Jurnal Pendidikan Bahasa Jepang ASPBJI Korwil Jabar, Vol. 8, No. 2, Desember 2014

Jurnal Pendidikan Bahasa Jepang ASPBJI Korwil Jabar, Vol. 8, No. 2, Desember 2014

 

Pengajaran Debat dalam  Mata Kuliah Chuukyu Kaiwa  untuk Meningkatkan Kemampuan Berkomunikasi dalam bahasa Jepang

Dedi Suryadi

Abstrak

Hingga saat ini dalam pengajaran kaiwa lebih banyak menggunakan role play atau bermain peran dalam metode pengajarannya walapun ada kelebihan nya ternyata role play juga ada kekurangannya salah satunya adalah mahasiswa hanya sekedar menghafal pola kalimat yang dipelajari sedangkan pada saat berkomunikasi sering lupa dan sepertinya role play dalam kaiwa ini kurang berperan penting dalam berkomunikasi untuk itu dalam penelitian ini penulis mencoba mencari bentuk model pengajaran yang berpuasat pada mahasiswa SCL (student center learning) salah satu bentuknya ada dengan debat. Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa angkatan 2012 di program studi pendidikan bahasa Jepang Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dalam mata kuliah chujokyu kaiwa dengan pengajarn debat berbahasa Jepang .

Dari hasil observasi dapat diketahui bahwa Kemampuan berbahasa Jepang yang masih kurang dari dosen pengampu, sehingga tidak punya kepercayaan diri untuk mengajar debat  dalam bahasa Jepang, sehingga dalam pelaksanaannya banyak menggunakan Bahasa Indonesia. Hal ini dapat mengurangi semangat pembelajar untuk belajar lebih keras lagi. Pembelajar sering mengalami kesulitan untuk mengatakan sesuatu dalam bahasa Jepang di kelas karena rasa malu, takut melakukan kesalahan atau takut dikritik sehingga bahasa Jepangnya tidak keluar dengan lancar. Ada beberapa orang pembelajar yang kurang aktif berbicara bahasa Jepang dan kurang berperan aktif dalam pembelajaran ini. Kecenderungan untuk menggunakan bahasa ibu/bahasa Indonesia. Kurangnya perbendaharaan kosakata dan kurang menguasai tata bahasa sehingga pembelajar terbatas dalam mengungkapkan pendapatnya.

Key word : SCL, public speaking, debat, kemampuan berkomunikasi

 

  1. Pendahuluan

Mata kuliah Chuujokyuu Kaiwa  adalah mata kuliah lanjutan dari Chukyu Kaiwa I yang merupakan mata kuliah berbicara dalam bahasa Jepang tingkat mahir yang diajarkan pada semester 4 di Program Studi Pendidikan Bahasa Jepang UMY. Mata kuliah kaiwa diajarkan sejak semester satu secara berkelanjutan sampai dengan semester empat..  Namun, selama ini pengajaran kaiwa di lapangan sebagian besar dilakukan dalam bentuk role play untuk mengaplikasikan penggunaan ungkapan atau pola kalimat yang sudah ada dalam buku ajar. Salah satu kelemahan pengajaran bentuk role play yang selama ini dirasakan pengajar di lapangan adalah keterikatan pada pola kalimat yang diberikan dan pada saat pengaplikasian di lapangan, mahasiswa lebih terfokus pada latihan akting sebagai ‘pemain peran’ daripada pada latihan penggunaan pola kalimat/ungkapan yang dimaksud. Selain itu, muncul juga kejenuhan pembelajar dikarenakan metode pengajaran role play secara terus menerus dilakukan dari semester satu sampai semester tujuh.  Masalah lain yang dirasakan adalah pada saat ujian sidang skripsi, banyaknya keluhan dari pengajar akan kemampuan berbicara mahasiswa tingkat akhir sekalipun yang dirasakan masih kurang. Hal ini bisa dirasakan pada saat ujian sidang skripsi masih banyak mahasiswa yang tidak bisa mempresentasikan isi penelitiannya dalam bahasa Jepang dengan baik. Hal ini salah satunya dikarenakan pegajaran berbicara hanya terfokus pada mengajarkan yang ada pada buku ajar saja dengan mempraktekkan pola-pola kalimat atau ungkapan-ungkapan tertentu saja dan sedikit memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk secara aktif mengaplikasikan bahasa Jepang yang telah dipelajarinya sejak semester satu secara maksimal terutama dalam konteks berbicara di depan umum /public speaking sesuai kebutuhan. Dengan kata lain, hal ini dimungkinkan karena pengajaran kaiwa di lapangan, kurang memberikan kontribusi dalam masalah kebutuhan public speaking, salah satunya dalam kemampuan presentasi akademik.

Sehubungan dengan latar belakang ini, penulis berupaya untuk menciptakan suatu pedoman pengajaran yang menitikberatkan pada suasana pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa sepenuhnya (SCL/Student Center Learning). Uji coba yang akan dilakukan  dalam mata kuliah ini adalah mengaplikasikan bahasa Jepang dalam konteks latihan presentasi sebagai wahana untuk meningkatkan kemampuan berbicara di hadapan umum dengan melakukan model pengajaran dalam  bentuk debat, kemudian mengamati bagaimana penerapan di lapangan ketika perkuliahan berlangsung.

  1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran bagaimana penerapan metode ini di lapangan dan mengamati respon dari mahasiswa dalam setiap pengajaran.  Selain itu juga tujuan dari penelitian ini untuk memberikan gambaran akan kelebihan dan kekurangan model pengajaran ini untuk dijadikan bahan acuan membuat bahan ajar mata kuliah chuujoukyu kaiwa .

  1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan adalah deskriptif sesuai dengan tujuan penelitian ini untuk memperoleh gambaran bagaimana pelaksanaan metode ini di lapangan dan bagaimana respon mahasiswa dalam setiap bentuk pengajaran yang diberikan.

  1. Subjek Penelitian

Penelitian ini akan mengambil subjek mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Jepang semester V dalam mata kuliah chujoukyuu kaiwa. Jumlah mahasiswa yang dijadikan subjek dalam penelitian ini adalah satu kelas (12 orang) yang diampu oleh satu orang  orang pengajar.

  1. Prosedur penelitian

Dalam setiap pengajaran, dilakukan pengumpulan data dengan cara observasi langsung perkuliahan oleh pengajar dan kuisioner kepada mahasiswa pada akhir perkuliahan.

  1. Pengajaran Debat

Debat dalam pengajaran bahasa asing khususnya bahasa Jepang bertujuan untuk melatih mahasiswa agar mempunyai kemampuan sebagai berikut.

