Saya dan Beberapa Orang Pimpinan UPI (Rekam Jejak – Sebuah Perjalanan Anak Desa) (Bagian 2)

Suatu hari Hp saya berbunyi. Ketika itu saya sedang mengajar mata kuliah Gengogaku Gairon (Pengantar Linguistik Umum). Topik yang sedang diskusikan dengan para mahasiswa adalah “frasa, klausa, dan kalimat”. Begitu dilihat monitor Hp, disana tertera sebuah nama yang tidak asing lagi bagi saya.  Lalu, saya jawab. “Ya, Prof.!”, jawab saya. “Sekarang dimana?”, “saya di kampus sedang mengajar”. “kalau begitu, datang ke kantos saya,?, “ Siap. Prof. Boleh, nanti setelah saya mengajar, Prof.”.  “Ya, silahkan”. Demikian dialog singkat saya waktu itu.

Usai kuliah, saya buru buru memenuhi panggilan tersebut. Sepanjang perjalan dari gedung FPBS sampai bangunan rektorat, terus terang saya bertanya tanya sebab memang sudah cukup lama saya tidak “soan” kepada prof. yang satu ini. Ada sejumlah pertanyaan yang terlintas dalam pikiran saya, pertama: mungkin saya “dimarahi” oleh Prof. yang satu ini karena selama kurang lebih lima bulan ini belum pernah lagi menemui beliau. Padahal beberapa waktu sebelumnya, relatif sering bertemu dengan beliau karena sejumlah urusan dinas, antara lain (1) ketika saya diajak diskusi merancang rencana membuka Jurusan Pendidikan Sosiologi di FPIPS enam tahun yang lalu; (2) ketika merancang seminar tentang memantapan kurikulum jurusan sosiologi di FPIPS, (3) Di awal awal jabatan ketika beliau berhasil menduduki posisi pimpinan puncak sehingga layak menempati kursi di gedung bumi Siliwangi, (4) ketika studi banding ke negeri Sakura bertepatan dengan perubahan UPI ke BHMN, dan (5) ketika merancang dan mensukseskan culture summit dengan OIW di UPI.

Kira kira itulah alasan saya sering bertemu dengan Prof. yang satu ini. Eeh, tahu tahu saya sudah sampai di gedung rektorat dan bertemu dengan beliau.

“Pak, Ahmad! Bapak sudah menunggu”, kata petugas tata usahanya. Lalu, saya mengetuk pintu dan terdengar suara yang tidak asing lagi bagi saya mempersilahkan saya masuk.

Singkat ceritera, beliau mengajak saya untuk mengadakan perjalan lagi ke negeri Sakura dengan tujuan yang berbeda dengan kunjungan sebelumnya, yaitu bersama sama menulis sebuah buku, dan yang utama kunjungan ke Jepang untuk validasi dan memperoleh masukan dari orang orang Jepang dari kalangan akademisi, kalangan budayawan, dan kalangan pendidikan. Buku yang sangat menarik, tapi bertanya tanya dalam benak saya “Apakah Prof. tidak salah dan memang saya cukup layak “berdampingan” dengan beliau untuk menulis sebuah buku?”. “Draf bukunya dituntaskan di sini, dan di Jepang hanya validasi dan memohon masukan kepada orang orang Jepang guna penyempurnaan buku ini sebelum naik cetak”, begitu penjelasan singkat dari beliau.

Saya melihat draf yang dimaksud dan saya buka buka sepintas. Buku yang sangat menarik dan saya kira isinya membahas sumbangsih pemikiran untuk generasi penerus bangsa agar jati diri bangsa ini tidak tersisihkan oleh pengaruh luar yang tidak mendidik, apalagi jangan sampai nilai nilai bangsa ini menguap alias “hilang”.

Saya sangat senang dan bangga atas kepercayaan dari beliau. Dengan spontas, saya jawab” Siap, Prof.”. Lalu, saya menerima proposal pengajuan kegiatan dari beliau, dan saya baca sepintas, lalu dicopy, dan sepulangnya ke kantor saya terjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Kenapa harus saya lakukan? Sebab pada akhirnya, beliau pasti menanyakan dan meminta saya untuk menerjemahkan ke dalam bahasa Jepang untuk memberi gambaran isi buku tersebut kepada orang orang Jepang yang akan ditemui nanti. Memang benar. Besoknya saya ditlp lagi, “Apakah intisari proposal sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang”, tanya beliau. :”Sudah, Pak” jawab saya. “Syukur kalau begitu”.

