak menyenangkan tersebut, tubuhnya terasa lebih baik sebelum hari pertandingan tiba.

“Natsumi.”

Natsume yang berdiri di antara Kaoru dan Kei menghujani Natsumi dengan tatapan menusuk, seolah-olah ia akan membuat mata gadis itu menjadi berlubang.

Akhir-akhir ini Natsume jarang memperlihatkan sikapnya itu kepada kakak kembarnya secara terang-terangan, apakah Natsume tidak ingin Natsumi tahu dengan sifat khawatirnya yang kadang berlebihan bahkan bisa membuatnya meledak atau gadis itu sendiri yang memang tidak peka dengan pandangan mata itu.

“Wajahmu sangat jelek hari ini.” lanjutnya. Ekspresi wajahnya datar, terlalu datar hingga aku ingin menghajar wajahnya sekarang juga.

Aku mengharapkan kalimat penyemangat atau sebuah guyonan dengan senyuman mengejeknya untuk menghilangkan ketegangan yang mulai menggangguku. Tetapi apa yang kudapatkan? Saudara kembarku hanya datang menghancurkan moodku hingga berkeping-keping.

Tarik napas lalu buang, Natsumi, jangan sampai emosimu meruntuhkan segalanya.

“Kau ingin mendukungku dengan kalimat itu?” respon Natsumi sinis. “Manis sekali.”

Berbeda dengan Natsumi, Kaoru meluapkan rasa kesalnya dengan menarik daun telinga Natsume dengan kuat. Laki-laki itu memekik kesakitan sembari melepaskan jemari Kaoru satu persatu dari telinganya. “Dasar bodoh, kau ingin menjatuhkan mental saudaramu sendiri?!”

“Kenapa kau yang harus marah? Dia baik-baik sa―aaaa!” Natsumi bisa melihat telinga Natsume yang semakin memerah. Kaoru mengigit bibirnya menahan diri untuk tidak merusak salah satu anggota tubuh berharga Natsume tersebut.

Gadis itu tidak tinggal diam jika melihat Natsumi dibully oleh Natsume, Kaoru kadangkala melakukan hal-hal tidak terduga menggantikanku membalas perlakukan laki-laki itu terhadap Natsumi. Bahkan respon Kaoru bisa lebih ganas daripada yang biasa Natsumi berikan kepada saudaranya itu.

“Lebih baik kau tidak ada di sini, Natsume.” Dengan mudah Kaoru menyeret tubuh Natsume ke arah pintu keluar, padahal tubuhnya lebih pendek dari Natsume dan sedikit lebih pendek dari Natsumi.

Di sisi lain, Kei menikmati drama klasik yang sedang berlangsung dengan lengan terlipat di dada. Ia tidak memperlihatkan senyum ataupun tawa, namun kedua matanya berbinar penuh canda. Jika adegan dramatis ini terjadi di hadapannya, Kei hanya menjadi penonton tanpa reaksi menunggu sampai semuanya selesai. Sangat tipikal Kei, tetap menjaga sisi tenangnya walaupun ia ingin sekali bergabung untuk meramaikan adegannya.

Kaoru tidak akan bertahan lama, otot kuat Natsume akibat latihan pedang yang tidak bisa terhitung menghentikan gerakan gadis itu, menggenggam pergelangan tangan Kaoru agar ia tidak dapat menggapai telinganya.

Natsume menahan pandangan mataku lalu berkata, “Wajahmu jelek, aku tidak ingin melihatmu di pertandingan.”

Kali ini Natsume yang menarik keluar Kaoru. Gadis itu tidak bisa berkata apapun, tidak mampu untuk membela Natsumi atau memarahi Natsume. Ia juga belum sempat mengucapkan kata dukungan untuk gadis itu, digantikan dengan keheningan setelah pintu keluar tertutup begitu saja.

Semua kalimat yang sudah terucap dari bibir Natsume masih terngiang di dalam kepala Natsumi, mencoba memahami apa yang ingin laki-laki itu katakan. Tetapi gadis itu hanya mendapatkan jawaban bahwa ia menyudutkan Natsumi dengan cara yang cukup kejam.

“Aku tidak tahu bahwa Natsume akan menjadi menyebalkan seperti tadi,” Kei berkata mengisi kesunyian.

Aku membuang napas, lalu memijat pelipisku perlahan. “Dan aku sendiri tidak tahu dia akan menjadi semenyebalkan ini.”

Kei menepuk kepala Natsumi lembut.

“Kei.” sahut Natsumi tertegun.