  1. Kemampuan mengungkapkan pendapat pribadi secara singkat, padat jelas dan terarah.
  2. Mempunyai kepercayaan diri untuk tampil pada saat presentasi di muka umum.
  3. Mempunyai kemampuan berargumen dan berkomunikasi yang baik dan benar.
  4. Mempunyai pemikiran kritis dan inovatif dan berpikiran luwes dalam berpikir secara logika dan mampu mengungkapkan alasan yang bersifat khusus/original bukan pendapat umum.
  5. Mampu membuat pertanyaan yang tajam dan terarah terhadap suatu tema/ yang dihadapi dan melatih kejujuran dalam menjawab pertanyaan .

 

  • Tata Cara Pengajaran dengan Menggunakan Metode Debat

Dalam Mata kuliah Jitsuyo Kaiwa II ini, Pengajaran debat dalam bahasa Jepang di lakukan dalam 4-6 pertemuan kelas dengan jenis debat sebagai berikut :

  1. Debat Individu (pendapat setuju atau tidak setuju).
  2. Debat Kelompok (pendapat pribadi).
  3. Debat kelompok (latihan bertanya).

Sedangkan materinya lebih kepada penguasaan ungkapan untuk menyatakan pendapat pribadi baik yang berupa pernyataan persetujuan maupun yang berupa pernyataan yang menentang pendapat orang lain.

  1. Debat Individu Menyatakan Setuju atau tidak setuju (賛成・反対の意見

Tatacara pelaksanaan debat Individu dapat dilakukan dengan langkah sebagai berikut.

  • Tiga orang mahasiswa tampil ke depan kelas untuk menjadi peserta debat individu dengan tema yang sudah ditentukan. Satu orang misalnya A berada di posisi setuju, B menjadi oposisi dan C menjadi pihak yang setuju atau oposisi.
  • Tiap orang diminta untuk mempresentasikan pendapatnya dalam waktu 3 menit tentang tema yang diungkap misalnya A setuju dengan membesarkan anak di kota karena alasan a,b,c dstnya, sedangkan B tidak setuju membesarkan anak di kota karena alasan a,b,c dstnya, sedangkan C mengungkapan persetujuannya/atau tidak setujunya dengan alasan yang lain yang tidak sama dengan A dan B , misalnya alasan d,e,f dstnya.
  • Mahasiswa lain yang tidak ikut tampil di depan menilai siapa saja yang pendapat/alasannya yang paling logis, kuat dan terstruktur dengan format peniliannya yang disediakan oleh dosen. Misalnya volume suara, kemampuan berargumen, originalitas pendapat dll.
  • Untuk debat individu ini bisa dilaksanakan dalam 2 kali pertemuan dengan peserta diacak. Apabila kelasnya banyak mahasiswanya, debat individu ini bisa dikembangkan menjadi debat kelompok. Pembawa acara, moderator dan panelisnya sebaiknya dipilih dari mahasiswa sebagai latihan bagi mahasiswa untuk tampil di depan publik, sedangkan dosen berperan sebagai fasilitator saja yang berperan memberikan feedback dan penilaian akhir setelah debat berlangsung.
  • Tema debat bisa didiskusikan terlebih dahulu dalam kelas, dengan prinsip dari mahasiswa, untuk mahasiswa dan oleh mahasiswa, dengan tema yang paling sering berhubungan dengan kehidupan mahasiswa dan tidak memilih tema yang berhubungan dengan SARA. (Contoh tema yang bisa dipilih untuk debat individu ini lihat lampiran).
  1. Debat Kelompok 1(自分の意見や考え方を言え、具体的な理由を言える

Tata cara pelaksanaan debat kelompok dilakukan sebagai berikut.

  1. Mahasiswa dibagi menjadi beberapa kelompok yang tiap kelompoknya terdiri dari 3-5 orang mahasiswa. Kemudian 2 kelompok diminta tampil kedepan kelas untuk menjadi peserta debat kelompok dengan tema yang sudah ditentukan. Satu orang misalnya group A dan group B, berhadapkan untuk mempertahankan pendapat dan dan memberikan argumen sesuatu dengan pilihan dalam temanya.
  2. Tiap kelompok diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapatnya tentang segi positif dari tema yang dipilih selama 5 menit, bisa bergiliran atau diwakili oleh juru bicara kelompok. Sedangkan kelompok lawan mengkritisi pendapat yang disampaikan dan mencari titik lemah atau segi negatif dari tema yang disampaikan oleh kelompok yang presentasi.
  3. Setelah kedua kelompok mempresentasikan pendapatnya maka dilakukan tanya jawab tentang yang sudah dipresentasikan yang dipandu oeh moderator dan pembawa acara. Mahasiswa lain yang tidak ikut tampil di depan menilai kelompok mana saja yang pendapat/alasannya yang paling logis, kuat dan terstruktur dengan format peniliannya yang disediakan oleh dosen. Misalnya volume suara, kemampuan berargumen, originalitas pendapat dll.
  4. Untuk debat kelompok ini bisa dilaksanakan dalam 2 kali pertemuan dengan kelompok yang diacak. Pembawa acara, moderator dan panelisnya sebaiknya dipilih dari mahasiswa sebagai latihan bagi mahasiswa untuk tampil di depan publik, sedangkan dosen berperan sebagai fasilisator saja yang berperan memberikan feedback dan penilaian akhir setelah debat berlangsung.
  5. Tema debat bisa didiskusikan terlebih dahulu dalam kelas, dengan prinsip dari mahasiswa, untuk mahasiswa dan oleh mahasiswa, dengan tema yang paling sering berhubungan dengan kehidupan mahasiswa dan tidak memilih tema yang berhubungan dengan SARA. (Contoh tema yang bisa dipilih untuk debat kelompok lihat lampiran). Ungkapan yang sering dipakai dalam debat (lihat Shimosegawa, hal. 106-110). Contoh kehidupan di kota praktis (alasan umum) karena alasan 1,2,3,4,5 dst (alasan spesifik).
  1. Debat Kelompok 2(質問する練習

Tata cara pelaksanaan debat kelompok latihan membuat pertanyaan (質問する練習) dilakukan dengan langkah langkah sebagai berikut :