Intisari buku yang saya maksud yaitu kami sebagai generasi tua (memang secara fisik mah sudah tua tapi kami merasa masih berjiwa anak anak muda. Heee.heee.) ingin memberikan “kado” berupa gagasan dan pemikiran untuk para generasi penerus bangsa negeri ini seputar nilai nilai moral bermasyarakat dan bernegara yang konon di depan mata sudah terjadi pergeseran pergeseran nilai moral di kalangan masyakart Indonesia, sudah tergerus oleh budaya luar sehingga dikhawatir suatu saat bangsa Indonesia akan kehilangan jati diri bangsa dan digantikan oleh nilai nilai bangsa lain. Untung kalau nilai itu yang positif dan relevan dengan alam Indonesia, tapi yang nyata dan jelas lebih banyak menyerap nilai yang bertolak belakang dengan adat istiadat bangsa kita. Ada seperangkat nilai yang bisa diadopsi dari bangsa Jepang, yang insya Allah nilai itu sangat relevan dengan akidah dan ajaran Islam khususnya, dan saya yakin nilai moral bangsa Jepang itu bersifat universal seperti disiplin, loyal terhadap pekerjaan, kerja keras, dan lain sebagainya.

Ada baiknya kalau dorongan penulisan buku yang saya maksud, saya salin utuh di sini.

Seperti kita ketahui, Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga Merauke merupakan negara yang kaya raya, baik kekayaan hayati maupun nonhayati. Potensi kekayaannya berasal dari laut, udara, darat, maupun perut bumi.  Tapi sebagian besar kekayaan itu tidak termanfaatkan secara maksimal, bahkan bisa disebut mubazir. Lihatlah hutan yang menjadi sumber kehidupan, bahkan menjadi paru paru dunia, dirambah dan dibabat secara ilegal. Hasilnya tidak masuk ke kas negara, melainkan masuk kantung cukong. Rakyat hanya kebagian sengsara dan nestapa. Bagian hilir di sekitar hutan terkena banjir di musim penghujan dan terkena asap di musim kemarau saat para perambah hutan membakar lahan.

Demikian pula kekayaan alam berupa tambang. Sejauh ini belum bermanfaat secara maksimal bagi rakyat banyak, melainkan menjadi bancakan bagi investor asing. Negara hanya kebagian fee amat sedikit, selebihnya menjadi rebutan negara asing, dan pejabat kebagian gula gulanya. Kekayaan laut kurang lebih sama, lebih diekploitasi untuk keuntungan bangsa asing ketimbang memakmurkan para nelayan. Sektor pertanian juga setali tiga uang. Kebijakan pemerintah lebih memihak kepada importer produk pertanian ketimbang memperkuat petani. Nyaris seluruh sektor kehidupan di Indonesia mubazir.

Kalau pola kehidupan bangsa Indonesia berjalan seperti itu tanpa ada perubahan kultur serta perubahan kebijakan, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama seluruh sumber daya tersebut habis. Tanda tanda itu sudah di depan mata. Indonesia yang subur makmur, gemah ripa loh jinawi, berubah menjadi negara dan bangsa yang termiskin di dunia. Ironis. Bangsa Indonesia seperti mengalami mimpi buruk.

Memutus fakta buruk ini, negara harus melakukan rekayasa social (social engeneering) dengan menghidupkan etos kerja yang berbalikan dari kemubaziran.  Nilai yang paling tepat mengubah etos kerja ini adalah efisiensi dan produktivitas. Negara dengan dibantu swasta harus bahu membahu menyosialisasikan kehidupan yang efektif dan efisien, baik dalam bentuk slogan, propaganda, dan lebih substantantif dalam bentuk implrementasi kehidupan. Tapi awas, jangan sampai gerakan efisiensi ini justru menjadi projek yang dapat menghamburkan uang negara.

Menghidupkan gerakan efisiensi dan produktivitas, ada baiknya bangsa Indonesia belajar dari bangsa Jepang. Masyarakat dari negeri Sakura itu memiliki etos kerja yang luar biasa dalam soal efisiensi tersebut. Mereka adalah bangsa yang „anti-muda“ anti hal yang mubazir. Jangankan menyangkut kekayaan alam, bahkan hanya ukuran gerakan dalam bela diri, Jepang memperkuat seluruh gerakan yang efektif, dan membuang setiap gerakan muda, atau gerakan yang tidak bermanfaat. Itulah sebabnya, bela diri asal Jepang seperti Karate tidak terlalu banyak kembangan seperti Kung Fu Cina atau Silat milik bangsa Indonesia.