“Wajahmu jelek,” ungkap Kei lalu disusul dengan respon gadis itu yang menunjukkan wajah datarnya, sedikit kesal. “Wajahmu jelek karena rasa gugup sangat terlihat di permukaan wajahmu, tidak seperti biasanya.”

Tanpa sadar Natsumi menyentuh wajahya, menelusuri kedua mata, tulang pipi hingga dagunya.

“Itu yang dimaksud oleh Natsume jika kau ingin tahu.” tambahnya lagi.

Kei memperhatikan Natsumi yang kini sedang membenahi dirinya, mencoba untuk mengurangi rasa tegang dan menghilangkan gemetar di jari-jari tangannya. Laki-laki itu yakin Natsumi akan melakukan yang terbaik karena ia sudah melihat puluhan pertandingan yang gadis itu lewati, kerja keras serta keringat di setiap latihannya.

“Natsumi, aku punya penawaran menarik.”

Laki-laki itu tertawa dalam hati melihat Natsumi mengerutkan keningnya penuh dengan kecurigaan. Kei tahu bahwa Natsumi sedang mengantisipasi penawaran macam apa yang akan muncul, apakah menguntungkannya atau malah merugikannya.

“…lanjutkan.” respon Natsumi hati-hati.

“Di pertandingan nanti, jika kau menang aku akan membelikan novel yang kau sukai selama sebulan penuh.”

Natsumi membulatkan matanya, penawaran tersebut begitu menggiurkan lidah. Siapa yang tidak senang jika uangmu akan tetap utuh namun stok novelmu akan bertambah. Bagi penyuka novel sepertinya itu adalah hadiah terindah yang pernah ia dapatkan.

“Tapi, jika kau kalah,” Kei menggantungkan kalimatnya. Ini yang ditakutkan Natsumi, laki-laki itu bukan memberikan sebuah tawaran melainkan hukuman mengerikan yang bisa membuatnya tidak bisa tidur. “Aku akan menemanimu selama tiga hari berturut-turut.”

Gadis itu mematung, tidak bisa menelan perkataan Kei dengan baik. Natsumi pikir laki-laki itu sedang sakit, lebih parah lagi ia menjadi gila. Tidak biasanya ia menawarkan sebuah keuntungan lain, tidak biasanya ia bersikap semanis ini. Tujuannya akan selalu menggoda Natsumi, membuat gadis itu naik darah demi memenuhi kebahagiaan kecilnya.

“Kau mempermainkanku.”

Pernyataan Natsumi membuat Kei merasa offensive. “Tidak, aku serius.” belanya.

“Aku paham dengan penawaranmu untuk membelikanku novel sebulan penuh.” Natsumi berkacak pinggang mengungkapkan kembali tawaran yang dimiliki Kei. “Tetapi menemaniku selama tiga hari berturut-turut? Wow, aku merasa dibohongi jika kau berkata seperti itu.”

“Aku serius, Natsumi.” Kei memelas mengulangi perkataannya.

Natsumi menyelipkan helaian rambut kecoklatannya di sela daun telinga. “Apa perlu kuingatkan bahwa kau adalah seorang pangeran yang sibuk mengurus kerajaanmu sampai-sampai kau sulit untuk keluar dari meja kerjamu sendiri?”

Kei tidak dapat membantah dengan informasi tersebut. Saking terlalu menumpuknya tugas kerajaan di atas meja kerjanya, Kei bisa duduk berjam-jam bahkan nyaris seharian untuk menyelesaikan dokumen penting yang diberikan oleh kakeknya. Tetapi untuk menghibur gadis itu, demi menghilangkan segala aura negatif yang terus menginvasi pikiran Natsumi, Kei akan melakukan apapun bahkan untuk menunda pekerjaannya.

Ia sendiri tidak bisa berkonsentrasi dalam pekerjaannya ketika gadis itu tidak dalam keadaan baik.

Natsumi menutup bibirnya dengan cepat. “Oh, maaf, maksudku yang akan menjadi kerajaanmu.”

“Kau tidak perlu khawatir dengan hal itu.”

“Tetapi, ya, aku selalu khawatir.”

“Natsumi.”

Udara di sekitar mereka begitu mencekik, Natsumi tidak mengira akan menjadi seserius ini. Tetapi melihat wajah Kei yang terlihat kesal dengan adu argumen yang terjadi, Natsumi tiba-tiba tertawa begitu saja, sembari memegangi perutnya yang sakit akibat terlalu melepas tawanya.