  1. Mahasiswa dibagi menjadi beberapa kelompok yang tiap kelompoknya terdiri dari 3-5 orang mahasiswa. Kemudian 2 kelompok diminta tampil ke depan kelas untuk menjadi peserta debat kelompok dengan tema yang sudah ditentukan. Satu orang misalnya kelompok A dan kelompok B, berhadapan untuk mempertahankan pendapat dan memberikan argumen sesuatu dengan pilihan dalam temanya.
  2. Tiap kelompok diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapatnya tentang segi positif dari tema yang dipilih selama 5 menit, bisa bergiliran atau diwakili oleh juru bicara kelompok. Kemudian bergantian kelompok yang satunya lagi mempresentasikan pendapatnya.
  3. Setelah selesai presentasi tiap kelompok diberi kesempatan selama 3-5 menit untuk berdiskusi membuat daftar pertanyaan yang sekiranya dapat menyudutkan kelompok lawan. Demikian juga kelompok lawan juga membuat pertanyaan yang mengkritisi pendapat yang disampaikan dan mencari titik lemah atau segi negatif dari tema yang disampaikan oleh kelompok yang presentasi.
  4. Setelah kedua kelompok mempresentasikan pendapatnya maka dilakukan sesi tanya jawab dengan menggunakan daftar pertanyaan yang sudah di disikusikan di kelompoknya, sedangkan kelompok lawan hanya bisa menjawab dengan jawaban ya atau tidak saja tidak boleh menjawab dengan panjang lebar, diupayakan lawan tidak bisa mengelak dengan menjawab ya saja sehingga kelompok tersebut dianggap menang.
  5. Sebaiknya dipandu oleh moderator dan pembawa acara dari peserta mahasiswa. Mahasiswa lain yang tidak ikut tampil di depan menilai kelompok mana saja yang pertanyaannya paling tajam dan fokus serta yang paling logis, kuat dan terstruktur dengan format peniliannya yang disediakan oleh dosen. Misalnya volume suara, kemampuan berargumen, originalitas pendapat dll.
  6. Untuk debat kelompok ini bisa dilaksanakan dalam 2 kali pertemuan dengan kelompok yang diacak. Pembawa acara, moderator dan panelisnya sebaiknya dipilih dari mahasiswa sebagai latihan bagi mahasiswa untuk tampil di depan publik, sedangkan dosen berperan sebagai fasilisator saja yang berperan memberikan feedback dan penilaian akhir setelah debat berlangsung.
  7. Tema debat bisa didiskusikan terlebih dahulu dalam kelas, dengan prinsip dari mahasiswa, untuk mahasiswa dan oleh mahasiswa, dengan tema yang paling sering berhubungan dengan kehidupan mahasiswa dan tidak memilih tema yang berhubungan dengan SARA.

Hasil dan Pembahasan

  1. Observasi Kegiatan Pengajaran

Dalam kegiatan observasi ini, tim peneliti mengadakan tinjauan langsung di kelas selama pengajaran berlangsung, satu orang bertindak sebagai pengajar, satu orang lagi bertindak sebagai pengamat. Yang dijadikan objek observasi adalah apa yang dilakukan oleh pengajar/bagaimana peran pengajar di lapangan dan bagaimana kondisi pembelajar dalam setiap tahapan pembelajaran di kelas. Selain itu keterlibatan mahasiswa penutur asli yang berjumlah dua orang selama kegiatan KBM berlangsung juga menjadi objek pengamatan. Dari hasil observasi dapat diketahui hal-hal sebagai berikut.

Pada setiap bagian awal perkuliahan yakni pada pengajaran debat , pengajar menjelaskan mengenai teknis pelaksanaanya, melakukan review untuk mengingatkan kembali materi yang telah dipelajari dengan memberikan contoh-contoh kalimat, ungkapan. Ungkapan ataupun pola-pola kalimat dan kosakata yang sekiranya berhubungan dengan materi dan telah dipelajari selama ini diberikan pencerahan kembali. Kalaupun ada penambahan ungkapan yang baru namun dasarnya telah mereka pelajari sehingga hanya diperlukan pengingatan kembali.

Semua pembelajar terlihat aktif dan inisiatif dalam berdiskusi, hampir terlihat semuanya berperan aktif menyiapkan materi yang akan dipresentasikan, sesekali bertanya kepada pengajar akan hal-hal yang mereka belum pahami atau sekedar konfirmasi saja. Dalam penampilan presentasi setiap kelompok, setiap kelompok tampak sudah siap dengan materi presentasi yang sudah dipersiapkan. Ada yang menghapal ungkapan-ungkapan yang digunakan, ada juga yang mencatatnya dalam memo sehingga mereka presentasi sambil melihat catatan jika lupa. Keterlibatan penutur asli sebagai audien sangat memberikan manfaat, terutama memotivasi pembelajar untuk menyampaikan materi yang menarik dan membuat penutur asli bertanya terhadap kelompok penyaji. Meskipun terlihat beberapa kelompok yang tegang, bahkan tidak dapat menjawab maksimal pertanyaan penutur asli, setidaknya memberikan pelajaran dan latihan buat pembelajar untuk lebih mempersiapkan perkiraan pertanyaan yang muncul sehingga tidak kebingungan memberikan jawaban yang tepat sesuai harapan audien.

Dalam pengajaran debat, di awal pertemuan pengajar memberikan penjelasan tentang tata cara pelaksanaan debat dan dilanjutkan dengan latihan debat. Hal yang dapat diamati, pada saat latihan debat terlihat beberapa pembelajar masih kebingungan. Hal ini dikarenakan belum tergambar bagaimana debat dalam  bahasa Jepang dilakukan. dalam pengajaran debat ini tidak ditampilkan contoh sebelumnya. Dengan kondisi ini menjadi catatan penting bahwa pembelajar akan lebih mudah diarahkan jika dalam pengajaran diberikan ’tehon’ atau contoh nyata terlebih dahulu. Namun, bukannya berarti bahwa pembelajar tidak mampu tanpa penyajian contoh terlebih dahulu, mereka dapat melakukan debat sederhana ketika latihan dalam tema yang sederhana misalnya mana yang lebih baik piknik ke gunung atau pantai dan sebagainya. Dalam latihan, pembelajar tidak diberikan ungkapan-ungkapan yang sering digunakan dalam debat, denga harapan mereka berusaha semampunya untuk menerapkan ungkapan-ungkapan yang cocok yang sudah dipelajari selama ini. Pemberian referensi ungkapan-ungkapan yang biasa digunakan dalam debat oleh para pendebat maupun moderator diberikan untuk belakangan setelah mereka latihan (lihat referensi daftar ungkapan dalam lampiran). Keterlibatan penutur asli dalam pengajaran ini sangat membantu memotivasi pembelajar, mereka bertanya langsung pada saat latihan kepada penutur asli mengenai debat dalam bahasa Jepang dan secara langsung melihat dan meniru bagaimana penutur asli berdebat. Penutur asli secara bergantian berkeliling dan berganti kelompok debat agar secara bergiliran mendapat kesempatan berinteraksi dengan pembelajar. Pada saatnya penampilan debat setiap kelompok, beberapa pembelajar mengaku sangat gugup sekaligus bersemangat ketika berdebat, selain pembelajar memilih tema sesuai dengan minat masing-masing, melalui depat dapat terlihat bagaimana pembelajar diberi kesempatan menyatakan pendapat ataupun menyanggah pendapat sesuai aturan bahasa Jepang. Selain itu, yang mendapat giliran menjadi moderator dan juga pembawa acara mendapatkan pengalaman baru yang belum perah mereka dapatkan sebelumnya.

Point pentingnya yakni bahwa pengajar hanya sebagai fasilitator saja, waktu yang lebih lama banyak digunakan oleh pembelajar untuk diskusi persiapan presentasi dan latihan presentasi ataupun debat dengan kelompoknya masing-masing baik di kelas maupun di luar perkuliahan.

