Resensi Buku “Bumi Manusia”

Resensi buku kali ini ditulis oleh Aulia Insyra Khairunnisa*.

Judul buku : Bumi Manusia

Penulis : Pramoedya Ananta Toer

Penerbit : Lentera Dipantara

Tahun terbit : 2018 (cetakan ke-27) 1980 (terbitan ke-1)

 

*Untuk meningkatkan kemampuan literasi mahasiswa Departemen Pendidikan Bahasa Jepang, mahasiswa yang mengontrak mata kuliah literasi tahun 2019 mendapat tugas membuat resensi buku 6 buah selama 4 bulan.

 

BUMI MANUSIA

             Pada bagian awal BM, diceritakan bahwa Minke adalah seorang pribumi muda yang berbakat dan bersekolah di sekolah H.B.S. Minke juga banyak bergaul dengan teman-temannya yang kebanyakan adalah anak totok Belanda/Eropa dan campuran totok dengan Pribumi (Indo). Sahabat pribadinya sendiri, Jean Marais, adalah seorang totok berkebangsaan Prancis yang pernah menjadi serdadu kumpeni dan kehilangan salah satu kakinya. Jean yang sebetulnya humanis itu terpaksa menjadi serdadu karena kemiskinannya. Di medan perang, ia kemudian justru menikahi seorang wanita Aceh dan memiliki putri cantik bernama Maysaroh. Sayangnya, istrinya meninggal dunia. Jean pun hanya bisa bertahan hidup sebagai pelukis pesanan di Hindia Belanda. Minke kerap membantunya mencarikan pesanan untuk sahabatnya itu. 
              Hidup di antara kalangan Indo, Minke merasa tak ada masalah dengan hal tersebut. Ia dibesarkan dari keluarga priyayi Jawa dan bisa menggunakan bahasa Belanda dengan fasih. Meski demikian, ia sadar ia hanya seorang inlander. Bagaimanapun juga, ia tidak “sekeren” para Indo dan totok.
Minke adalah seorang pengagum kecantikan. Di bagian awal novel ini, kita akan mudah menangkap karakter Minke ini. Pram membuatnya tampak seperti remaja lelaki galau yang tengah di mabuk cinta. Tak tanggung-tanggung, ia jatuh hati pada Ratu Wihelmina, ratu Belanda! Hahaha.

Sifat Minke yang mudah jatuh hati pada wanita ini diketahui teman-temannya, tak terkecuali Suurof. Suurof adalah indo yang sangat rasis. Ia sangat membanggakan dirinya yang punya darah Eropa. Suatu hari, ia ditantang Suurof menaklukkan hati wanita yang konon lebih cantik dari Sri Ratu Belanda! Tantangan pun bersambut. Minke mau diajak ke rumah seorang pribumi simpanan Belanda bernama Nyai Ontosoroh. Di rumah tersebutlah Minke bertemu dengan wanita yang konon luar biasa cantik itu. Ia adalah Annelies, bungsu dari Nyai Ontosoroh dan adik dari Robert Mellema.

Begitu melihat Annelis pada pandangan pertama, Minke sudah tak bisa berkata apa-apa. Tapi Minke tak hanya terperdaya oleh kecantikan Annelies. Menurutnya, keluarga Nyai Ontosoroh alias Sanikem sangatlah unik. Nyai Ontosoroh tampil sebagai wanita super cerdas. Dia tak seperti nyai-nyai atau simpanan Belanda kebanyakan. Anaknya, Annelies juga unik. Meski luar biasa cantik, ia tak punya teman Indo dan totok karena berhenti sekolah. Mentalnya pun seperti bocah karena sejak kecil harus membantu ibunya di perusahaan tanpa pergaulan dengan kawan-kawan seumurnya. Abangnya, Robert Mellema sangat “mengesankan”. Meski yang ini kesannya negatif. Tapi setidaknya, Robert tak semengerikan Herman Mellema (sang kepala keluarga) yang begitu jijik ada pribumi seperti Minke yang masuk ke dalam rumahnya. Herman Mellema bahkan mengumpati Minke dengan sebutan monyet. Untungnya, Nyai Ontosoroh memberanikan diri membela Minke. Ini adalah tindakan luar biasa mengingat biasanya seroang nyai pribumi tunduk di bawah totok Belanda.
             Seiring berjalannya waktu, Minke dan Annelies saling jatuh cinta. Tapi Minke tak menyangka bahwa Annelies menjadi sangat bergantung padanya. Ia terus disurati agar kembali ke rumah Nyai untuk tinggal bersama. Pernah juga Annelies sakit parah setelah lama tak melihat Minke yang dipaksa berkunjung ke rumah orangtuanya. Minke mau saja sebetulnya tinggal bersama Annelies. Tapi tinggal di rumah seorang Nyai membuatnya kena stigma buruk di masyarakat. Seorang Nyai atau simpanan Belanda dianggap sebagai wanita perayu yang mesum. Minke pun pernah berpandangan demikian. Untungnya ia ditegur oleh sahabatnya, Jean Marais. Berlakulah adil sejak dalam pikiran! Begitu pesan Jean pada Minke. Jangan menghakimi Nyai Ontosoroh sebagai tuna susila seperti yang dilakukan orang lain.
             Minke pun kembali menginap di Wonokromo (rumah Annelies) sambil terus bersekolah di H.B.S. Ia sendiri sudah mulai menulis untuk koran-koran. Sebagai pribumi, Minke banyak dipuji karena mampu menulis belanda dengan sangat baik. Tapi sayangnya, banyak temannya yang berdarah Eropa sinis padanya. Mereka merasa keeropaan mereka tersakiti karena ada pribumi yang prestasinya lebih baik. Pelan-pelan, Minke juga mulai paham kenapa Annelies begitu tergantung dan “ringkih.” Annelies pernah diperkosa abangnya sendiri. Traumanya membekas terus bertahun-tahun kemudian. Apalagi Annelis tak pernah menceritakan kejadian itu kecuali pada Minke seorang.

