Pengabdian Pada Masyarakat Mahasiswa Departemen Pendidikan Bahasa Jepang Di Neglawangi Kertawangi Pangalengan Kab. Bandung (Ajang untuk mengenal masyarakat nun jauh dari kehidupan kampus dan menangkap referensi diri dan kelompoknya)

Cerita Dosen. Bapak Sugihartono.

Untuk kedua kali saya datang membimbing mahasiswa yang melaksanakan PPM di tempat yang sama di daerah perkebunan di Bandung Selatan. Daerah yang makmur keindahan dari lingkingan pegunungan dan perkebunan, meskipun belum tergali atau terkuak kekayaan alamnya, bila mengamatinya dengan jeli, pasti akan menemukan nilai-nilai yang bisa menjadi pembelajaran dan latihan berpikir bagi mahasiswa sambil mengabdikan secuil pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya.

Masyarakat Neglawangi adalah sekelompok perumahan buruh perkebunan di daerah Pangalengan di blok perkebunan Sedep Kertawangi. Masyarakat buruh perkebunan di Indonesia, sepertinya sama dan sebangun dengan perkebunan jaman dahulu saat negeri ini dikuasai oleh Hindia Belanda. Dengan rumah seadanya, transportasi kendaraan truk pengangkut tenaga buruh perkebunan dan hasil kebun yang disatutrukkan, dengan baju kerja yang dirangkap-rangkap dan sobek di sana-sini dengan membawa keranjang , baik dengan alat parang dan cangkul maupun tanpa perlengkapan.

Neglawangi termasuk wilayah yang beruntung, memiliki fasilitas pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama yang belum lama direhab atau didirikan yang bersamaan dengan kantor desanya. Semburat yang kontras antara fasilitas pendidikan yang mentereng dengan tempat tinggal yang bisa dikategorikan kurang atau bahkan tidak layak huni. Menggambarkan sikap ‘nrimo’ masyarakatnya di sisi lain ada harapan Negara yang tinggi terhadap masa depannya.

Negara hadir untuk memberikan harapan masa depan warga desanya yang berprofesi sebagai guru, tetapi ada kekuatan yang kurang berkeinginan meningkatkan taraf hidup yang layak atau kekhawatiran yang kontra produktif dengan misi perkebunan yang tidak menuntut kreatifitas serta penampilan pekerjanya. Sehingga ada pembiaran tanpa sentuhan yang memadai bagi perbaikan taraf hidupnya.

Saya mencoba berbincang dengan mahasiswa terutama para aktifis kemahasiswaaan pada level Jurusan atau Departemen akan kondisi ini. Pertanyaan yang bersifat umum sekaligus member kebebasan untuk menyampaikan pemikirannya terhadap kondisi masyarakat Neglawangi ini. “Bagaimana menurut anda atas kondisi masyarakat Neglawangi saat ini dan harapan anda ke depan?”

Umumnya mahasiswa berpandangan positif dan prospektif yang baik, meskipun dibumbui dengan kederhanaan yang tidak mengglobal atau dilatarbelakangi sejarah yang melingkupinya. “Ada yang semangat untuk lanjut ke SLTA,tahun lalu dari yang lulus SMP yang lanjut  ke SMK 5 orang pak”. Mahasiswa  tanpa menyebutkan berapa ratus siswa yang lulus SMP. Bila ada dua kelas masing-masing 30 orang, berarti 60:5 alias kurang dari 10%, suatu jumlah yang kecil bagi pencapaian indek lanjut studi di wilayah Jawa Barat, khususnya di perkotaan, tetapi mungkin menjadi jumlah yang besar bila melihat lingkungan perkebunan dan keterpencilan wilayah yang tidak menuntut pendidikan menengah atas.

“Saya pancing ke orang tua tempat saya home stay, apakah anaknya tidak ada yang berkeinginan sekolah sampai jadi mahasiswa Pak.” Seorang mahasiswa menyampaikan pemikirannya. “Bagaimana tanggapan orang tua tersebut?” pertanyaan yang saya lontarkan. “Mau pak, sampai bertanya berapa biaya yang harus dibayar setiap tahun untuk kuliah di UPI?” Saya menanggapi dengan positif, “Ya bagus bila ada yang seperti itu,tetapi  apakah ada yang kembali lagi ke Neglawangi atau tidak, bagi mereka yang lanjut studi hingga SMA/SMK apalagi kuliah? Mungkin ada untuk menemui orang tuanya saat lebaran atau perayaan-perayaan tertentu.

“Apabila mereka sudah memasuki masa pensiun, mereka keluar perumahan perkebunan dan membuat rumah di daerah lain pak”, suatu informasi yang menarik untuk dikaji bersama. Bahwa meski perumahannya kurang layak huni tetapi taat aturan perkebunan, bila sudah tidak bekerja di perkebunan harus meninggalkan rumah dinas, meskipun rumah dinasnya kurang layak huni, dan mungkin dapat membuat rumah di hari tua yang lebih baik. Yang meneruskan rumah dinasnya adalah anaknya yang bekerja di Perkebunan ini. Hal ini sempat saya dengar dari pak RW yang sempat mengobrol saat ada acara olah raga antara mahasiswa dan anak-anak di lapangan olah raga.

Situasi kebersamaan antara anak-anak Neglawangi dan mahasiswa tampak pada saat olah raga bersama. Sekaligus upaya pengenalan dan pemahaman dari pihak mahasiswa terhadap masyarakat yang jauh dari kota dengan kondisi serba keterbatasan, meskipun mahasiswa kami mungkin tidak ada keinginan apalagi cita-cita untuk mengabdi di desa ini. Bagi anak-anak Neglawangi yang didatangi kakak-kakak mahasiswa dari kota,  melihat kakak mahasiswa yang dari berbagai sisi lebih baik dari penampilan dan kemauan untuk mendatangi Neglawangi, mereka perlu diamati, metiru gaya dan tampilannya, mungkin akan  dicita-citakan kelak saat dewasa.

Program Pengabdian Pada Masyarakat oleh mahasiswa sangat berpengaruh dalam upaya penyadaran mahasiswa dalam memahami masyarakat yang jauh dari kota dengan berbagai kondisinya, sekaligus akan menjadi referensi pemikiran dirinya secara individu mungkin secara kelompok mahasiswa, dalam memotivasi diri dan kelompoknya dalam menghadapi kehidupan di masa yang akan datang,  meskipun referensi ini akan semakin terkikis bahkan terlupakan ketika hadir referensi yang lain yang dianggap lebih menyenangkan diri dan kelompoknya.