Presentasi dilakukan per kelompok masing-masing selama 15 menit. Hal yang dapat diamati dalam proses pengajaran  debat yakni, pengajar hanya menjadi fasilitator saja, mengamati jalannya presentasi, mencatat untuk bahan feed back, bertanya kepada kelompok penyaji. Sedangkan aktivitas pembelajar, semua anggota kelompok mendapat kesempatan berbicara, termasuk yang bertugas sebagai MC ataupun moderator. Karena materi presentasi sudah disiapkan dalam bentuk power point sehingga mahasiswa tidak begitu kesulitan dalam menyampaikan materi, namun dalam  menjawab pertanyaan dari audien (termasuk dari penutur asli) terlihat kecenderungan yang menjawab pertanyaan pada beberapa individu saja, ada kesulitan beberapa orang ketika harus menjawab langsung, terlihat gugup, lupa beberapa kosakata/ungkapan. Pembelajar lainnya memperhatikan presentasi, bertanya/berkomentar dan memberikan penilaian pada setiap akhir presentasi dengan format penilaian yang sudah disediakan pengajar. Terakhir dilakukan feedback dari pengajar dan evaluasi masing-masing kelompok berdasarkan feed back pengajar dan hasil penilaian sesama pembelajar. Feedback dosen dilakukan secara keseluruhan, mengenai kelebihan dan kekurangan setiap presentasi dan hal-hal yang harus diperhatikan. Sedangkan feedback dari sesama pembelajar dilakukan dalam kelompoknya masing-masing dengan didampingi pengajar secara berkeliling.

 

  1. Kuisioner Pembelajar

Kuisioner diberikan pada akhir perkuliahan, bentuknya merupakan kuisioner terbuka dengan tiga pertanyaan utama yakni; (1) hal-hal baru apa saja yang diperoleh atau dipahami pada perkuliahan ini (2) hal-hal apa yang tidak dipahami/menjadi pertanyaan (3) harapan untuk perbaikan pembelajaran selanjutnya dan (4) hal-hal lainnya. Hasil jawaban kuisioner dapat diringkas sebagai berikut.

  • Pembelajar jadi mengetahui bagaimana melakukan presentasi yang bersifat dasar/ umum maupun presentasi khusus , cara merencanakan, melaksanakan debat sampai dengan membuat laporan dan presentasi dalam bahasa Jepang serta cara menanggapi pertanyaan yang disampaikan audien. Selain itu, belajar cara speech yang benar, menambah perbendaharaan ungkapan/kosakata baru, belajar berbicara di depan orang banyak, bahkan belajar menjadi MC dan moderator. Hal menarik lainnya yakni pada setiap pertemuan ada hal baru yang dipelajari dengan cara yang berbeda dengan pengajaran yang lainnya sehingga kemampuan kaiwa menjadi lebih baik. Dalam perkuliaham ini lebih menegangkan karena hampir semua tema mengharuskan berbicara di depan umum. Dengan begitu  kepercayaan diri, keberanian untuk berbicara, kemampuan berbicara benar-benar dilatih. Kemudian, belajar menilai orang lain secara objektif. Dengan feedback pengajar dalam setiap presentasi, membuat pembelajar tahu letak kekurangan dan kelebihan setiap penampilan. Metode ini membuat pembelajar lebih kreatif. Hal lainnya, karena ada peran penutur asli sehingga pengetahuan seputar Jepang pun bertambah.
  • Dikarenakan feedback dilakukan secara keseluruhan/bukan secara individu sehingga muncul pertanyaan/keraguan secara pribadi apakah sudah benar atau belum cara berbicara maupun tata bahasa yang digunakan. Kemudian, pada pembelajaran speech dan juga debat, saat itu belum diberikan tampilan contoh naskah pidato untuk referensi ataupun tampilan audio visual speech maupun debat sehingga muncul pertanyaan bagaimana awal dan akhir speech dan cara orang Jepang berdebat (dalam debat masih kurang mengerti dikarenakan kekurangan referensi).
  • Dikarenakan dalam proses persiapan presentasi secara umum interaksi antar pembelajar menggunakan bahasa Indonesia sehingga sebagian dari pembelajar tidak bisa meningkatkan bahasa Jepang di luar jam pembelajaran, oleh karena itu muncul harapan untuk memperbanyak kegiatan dengan lebih banyak interaksi menggunakan bahasa Jepang meskipun antar pembelajar sendiri, misalnya dengan melibatkan selalu penutur asli sehingga pembelajar terpacu untuk berbicara dalam bahasa Jepang/diberi tugas bersama-sama penutur asli. Bila perlu dibuat aturan bahwa di saat kuliah kaiwa dilarang menggunakan bahasa Indonesia. Selain itu, feedback dari pengajar secara langsung/lisan dengan menggunakan media power point sehingga memunculkan harapan agar feedback dilakukan juga secara tertulis supaya mudah dipahami dan apabila lupa, dapat mengecek kembali serta harapan untuk feedback secara individu agar bisa tahu kekurangan dan kelebihan serta apa yang perlu diperbaiki.
  • Secara umum pembelajar memberi tanggapan positif pada perkuliahan dengan metode public speaking ini karena dirasakan sebagai metode baru yang dapat merubah kebosanan metode yang selama ini digunakan dalam kaiwa (misalnya role play) dan banyak hal yang dapat dipelajari.
  1. Kesimpulan

Secara umum pengajaran dengan meggunakan metode public speaking PW, debat dan speech mendapatkan tanggapan yang positif dari pembelajar. Selain dianggap metode baru yang ”menyegarkan”, juga memberi kesempatan kepada pembelajar untuk dapat bebas menentukan tema yang sesuai minat mereka, lebih memberikan tantangan dan juga melatih kepercayaan diri berbicara dalam bahasa Jepang di depan publik. Meskipun demikian, ada beberapa hal yang dirasakan maupun yang teramati dari observasi selama pembelajaran dan dianggap menjadi kendala dalam pengajaran dengan metode ini antara lain.

  1. Kemampuan berbahasa Jepang yang masih kurang dari dosen pengampu, sehingga tidak punya kepercayaan diri untuk mengajar debat dalam bahasa Jepang, sehingga dalam pelaksanaannya banyak menggunakan Bahasa Indonesia. Hal ini dapat mengurangi semangat pembelajar untuk belajar lebih keras lagi.
  2. Pembelajar sering mengalami kesulitan untuk mengatakan sesuatu dalam bahasa Jepang di kelas karena rasa malu, takut melakukan kesalahan atau takut dikritik sehingga bahasa Jepangnya tidak keluar dengan lancar.
  3. Ada beberapa orang pembelajar yang kurang aktif berbicara bahasa Jepang dan kurang berperan aktif dalam pembelajaran ini.
  4. Kecenderungan untuk menggunakan bahasa ibu/bahasa Indonesia.
  5. Kurangnya perbendaharaan kosakata dan kurang menguasai tata bahasa sehingga pembelajar terbatas dalam mengungkapkan pendapatnya.
  6. Dalam laporan debat  juga pada saat presentasi sering ditemui bercampurnya penggunaan bentuk masu/teinei dan bentuk biasa/futsuukei.
  7. Tidak kritisnya pembelajar dalam menyampaikan ide sehingga kadang-kadang

muncul pendapat umum sedangkan pendapat orsinil diri sendiri masih kurang.