“Natsumi, ini tidak lucu!” teriak Kei yang membuat tawa gadis itu semakin menjadi-jadi. “Sekarang kau yang mempermainkanku.”

Natsumi menghapus air mata yang mencuat dari sudut matanya. Ia mendapatkan ekspresi dingin laki-laki itu mencuat ke permukaan, seketika Natsumi membungkam mulutnya namun tidak menanggalkan senyuman jenakanya.

“Oke, maafkan aku. Tapi wajahmu tadi menggemaskan sekali.”

“Jangan bercanda, Natsumi, “ desis Kei.

Gadis itu mengubah ekspresinyaa menjadi datar. “Tetapi untuk masalah pekerjaanmu itu aku sangat serius, Kei-ouji.”

“Aku pun serius dengan penawaranku tadi.”

Natsumi memamerkan giginya. “Baiklah, kita impas.”

Moodnya berubah drastis bagaikan cahaya kilat yang menyambar, ekspresinya melembut lalu beberapa detik kemudian laki-laki itu tertawa dengan puas.  

“Tetapi entah kenapa aku jadi ragu untuk memenangkan pertandingan ini.”

Kei menyeringai. “Kalah saja, aku tidak keberatan.”

“Dan melupakan novel gratis selama sebulan? Tidak, terima kasih.” Natsumi berkata lalu menjulurkan lidahnya.

Sunao jyanai na, kimi wa.”

 

**

 

Kedua mata Kei tidak absen dalam mencari sosok gadis itu di antara kumpulan orang yang baru saja keluar dari tempat pertandingan. Sejenak ia tinggalkan Natsumi untuk membeli minuman untuk melepas dahaga, gadis itu sudah menghilang dari tempat mereka berdiri beberapa menit yang lalu. Kei berharap Natsumi tidak pergi dari akademi tanpanya, ia tidak ingin gadis itu berjalan sendirian dengan tubuh lemas serta pikiran yang berkabut.

Senyuman lega itu muncul tatkala Natsumi kini berada dalam jarak pandang Kei. Gadis itu berdiri di bawah pohon besar yang bersisian dengan tembok pagar akademi. Ia bersandar pada tubuh pohon sembari menutup kelopak matanya menikmati angin yang berhembus lembut.

“Kau ini senang membuatku khawatir, ya.”

Natsumi membuka matanya mendapati minuman kaleng berenergi berada di hadapannya beberapa senti. Gadis itu memegang kaleng tersebut lalu tersenyum. “Maaf.”

“Aku kira kau akan meninggalkanku,” celetuk Kei.

Natsumi memaksakan senyumnya. “Mana mungkin.”

Suara dedaunan yang saling beradu akibat angin yang kembali menyapa, menemani mereka berdua dalam kesunyian. Diam-diam Kei memperhatikan gerakan gadis itu yang terasa melambat dan terasa lemas, seolah-olah Natsumi tidak ingin melakukan apapun selain berdiri dan menggenggam kaleng minuman itu di tangannya.

Mata hazel favorit Kei kini meredup, tidak ada gemerlap kebahagian serta semangat yang biasa gadis itu ungkapkan di sana. Nada ceria yang terdengar merdu di telinga laki-laki itu tidak lagi berbunyi. Semuanya lenyap dalam sekejap sejak setengah jam yang lalu.

Kekalahan telak dengan hasil yang tipis meremukkan hati Natsumi, suara pembawa acara yang mengumumkan pemenangnya masih terdengar nyaring hingga saat ini. Ia terus berteriak dalam otaknya agar kalimat keputusan tadi berhenti terngiang memenuhi kepalanya.

Pertandingan yang cukup alot memunculkan decak kagum dari semua penonton serta juri. Setiap orang menebak-neba siapa yang akan menjadi pemegang medali emas pada tahun ini, dan gadis itu tahu bahwa banyak dari mereka mengharapkannya untuk menang.

Tetapi Mirai menunjukkan penampilan yang luar biasa, nyaris tanpa celah, memaksa Natsumi mengeluarkan seluruh kekuatan dan strategi terbaiknya. Mereka melakukan penyerangan serta pertahanan yang cerdik selama pertandingan berlangsung. Natsumi merasa bahwa pertandingan yang berlangsung akan terus berjalan tanpa akhir.

Kemudian kesalahan fatal yang dibuat Natsumi mengubah jalannya pertandingan dengan mudah, menyebabkan satu kesempatan manis terlihat oleh kedua mata Mirai.