Kisah menggelikan dan memuakkan sempat dimuat Kompasiana sebagai berikut. Serombongan pebisnis dari Indonesia datang ke Tokyo, membicarakan kelanjutan rencana pinjaman modal kerja dengan mitranya dari Jepang.Tim dari Indonesia datang ke pertemuan jamuan dengan serombongan tim seperti mau mengadakan lamaran alias bejibun. Selain timnya banyak, mereka menginap di hotel mewah dan menyewa mobil mahal untuk menunjukkan „kemampuan finansial“nya. Sementara counterpart-nya dari Jepang, yang notabene sebagai penyandang dana hanya diwakili beberapa orang. Mereka datang ke tempat pertemuan naik densha (kereta api bawah tanah) yang dilanjutkan dengan jalan kaki ke tempat tujuan. Bersahaja, sederhana sekaligus efisien. Maka, pertanyaannya, siapakah yang pantas meminjam? Siapa yang pantas memberi pinjaman? Sebuah ironi yang sangat tidak lucu.

Bangsa Indonesia sangat tepat belajar dari Jepang soal mengelola kehidupan dan sumber daya yang efisien. Bagi bangsa Indonesia, belajar dari Jepang bukanlah hal yang baru. Indonesia merdeka dari Belanda, juga karena bangsa Indonesia belajar dari Jepang. Kehadiran Jepang saat Indonesia dijajah Belanda memang merupakan musibah, tapi sekaligus anugrah. Musibah, karena yang namanya dijajah adalah musibah. Apalagi penjajahan Jepang mengakibatkan derita bangsa yang sangat traumatis. Indonesia berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Ekonomi rakyat merosot drastis, bahkan harus mengenakan baju dari karung goni serta makan seadanya.

Tapi kehadiran Jepang sekaligus menyemangati bangsa Indonesia untuk merdeka. Sebab, Jepang membentuk BPUPKI untuk menyiapkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jepang bahkan mengangkat sebagia rakyat menjadi tentara mereka. Keterampilan berperang dan memegang senjata membangkitkan kepercayaan diri serta gairah bangsa Indonesia untuk berani menghadapi tentara sekutu yang di belakangnya didomplengi Belanda.

Secara konkrit, pemerintah harus membentuk tim yang secara spesifik mempelajari nilai budaya Jepang seperti anti boros, lingkungan yang bersih, budaya antre dan tertib. Tim ini melakukan benchmarking, menyerap nilai budaya Jepang yang baik dan relevan dengan bangsa Indonesia, kemudian menyusun konsep implementasinya bagi bangsa Indonesia. Tidak semua nilai Jepang harus diserap, hanya yang relevan saja.

Konsep efisien dan produktif ini paling pertama harus diterapkan pada birokrasi pemerintah dari tingkat nasional, regional, daerah, bahkan sampai level kecamatan dan pemerintahan desa. Gerakan anti boros dan efisien harus menjadi gerakan yang tidak kalah gegap gempitanya seperti Gerakan Wajib Belajar 9 Tahun, atau Penataran P4 pada masa Orde Baru. Karena hanya dengan gerakan seperti ini, Indonesia bisa selamat dari kebangkrutan yang mengenaskan.

Jepang, sekali lagi, adalah kiblat terbaik bagi bangsa Indonesia untuk belajar soal efisiensi dan produktivitas. Lihatlah, mereka mampu memanfaatkan setiap jengkal tanah dan ruang. Saking efisiensinya, sebagai warga Jepang membuat satu ruang kecil untuk tempat tidur. Tapi tempat yang sempit itu dalam waktu yang singkat dapat disulap menjadi ruang keluarga, ruang tamu, dan berbagai tempat lain. Nemang kondisi ini bertolak dari keterpaksaan akibat semua serba mahal. Itulah sebabnya, sekali lagi, tidak semua nilai dari Jepang diserap ke Indonesia. Salah satu yang perlu dibuang adalah kehidupan yang serba mahal itu. Tapi kehidupan yang serba efisiennya bisa diangkat.

Waktu kerja masyarakat Jepang yang mencapai 14 jam sehari juga bisa diteladani. Mereka mulai kerja dengan melakukan olah raga, kemudian membersihkan tempat kerja, meja-kursi serta lingkungan sekitar menjadi tradisi bagus. Semua kondisi pra kerja dilakukan di luar jam kerja. Bayangkan, kerja dalam rentang waktu yang lama, dengan menghilangkan pemborosan, mengantarkan bangsa Jepang menjadi pemenang dalam bisnis mutakhir. Bangsa Indonesia layak belajar dari mereka.

Kutipan di atas sekaligus merupakan bagian tulisan beliau yang dimuat di dalam bukunya berjudul Idealis, Pargmatis, dan Religius halaman 106 s.d. 109.

Uraian di atas cukup panjang, namun saya hanya mengambil intisarinya dan saya terjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Yang penting orang orang Jepang yang akan ditemui di Jepang nanti memahami maksud dan tujuan kami berkunjung ke Jepang. Hasil terjemahan yang saya maksud sebagai berikut.