  1. Rekomendasi

Beberapa langkah untuk meningkatkan keefektifitasan pengajaran debat  dalam bahasa Jepang antara lain.

  1. Mulailah kegiatan dengan bahasa yang mudah dan sederhana.
  2. Pilihlah topik yang menarik dan sesuai dunia remaja.
  3. Berilah intruksi-intruksi yang mendorong pembelajar untuk berbicara berpasangan ataupun kelompok.
  4. Mulailah disiplin dari pengajarnya untuk selalu menggunakan bahasa Jepang dalam kegiatan pengajaran.
  5. Pilihlah pendekatan/teknik kerja kelompok, kerja berpasangan, sosio drama, simulasi, debat dan speech.
  6. Libatkan penutur asli selain pengajar, misalnya tenaga voluntir atau mahasiswa orang Jepang dalam perkuliahan.

Pada dasarnya pembelajar sangat senang sesuatu yang baru dan tidak menyukai hal yang membosankan, karena itu hendaklah kegiatan pembelajaran menyediakan tugas-tugas yang menantang tetapi tidak terlalu sulit dan tidak juga terlalu mudah supaya pembelajar tertarik dan terdorong untuk kreatif berbicara dalam bahasa Jepang baik di kelas maupun luar kelas. Kerja kelompok, kerja berpasangan, sosio drama, simulasi, berpidato dan debat adalah teknik pembelajaran yang sangat bagus untuk selalu dikembangkan dalam pembelajaran public speaking untuk semester akhir. Karena kegiatan ini akan membutuhkan banyak perbendaharaan kata, dengan sendirinya pembelajar dipaksa untuk menghapal dan menerapkan banyak ungkapan/kosakata. Di samping itu, kegiatan ini akan menumbuhkan keberanian dan percaya diri untuk  menggunakan bahasa Jepang dalam situasi yang sesungguhnya. Agar kegiatan pembelajaran bahasa Jepang lebih efektif, pengajar hendaknya menggunakan metode/pendekatan pembelajaran yang tepat atau menggabungkan beberapa metode untuk kegiatan pembelajaran. Dalam upaya meningkatkan hasil belajar yang optimal, para praktisi pendidikan telah banyak memperkenalkan dan menerapkan berbagai metode pembelajaran yang sesuai dengan karakterisrik mata kuliah kaiwa, salah satunya SCL (Student Center Learning). Pengajaran debat  memungkinkan membuat pembelajar lebih aktif di kelas dan sangat mendukung untuk peningkatan kemampuan komunikasi dalam bahasa Jepang.

  1. Format Penilaian Debat Individu/Kelompok

Tabel 1

評価リスト

番号 名前 発音 声の大きさ 表現力 文法の正しさ 合計
  1. Contoh tema debat individu antara lain.
  2. 子供を育てるには、手伝いさんに任せる。賛成か反対か?
  3. 会社または外で勤める女性(wanita Karier)に対して賛成か反対か?
  4. 「子供が多ければ、財産も多い」という意見に賛成か反対か?
  5. 国際結婚について賛成か反対か?
  6. 大学の中(校内)にモールがあったら、賛成か反対か?
  7. 大学の教師なるためにN2日本語能力試験に合格しないといけないと意見に賛成か反対か?など

Contoh tema debat kelompok (1) antara lain.

  1. 子供が育てるには田舎で育てるか,都会で育てるか?
  2. 日本での生活とインドネシアでの生活とどちらがいい?
  3. 結婚相手が年下か年上か?
  4. 映画を見るには映画館かDVDか?
  5. 通勤するときは、車で行くか、バイクで行くか?
  6. 買い物したら、モールでするか伝統的な市場でするか?
  7. ドラえもんのどこでもドアがあれば、過去に行くか、未来に行くか?
  8. 卒業したら、公務員になるか、会社員になるか?
  9. 将来、先生になりたいか、会社員になりたいか?
  10. 結婚相手が金持ちの人か普通のひとか?
  11. たとえとしたら、ジェリーになりたいか、トムになりたいか」
  12. 旅行したら、個人旅行か団体旅行か
  13. もう一度うまれましたら、男性になりたいか、女性になりたいか?
  14. どうちらが幸せ?教師になるか 商売人になるか
  15. インターネットしたら、形態電話にするかパソコンにするか?
  16. 大学生にとって、実家に住むか、下宿に住むか?
  17. 学生寮に住むか、下宿に住むか
  18. バリへ旅行にしたら、バスに乗るか、飛行機に乗るか
  19. 卒業したら、結婚するか、仕事するか。

Contoh tema untuk debat kelompok (2) antara lain.

  1. 子供が育てるには田舎で育てるか,都会で育てるか?
  2. 日本での生活とインドネシアでの生活とどちらがいい?
  3. 結婚相手が年下か年上か?
  4. 映画を見るには映画館かDVDか?
  5. 通勤するときは、車で行くか、バイクで行くか?
  6. 買い物したら、モールでするか伝統的な市場でするか?
  7. ドラえもんのどこでもドアがあれば、過去に行くか、未来に行くか?
  8. 卒業したら、公務員になるか、会社員になるか?
  9. 将来、先生になりたいか、会社員になりたいか?
  10. 結婚相手が金持ちの人か普通のひとか?
  11. たとえとしたら、ジェリーになりたいか、トムになりたいか」
  12. 旅行したら、個人旅行か団体旅行か
  13. もう一度うまれましたら、男性になりたいか、女性になりたいか?
  14. どうちらが幸せ?教師になるか 商売人になるか
  15. インターネットしたら、形態電話にするかパソコンにするか?
  16. 大学生にとって、実家に住むか、下宿に住むか?
  17. 学生寮に住むか、下宿に住むか
  18. バリへ旅行にしたら、バスに乗るか、飛行機に乗るか
  19. 卒業したら、結婚するか、仕事するか。

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Bardin, Sachiko Tanaka et.al. 1988. Komyunikeeshon Juushi no Gakushuu Katsudo: Purojekuto Waaku. Bonjinsha.

Miura, Kanae et.al. 2006. Akademikku Purezenteeshon Nyuumon. Hituji.

Shimosegawa, Keiko et.al. 1995. Nihongo Koutou Happyou to Touron Gijutsu. Toukai Daigaku Shuppankai.

Sasaki, Kaoru et.al. 2001. Topikku ni yoru Nihongo Sougou Enshuu. Suriiee Netto Waaku.