Mirai menyerang salah satu kaki Natsumi menghilangkan keseimbangan tubuh gadis itu dan membuatnya terjatuh. Tidak berhenti sampai di situ, bukan sebuah pukulan yang biasanya Mirai berikan melainkan tamparan keras mendarat di pipi kiri milik Natsumi.

Walaupun hanya sebuah tamparan, Mirai berhak mendapatkan poin lebih karena berhasil mengenai salah satu anggota tubuh yang menjadi target dalam pertandingan. Natsumi tidak bisa berhenti untuk menyalahkan drinya sendiri, padahal selama setengah pertandingan berlangsung ia sudah berusaha untuk melakukan pertahanan, penyerangan yang bertubi-tubi sudah ia berikan. Namun waktu yang berjalan di dalam pertandingian tidak memihak pada Natsumi, gadis itu tidak dapat mencuri kembali poin yang terambil.

Natsumi menghabiskan minuman kaleng itu dengan sekali tegukan, menyalurkan rasa kesal dan rasa sakit yang menguasai hatinya.

Kei menengadahkan tangannya pada gadis itu lalu berkata, “Berikan kalengnya, biar aku yang buang.”

Tanpa sepatah kata apapun, Natsumi memberikan kaleng tersebut dan melihat laki-laki itu berjalan menjauhinya.

“Kenapa aku sebodoh ini?” gumam gadis itu. “Kenapa….”

“Natsumi.”

Natsumi sedikit terlonjak. “O, oh, Kei, maaf. Kau berbicara sesuatu?”

Kei menggelengkan kepala. Ini yang tidak disukai laki-laki itu, menyaksikan Natsumi yang tenggelam dalam perasaan pilu dan sesal. Ia tahu bahwa pertandingan ini begitu berharga untuknya, tetapi melihatnya tersiksa seperti ini selalu menyakiti hati laki-laki itu. “Aku hanya memanggilmu saja.”

“Kei.”

Hm?

“Kau kecewa?”

Kei menggapai gadis itu, menyelipkan jari-jarinya di antara helaian rambutnya. “Yoku ganbatta.”

Natsumi mengunci bibirnya rapat tatkala usapan lembut di puncak kepala begitu menenangkan tubuhnya. Respon yang diberikan Kei selalu berkebalikan dari apa yang diucapkan gadis itu. Ketika Natsumi mengeluh, menyalahkan dirinya sendiri, ketakutan, maka Kei akan menghujaninya dengan kalimat dukungan, candaan, bahkan hanya sekedar sebuah usapan di kepalanya.

“Aku pernah bilang, bukan?” lanjut Kei, masih mengusap rambut Natsumi. “Di dalam kompetisi, istilah kalah akan selalu muncul ke permukaan, tetapi itu bukan berarti kau lemah ataupun bodoh.”

“Kau mendengarku tadi?!” Natsumi memekik lalu menutup wajah dengan salah satu tangannya malu.

Kei tertawa.

“Jadi kau tidak kecewa?”

Kei menopang dagunya, matanya yang menghadap ke arah batang pohon yang terletak jauh di atasnya berpikir. “Kau ingin jawaban jujur dariku?”

Gadis itu mengangguk. “Tentu.”

“Jawabannya,” Kei menatap tepat di manik mata Natsumi. “Aku kecewa.”

Tubuh Natsumi semakin lesu. Hal yang wajar jika laki-laki itu merasa kecewa, ia adalah salah satu orang yang mendukungnya dari awal kompetisi ini dimulai, salah satu orang yang yang akan memarahinya jika pulang larut malam dari latihannys di akademi. Natsumi tidak bisa memenuhi harapan laki-laki itu dan juga keluarganya.

“Lebih tepatnya aku kecewa dengan diriku sendiri.”

Natsumi membulatkan matanya, tidak mengerti. “Kenapa?”

“Selama ini kau begitu berlatih dengan keras, sendirian, tanpa ada yang menemanimu.”

“Bukannya itu yang biasa kulakukan? Aku baik-baik saja.”

Kei menggeleng tidak setuju. “Seharusnya aku memperhatikanmu. Walaupun ini bukan bidangku, tetapi aku pernah mempelajarinya sesuai dengan gaya Kerajaan Magnolia. Kau tentu tahu bagaimana gaya bertarung khas Magnolia.”

Gadis itu sangat mengetahuinya, gaya bertarung Magnolia merupakan gaya yang sangat Natsumi kagumi, begitu licin bahkan ada teknik kasat mata yang sulit gadis itu tiru. Lalu gerakan sederhana namun mampu melumpuhkan lawan dengan sekali kedipan mata.