             Dari Wonokromi, sebuah kabar mengejutkan tiba-tiba terdengar. Tuan Herman Mellema meninggal dunia. Selepas itu, datang lagi sebuah kabar menggemparkan. Nyai mendapat surat dari anak kandung Mellema di Belanda bernama Ir. Maurits Mellema. Maurits adalah anak sah Herman Mellema dengan Amelia Mellema-Hammers. Maurits menuntut seluruh kekayaan perusahaan yang dimiliki Herman Mellema yang selama ini dibesarkan Nyai Ontosoroh. Bukan itu saja, ia minta hak asuh atas Annelies untuk dibawa ke Belanda. 

             Tuntutan Maurits diajukanke pengadilan. Nyai bersikukuh melawan meski mereka tahu bahwa mereka akan kalah. Pasalnya sederhana, tak ada pribumi yang bisa melawan Belanda, apalagi yang totok! Meski perusahaan Mellema tersebut dibesarkan oleh Nyai Ontosoroh, tapi akhirnya pengadilan memutuskan untuk menyerahkannya pada Maurits. Annelies dan Robert diberi bagian. Tapi Robert telah pergi dan hak asuh Ann diminta Maurits. Alasannya? Jelas supaya seluruh harta Herman Mellema jatuh ke tangan Maurits. 

Di tengah kasus ini, Minke dengan setia berada dan membantu Nyai maupun Annelies. Ia pun banyak diterpa gossip memalukan. Misalnya, ia mendapat stigma buruk akibat serumah dengan simpanan Belanda. Ia pun rajin membalas dengan artikel-artikel buatan sendiri yang dikirim ke surat kabar langganannya dan surat kabar Melayu milik Kommer. Tapi akhirnya ia dikeluarkan dari sekolah atas tuduhan membahayakan gadis-gadis sekolah (sebab Minke dianggap mesum dengan Nyai Ontosoroh!). Temannya, Robert Suurof adalah salah satu orang di balik gossip murahan ini. 

             Meski gejolak demi gejolak dialami, Minke akhirnya memutuskan menikah dengan Annelies. Ia ingin membuktikan bahwa stigma yang menempel padanya tidak benar. Ia juga ingin menahan Ann supaya tidak dibawa ke Belanda dengan menikahinya. Sayangnya, Minke harus kembali menelan pil pahit. Pengadilan bersikukuh membawa segera membawa Ann ke Belanda. Nyai Ontosoroh dan Minke mencari berbagai cara untuk mencegah hal ini. Bahkan teman-teman Darsam sudah berjaga-jaga di depan rumah Nyai dengan membawa clurit. Tapi aparat kolonial tetap memaksa membawa Ann. Kerusuhan pun pecah dengan iringan takbir dari pasukan Madura. Pihak Belanda memenangkan kerusuhan dan Annelies pun dipaksa pergi dari rumahnya. Mereka kalah. Tak bisa dipungkiri bahwa Nyai maupun Minke kalah. Tapi Nyai menghibur Minke bahwa mereka sudah mencoba melawan.

                                                            “Kita sudah melawan, sehormat-hormatnya.”