Tomomatsu, Etsuko. 2008. Shoronbun e no 12 Suteppu. Suriiee Netto Waaku.

http://www.eonet.ne.jp/~yasoo/page011.html

 

 

 

翻訳授業のための効果的な教授法

-解釈論を用いた昔話翻訳プロセスを通して-

Efektifitas Pendekatan Interpretatif dalam Proses Penerjemahan Teks Cerita Rakyat Jepang

(Penelitian eksperimen pada pembelajar bahasa Jepang prodi sastra Jepang STIBA INVADA)

 

 

*Citra Dewi

要旨

本研究は「true experimentalメソッド」の「posttest only control design」を利用する。分析の結果から、実験グループのポストテストの平均点は3,21 で、その結果、実験グループの翻訳能力は「B (Baik)。また、コントロールグループの平均点は2,73 で、コントロールグループの翻訳能力は「C(Cukup))」。アンケートから、解釈論を使用した翻訳の授業についての学習者の意見が得られた。全ての学習者は解釈論の〈「Comprendeステージ」、「Decodageステージ」及び「Reformulerステージ」〉3つのステージを理解した。その3つのステージは体系的な翻訳法を挙げたため、翻訳プロセスは易しくなった。アンケートから学習者がその易しさを感じていたと明らかになった。しかし、困難さも出てきた。その困難さは適当な語彙を調べたり、利用したりすること、ソースランゲージの語彙の理解力、漢字及び文法力である。つまり、各ステージによって、翻訳プロセスは易しくなったが、課題がないわけではない。困難さも出てきたのは3つのステージがあったためではなく、学習者の能力が足りなかったためである。

キーワード:解釈論、翻訳、教授法

  1. Pendahuluan

Penerjemahan merupakan suatu kegiatan transformasi bentuk yakni kegiatan mengubah bentuk bahasa yang satu ke bahasa yang lain. Dalam The Merriam Webster Dictionary disebutkan bahwa “to translate is the change from one state to another” (Menerjemahkan adalah mengubah suatu keadaan atau bentuk ke suatu keadaan atau bentuk lain). Kemudian Newmark (1988) menyatakan “..it is rendering the meaning of a text into another language in the way that the author intended the text” (Penerjemahan merupakan kegiatan mengirim pesan dari teks ke dalam bahasa berbeda seperti apa yang dimaksud dalam teks tersebut).

Namun yang dimaksud dengan penerjemahan tidak serta merta menuangkan kembali pesan, melainkan banyak unsur-unsur yang terlibat pada prosesnya yakni keikutsertaan unsur budaya dan pengetahuan dalam proses penerjemahan. Dengan begitu penerjemahan tidak hanya dipandang sebagai kegiatan berbahasa saja namun lebih dari itu juga merupakan kegiatan berkomunikasi. Pemahaman unsur budaya juga merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki ketika melakukan proses penerjemahan. Tentu saja kompetensi tersebut lahir dari banyaknya pengalaman dan latihan. Salah satunya adalah melalui proses pembelajaran penerjemahan yang dilakukan di perguruan tinggi. Namun, dalam proses kegiatan pembelajarannya timbul berbagai permasalahan. Seperti yang diungkapkan oleh Anjani (2012) bahwa permasalahan dalam pembelajaran penerjemahan (honyaku) meliputi;

  1. Kemampuan pembelajar bahasa Jepang memadai dalam penerjemahan teks namun kurang ditunjang dengan kemampuan memahami makna wacana secara utuh;
  2. Kecenderungan penerjemahan dilakukan perkata sehingga timbul kecenderungan penerjemahan yang tidak berterima;
  3. Pembelajar kurang menguasai bahasa Indonesia;
  4. Kurangnya informasi mengenai metode penerjemahan sehingga pembelajaran terpaku pada model diskusi dan penerjemahan bersama;
  5. Motivasi belajar kurang. Hal ini menyebabkan kegiatan transfer informasi yang bersifat komunikatif hanya diartikan sebagai kegiatan mengalih bahasakan (secara gramatikal maupun leksikal).

Kegiatan pembelajaran mata kuliah penerjemahan berjalan dengan menghasilkan paradigma bahwa mata kuliah tersebut identik dengan kegiatan membuka dan membaca kamus atau membuka buku gramatika. Sehingga hasil terjemahannnya pun merupakan sekumpulan kalimat yang tidak utuh atau banyak gagasan penting yang terlewatkan karena tidak ditangkap dengan baik oleh pembelajar. Kemudian bahwa pembelajaran penerjemahan tidak terlepas dari metode, teknik penerjemahan yang sesuai.

Diungkapkan pula oleh Herman (2009) bahwa dalam kegiatan pembelajaran penerjemahan perlu didukung oleh teknik yang sistematis sehingga dapat memudahkan pembelajar dalam kegiatan penerjemahannya. Salah satunya melalui pendekatan interpretatif.

Dari hasil penelitiannya terhadap pembelajar bahasa Perancis dalam menerjemahkan teks sastra menggunakan pendekatan interpretatif, Herman (2009) menyatakan bahwa penggunaan pendekatan interpretatif dalam penerjemahan dapat membantu pembelajar dalam kegiatan penerjemahan dikarenakan menyodorkan tahapan yang sistematis yang terdiri 3 tahapan dalam proses penerjemahannya.

Herman (2009) menyatakan, pendekatan interpretatif atau lebih dikenal dengan teori sense pertama kali dikembangkan oleh Selescovitch dan Lederer. Teori ini lahir dengan melihat fakta bahwa tiap bahasa memiliki cara yang berbeda dalam pemaknaannya walaupun berasal dari konten yang sama. Juga melihat bahwa kegitan penerjemahan bukanlah kegiatan mentransfer kata dari bahasa sumber (BSu)  ke bahasa sasaran (BSa) semata namun lebih kepada mentransfer makna yang ingin disampaikan oleh penulis kepada pembaca.

Dengan menilik pada permasalahan yang terjadi ada kegiatan pembelajaran penerjemahan maka penulis berpendapat perlu dilakukan sebuah penelitian dalam rangka memberikan solusi alternatif atas permasalahan dalam kegiatan pembelajaran penerjemahan (honyaku).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji efektifitas pendekatan interpretatif dalam proses penerjemahan teks cerita rakyat Jepang, tanggapan mahasiwa dalam proses penerjemahan selama pembelajaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Sutedi (2009) bahwa pada hakikatnya penelitian dalam bidang pendidikan dilakukan dengan tujuan untuk memahami permasalahan pendidikan serta hal-hal lain yang berhubungan dengannya, melalui pengumpulan bukti akurat, dilakukan secara sistematis berdasarkan metode ilmiah, sehingga diperoleh jawaban untuk memecahkan masalah tersebut. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan salah satu alternatif solusi dalam permasalahan yang muncul dalam pembelajaran honyaku.