インドネシア人間形成「日本から学ぶ人つくり」について

パプアのメラウケ(Marauke)からスマトラのアチェ(Aceh)に至るまでの広大な国土を有するインドネシアは、豊かな自然に恵まれた国だと言える。石油、石炭をはじめとした天然資源、豊かな鉱山資源、また森林資源など豊富な資源にも恵まれている。このように、多くの資源を持つ国であるが、最大限に活用されていないように思われる。政界は汚職にまみれ、天然資源は、インドネシア国外の投資家の収入源の一つになってしまっている。

インドネシアの国民や政府は、このような現状を見直し政策を改めなければ、現在の自然豊かなインドネシアを長く維持することができないだろう。

そこで、仕事の倫理及びソーシャルエンジニアリングを考えるべきである。これは仕事に対する認識や仕事の効率性や生産性を考えることである。また、政府と民間の双方の役割を整理し、お互いに協力する努力が必要であると考えられる。

仕事の効率性及び生産性に関しては、日本から学ぶのが適していると考えられる。周知の通り、日本人は、効率性及び生産性に関して素晴らしい国民だと言われている。また、生活の中でも、無駄使いは避けるということを徹底している。

日本とインドネシアの関係は、「憎む」並びに「懐かしい」の例えとして言うことができる。インドネシアの歴史を見ると、三年半ほど日本の植民地の時代がある。当時は非常に多くのインドネシア人は日本人に対して嫌悪の念を抱いていた人がほとんどだと思われる。そういった歴史がある一方で、日本を好意的に見る人も少なくない。特に、日本人は、技術者をはじめ、創造的な人、革新的な人だと言われ、ある意味、日本人から学ばなければならないことがいっぱいである。

Adapun daftar isi draf buku yang dimaksud sebagai berikut.

本の構成{目次}

前書き

第1章            はじめに

第2章            パフォーマンスと成功日本への鍵

A.日本国及び日本人の概要

B.歴史的から見た日本人の歩み

C.明治維新と日本の近代化

D.人生哲学とその日本の主教感

E.日本人のライフスタイル

F.日本人の労働倫理

G.教育分野に対する日本人の倫理

H.経済分野に対する日本人の倫理

I.日本の外交官及び国家の安全保障

J.広島の原爆ドームとその外傷

第3章            インドネシア・日本との関係(連携)

A.    インドネシアと日本との関係(協力性)

B.インドネシア教育大学と日本人との友好関係

第4章            分析

第5章            結論と提案

Kira kira isinya seperti itu, dan diberi judul  Memperkokoh Jati Diri Bangsa, Belajar dari Kinerja dan Kultur Bangsa Jepang. Siapa lagi prof. yang dimaksud kalau bukan Prof. Dr. Idrus Affandi, S.H. seorang nasionalis, profesor penganut paham idealis, pragmatis, dan religius, pendidik, pemimpin, dan sekaligus “negarawan” yang saya kagumi.

Buku ini ditulis bertiga. Prof. Idrus, saya sendiri, dan solmet saya Dr. Wakhudin. Tugas saya adalah menulis salah satu bab yang langsung berhubungan dengan hubungan Indonesia dan Jepang umumnya, dan hubungan UPI dengan lembaga lembaga yang ada di Jepang pada khususnya. Draf buku setebal  kurang lebih 200 halaman. Tugas yang cukup berat bagi saya tapi “ringan” juga. Beratnya karena buku ini bukan untuk kepentingan sekelompok orang semata, namun untuk kepentingan negeri ini. Dan konon kalau buku ini sudah terbit akan diberikan pula kepada orang nomor satu di negeri ini, kepada para pemegang kebijakan pendidikan, dan tentunya sampai juga kepada para pelaku pendidikan di lapangan. Jadi, sebarannya bukan lagi lokal, tapi nasional. Ringannya, sebab bab yang diminta oleh Prof. Idrus, sebenarnya bahan bahannya sudah saya tulis, bahkan tulisan itu selalu saya kirimkan ke humas UPI.

Saya merasa berbesar hati karena salah seorang penulis buku ini adalah seorang penulis profesional yang piwai di bidang tulis menulis. Kenapa tidak? Karena Pak Wakhudin ini sudah banyak makan garam dalam dunia kewartawanan, yang setiap hari makanannya tulis menulis. Jadi, saya sangat yakin bahwa buku yang akan terbit ini akan berbobot dari segi bahasa, berbobot dari segi pemikiran dan gagasan karena keberadaan Prof. Idrus di dalamnya, dan akan berpengaruh besar terhadap perjalanan bangsa ini sebab sasaran yang dibidik buku ini adalah para pemegang kebijakan dan para pelaku pendidikan, dan kaum kawula muda yang akan menjadi penerus bangsa di masa yang akan datang. Semoga!!!.