“Setidaknya aku memberikanmu trik serta teknik yang pernah kupelajari, atau memanggil guruku yang dulu bertanggungjawab untuk melatihku.”

Natsumi bisa merasakan kesedihan dari nada yang muncul dari bibir laki-laki itu. Ia tidak suka Kei menyalahkan dirinya sendiri, dari sudut pandang gadis itu kekalahan yang ia terima murni memang kesalahannya.

“Kei,” panggil Natsumi. Kei mengangkat kepalanya yang tertunduk, melihat senyuman tipis milik gadis itu. “Terima kasih, tapi kau tidak perlu melakukannya sampai sejauh itu.”

“Padahal kau bisa memintaku.” paksa Kei membuat Natsumi tertawa.

“Baik, baik. Lain kali aku akan menagih.”

Kei tidak perlu khawatir lagi ketika suara tawa Natsumi muncul menyapa pendengarannya. Setidaknya gadis itu tidak berada dalam lubang kekecewaan terlalu lama, senyuman yang mulai menghiasi bibir Natsumi menghangatkan perasaannya.

Klik!

Suara kamera mengalihkan perhatian mereka, Natsumi mengerutkan keningnya kesal, menatap laki-laki yang tersenyum polos sedang berdiri sedikit berjauhan dengannya dan Kei. “Natsume!”

“Ya ampun, kalian manis sekali!” goda Natsume sedikit berteriak.

Kei hanya tersenyum geli, ia melambaikan tangannya seolah-olah menyapa laki-laki itu.

“Kenapa kau malah melambaikan tangan, sih!”

“Dia mengatakan kita manis, bukankah itu sebuah pujian?” canda Kei, lalu mendapatkan pukulan ‘lembut’ dari Natsumi. “Hei, itu sakit!”

“Diamlah.” Natsumi dengan cepat memalingkan wajahnya dari Kei, menutupi pipinya yang mungkin mulai memerah.

“Jadi―”

“Kalian tidak akan pulang?!” potong Natsume yang masih diam di tempatnya berada. “Akan kutinggalkan jika kalian masih betah di sini!”

Natsumi merengut. “Bisa diam, tidak? Kami masih belum selesai di sini!”

“Dengan senang hati aku akan meninggalkan kalian!” Natsume berjalan meninggalkan mereka sembari memasang wajah cemberut, sedikit menyeramkan menimbulkan bisik-bisik dari orang-orang yang berada di dekatnya.

Natsumi menoleh ke arah gerbang dan laki-laki itu sudah tidak ada batang hidungnya di sekitaran gerbang akademi. Adik kembarnya itu sudah berjanji akan pulang bersamanya dan Kei, gadis itu yakin Natsume tidak akan mengingkari janjinya sendiri dan menjadi anak manis menunggu mereka di suatu tempat.

“Jadi?” ulang Natsumi.

Kei terkekeh semakin memancarkan ketampanannya. “Kapan aku memulai tugasku?”

Gadis itu memiringkan kepala, menyatukan alisnya sedikit tidak mengerti. “Tugas… oh.

Perlahan-lahan Natsumi menghirup udara dengan perasaan bahagia, ia tidak sabar bagaimana tiga harinya akan terus dipenuhi eksistensi laki-laki itu di dekatnya. Fakta bahwa Kei bersedia menyisikan waktu sibuk untuknya, membuatnya bersemangat kembali dalam mengumpulkan kekuatan serta hatinya yang kelabu, membantunya untuk membangun pondasi baru dalam menghadapi permasalahannya.

“Besok,” ungkap Natsumi yakin. “Kau tidak keberatan?”

“Kebetulan sekali aku mengosongkan jadwalku tiga hari ke depan, sepertinya kita memiliki ikatan batin yang kuat, Hime-sama.” 

Entah mengapa untuk kali ini kalimat itu tidak terdengar menggelikan di telinga Natsumi, ia hanya tertawa lalu mengangguk menyetujui pernyataan milik laki-laki itu.

“Tunggu.”

Natsumi menatap Kei masih tersenyum lebar. “Apalagi?”

“Sebagai seorang pangeran dari Kerajaan Magnolia, aku yakin bisa menghiburmu bahkan bisa menciptakan kembali dirimu dengan semangat yang menggebu-gebu lalu memintaku seorang lawan untuk dijadikan teman bertarung.”

Gadis itu melipat lengan di dada, ia menunjukkan ekspresi menantang kepada Kei. “Jangan tarik perkataanmu itu, Kei.”

Kei tersenyum, lebih tepatnya menyeringai. “Kita lihat saja esok hari.”

 

**