 

  1. Kajian Pustaka
  2. Definisi Penerjemahan

Secara leksikal, penerjemahan berasal dari kata “to translate” yang berarti merubah suatu konten baik itu konten lisan maupun tulisan kedalam bahasa yang berbeda. Secara sederhana Kawahara (2003) menyatakan (一般的に、翻訳はある言語を別言語に訳す作業であり、ある言語のAという表現を別の言語のBという表現に表す場合を、“translate A as B”と表現できる).

Bahwa penerjemahan secara umum dapat dikatakan sebagai kegiatan pemindahan kata dari bahasa satu ke bahasa lainnya. Apabila A dalam bahasa sumber diterjemahkan menjadi B dalam bahasa sasaran maka dapat dikatakan itu merupakan teknik penerjemahan A ke B.

Dalam The Merriam-Webster Dictionary (1974) “translations consist of changing from one state or form to another to turn into one’s own or other ‘s language” (Penerjemahan merupakan kegiatan merubah satu pernyataan atau bentuk kedalam bentuk yang lain dalam bentuk bahasa yang berbeda). Tetapi Koller (1995) dalam Basil (2001) menyatakan dengan lebih tegas bahwa penerjemahan merupakan suatu kegiatan memproses sebuah teks yang lebih rinci lagi diartikan sebagai kegiatan transformasi teks dari BSu (Bahasa Sumber) ke BSa (Bahasa Sasaran) sehingga hubungan antara keduanya merupakan hubungan yang setara atau equivalent relation.

Newmark (1988) menyatakan bahwa “translation is a craft consisting of the attempts to replace a written message and/or statement in one language by the same message and/or statement in other” penerjemahan merupakan kegiatan mengubah pernyatan/pesan kedalam bahasa lain tanpa mengubah isi pesan/pernyataan tersebut. Dalam bukunya A Text Book of Translation Newmark (1988) menyatakan penerjemahan berhubungan dengan kegiatan menyampaikan makna dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain. Dapat disimpulkan bahwa pendapat tersebut menekankan pada penerjemahan merupakan  kegiatan penyampaian makna dari bahasa yang satu ke bahasa yang lainnya seperti yang dapat dilihat pada bagan di bawah ini,

Teks

Kebenaran,Fakta

BSu Penulis                                                                           BSa Penulis

BSu Norma                                                                            BSa Norma

BSu Budaya                                                                             BSa Budaya

BSu Aturan dan Tradisi                                                       BSa Aturan dan Tradisi

Penerjemah

Bagan. 1 Dinamika Penerjemahan

Ketika penerjemahkan sebuah teks kita tidak dapat mengindahkan leksikon, struktur tata bahasa, situasi komunikasi dan unsur budaya yang terkandung dalam teks tersebut kemudian melakukan rekonstruksi makna yang sama dengan menggunakan leksikon dan struktur tata bahasa yang sesuai dengan BSa. Senada dengan Newmark, Larson (1989) menjelaskan definisi penerjemahan sebagai pengalihan makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran melalui tiga langkah pendekatan, yaitu:

  1. Mempelajari leksikon, struktur gramatikal, situasi komunikasi, dan konteks budaya dari teks bahasa sumber
  2. Menganalisa teks bahasa sumber untuk menemukan maknanya
  3. Mengungkapkan kembali makna yang sama dengan menggunakan leksikon dan struktur gramatikal yang sesuai dalam bahasa sasaran.

Sehingga proses penerjemahan dapat digambarkan dalam bagan dibawah ini,

Teks
Hasil

Terjemahan

BSu                                                                              BSa

Makna

Mencari makna                                                                                                                                                                                                               Memaknai kembali

 

                     

                                               Bagan. 2 Equivalent Relation

Bagan diatas disampaikan oleh Neubert (1994) yang menjelaskan bahwa penerjemahan menampilkan hubungan yang setara antara BSu dan BSa. Yang dimaksud hubungan yang setara adalah kesetaraan dalam penerjemahan kosakata yang berhubungan dengan unsur budaya dari BSu ke BSa.

Kata setara juga dipakai oleh Catford (1962) yang menyatakan bahwa penerjemahan merupakan kegiatan pemindahan materi teks BSu ke materi teks yang memiliki kesetaraan dalam BSa. Sedangkan Snell-Hornby (1989) menyatakan bahwa penerjemahan bukan merupakan “pengalihan bahasa” namun lebih kepada “transfer budaya”.

Dengan demikian penerjemahan merupakan suatu proses kegiatan berkenaan dengan dua bahasa atau lebih yang menyangkut kepada transfer makna yang disesuaikan dengan pemahaman akan ujaran, kebahasaan dan budaya sehingga dapat menghasilkan terjemahan yang dapat diterima oleh BSa.

  1. Teknik Penerjemahan

Teknik penerjemahan ialah cara yang digunakan untuk mengalihkan pesan dari BSu ke BSa, diterapkan pada tataran kata, frasa, klausa maupun kalimat. Menurut Molina dan Albir (2002), teknik penerjemahan memiliki lima karakteristik:

  1. Teknik penerjemahan mempengaruhi hasil terjemahan;
  2. Teknik diklasifikasikan dengan perbandingan pada teks BSu;
  3. Teknik berada tataran mikro;
  4. Teknik tidak saling berkaitan tetapi berdasarkan konteks tertentu;
  5. Teknik bersifat fungsional.

Setiap pakar memiliki istilah tersendiri dalam menentukan suatu teknik penerjemahan, sehingga cenderung tumpang tindih antara teknik dari seorang pakar satu dengan yang lainnya. Teknik yang dimaksud sama namun memiliki istilah yang berbeda. Dalam hal keberagaman tentunya hal ini bersifat positif, namun di sisi lain terkait penelitian akan menimbulkan kesulitan dalam menentukan istilah suatu teknik tertentu. Oleh karena itu, dalam hal ini penulis menggunakan teknik pendekatan interpretatif  yang dikembangkan oleh Lederer dan Seleskovitch (1994).

  1. Pembelajaran Penerjemahan Dengan Pendekatan interpretatif

Dalam Herman (2009:6) pendekatan interpretatif (Thèorie Interpretative de la Traduction) juga dikenal sebagai teori sense (makna, maksud) merupakan pendekatan dalam penerjemahan yang pertama yang dikembangkan oleh Marianne Lederer dan Danica Seleskovitch (1994). Keduanya merupakan peneliti di Ecole Superieure d’Intèrpretes et de Traducteurs (ESIT) di Universitas Paris 3 Sorbonne Nouvelle.

Teori ini lahir dengan melihat fakta bahwa tiap-tiap bahasa memiliki cara yang berbeda-beda dalam mengekspresikan konten yang sama. Seperti yang diungkapkan oleh Choi (2003) bahwa;

The theory of sense is based on the fact that different language uses different way of expessing similar content. The theory explains that interpreting and translating is not merely laying down what is said in the souce text using corresponding words in target text; that will result in a text that the target readers cannot understand.

Pada hakikatnya kegiatan penerjemahan menurut teori sense merupakan kegiatan transfer makna, bukan merupakan kegiatan pemindahkan kata dari BSu ke BSa yang akhirnya hanya akan menghasilkan teks yang tidak dapat dipahami oleh pembaca.

Herman (2009) mengungkapkan bahwa teori ini menyodorkan 3 tahapan dalam proses penerjemahannya yaitu 1) Tahap comprende/pemahaman merupakan tahap menelusuran teks dan pembacaan teks. Tujuan dari tahap ini adalah untuk menemukan sense atau makna teks yang dibaca. Tahap ini dapat berupa pembacaan secara aktif dan kritis yang disebut lecture active. 2) Tahap decodage/identifikasi merupakan kegiatan deverbalisasi dengan melepaskannya diri dari ikatan bentuk BSu. Pada tahap ini pembelajar diasumsikan telah memperoleh pesan yang terdapat dalam bahasa sumber, langkah selanjutnya adalah memastikan bahwa pesan yang ditangkap oleh pembelajar kurang lebih sama dengan apa yang diinginkan oleh penulis teks. 3) Tahap reformuler/mengungkapkan kembali Pada tahap ini maha pembelajar menuangkan kembali gagasan penulis yang terdapat dalam pesan yang diperoleh dengan BSa.  Pengungkapan dalam bahasa sasaran ini tidak boleh lagi dipengaruhi oleh leksikon dan bentuk struktural atau gramatikal bahasa sumber.

Menurut Herman (2009) pembelajaran penerjemahan dengan pendekatan interpretatif ini bersifat multiplikatif, artinya terdapat kecendrungan bahwa pembelajar akan mengembangkan teknik menerjemahkan yang paling baik untuk situasi dan keadaan yang dihadapinya. Disamping itu terdapat kemungkinan secara pedagogis pembelajar menjadi formator bagi pembelajar lainnya. Yang harus digarisbawahi adalah kenyataan bahwa prinsip penerjemahan adalah “kemustahilan” menemukan padanan yang betul-betul sama antara kata-kata, kalimat dari BSu ke BSa namun sebaliknya terdapat kemungkinan mengambil gagasan-gagasan untuk kemudian diungkapkan kembali kedalam BSa. Mm

  1. Materi Pembelajaran Penerjemahan Melalui Pendekatan Interpretatif

Materi pembelajaran dapat berupa teks dalam berbagai bidang. Seperti yang diungkapkan oleh Choi (2003) bahwa

(Pendekatan interpretatif dalam penerjemahan tidak hanya dapat digunakan dalam menerjemahan secara fungsional namun juga dapat digunakan pada bidang ekonomi, politik, tehnik, pengetahuan alam, atau bahkan teks yang bersifat komersial. Tidak ada hambatan bagi teori ini untuk diaplikasikan pada teks sastra dan puisi, selama kegiatan transfer linguistiknya bukan merupakan kegiatan alih bahasa namun lebih kepada pengalihkodean, tujuannya adalah untuk memperlihatkan pada pembaca penerjemahan keganjilan dalam bahasa sumber. Dalam kondisi lainnya bahwa bahwa teks hasil terjemahan adalah teks yang memiliki kesamaan efek kognisi, afeksi dan estetika pada pembaca seperti yang dimiliki oleh teks sumber.)

Dari pendapat Choi diatas bahwa materi pembelajaran penerjemahan menggunakan pendekatan interpretatif tidak hanya terpaku pada satu jenis teks saja. Dikarenakan sifatnya yang multikatif dalam berbagai jenis teks menjadikan pendekatan ini dapat diterapkan dalam pembelajaran  honyaku dengan materi karya sastra yang dalam hal ini adalah pembelajaran penerjemahan teks cerita rakyat Jepang.

Pembelajaran sastra merupakan bagian dari pembelajaran bahasa, maka pelaksanaannya berintegrasi dengan pembelajaran bahasa. Tujuan umum pengajaran sastra agar pembelajar mampu menikmati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Pembelajar diarahkan untuk memahami karya yang dibacanya. Termasuk kedalam pemahaman tokoh, alur, dan latar cerita.

Sebuah teks sastra tidak dapat dipandang sama dengan teks-teks lain pada umumnya. Teks sastra merupakan teks yang tidak menyandarkan pembaca pada realitas logis semata namun  juga nilai budaya dan seni di dalamnya. Israël dalam Herman (2009) menyatakan, terdapat tiga karateristik sebuah teks sastra.

  • Sebuah kenyataan bahwa teks sastra juga merupakan obyek linguistik, sebuah teks sastra terikat pada sebuah bahasa tertentu, sebagai syarat utama
  • Sebagai sebuah obyek sebuah wacana, teks sastra tertambat pada budaya setempat dan terintegrasi dalam tindak komunikasi para penuturnya.
  • Apapun bentuknya, teks sastra merupakan obyek estetika.

Dalam ranah sastra, teks cerita rakyat, legenda, pribahasa dan tradisi lisan lainnya termasuk kedalam golongan sastra rakyat. Menurut kamus besar bahasa Indonesia yang dimaksud dengan sastra rakyat adalah kategori sastra yang mencakup lagu rakyat, balada, dogeng, ketoprak, peribahasa, teka-teki, legenda (banyak yang termasuk tradisi lisan). Sehingga dalam hal ini teks cerita rakyat merupakan salah satu petunjuk masyarakat setempat dalam berkehidupan. Sehingga penerjemahan karya sastra yang satu ini tidak dapat dilepaskan dari unsur-unsur budaya masyarakat pemilik cerita rakyat itu sendiri.

Kegiatan penerjemahan karya sastra memerlukan kemampuan kognitif yang baik terutama dalam hal kognisi terhadap kebudayaan dan kebiasaan yang terjadi di masyarakat. Cerita rakyat Jepang sendiri tidak jauh dari cerita rakyat di Indonesia yang banyak bercerita tentang kejujuran, persahabatan, balas budi, budi pekerti dan segala hal yang berkaitan dengan pembentukan karakter masyarakat dan ciri khusus dari budaya Jepang. Banyak cerita rakyat Indonesia dan Jepang yang memiliki kesamaan cerita yang dibalut dengan kekhasan masing-masing Negara. Kesamaan yang dimiliki dikarenakan kedekatan sejarah dan letak geografis yang sama-sama berada di daerah timur. Sebagai contoh cerita Joko Tarub yang mengambil selendang bidadari sehingga bidadari cantik menjadi istrinya dan tidak bisa kembali ke kayangan. Di Jepang, cerita seperti Joko Tarub dan 7 Bidadari ini di Jepang dinamakan Ten No Hagoromo dengan pemeran seorang pemuda bernama Ikatomi. Baik dalam cerita rakyat Indonesia  Joko Tarub maupun Ten No Hagoromo dikisahkan sebagai seorang seorang pemburu. Dari sana dapat dilihat kemungkinan adanya adaptasi, kedekatan sejarah dan budaya yang menyebabkan adanya kisah atau cerita rakyat yang mirip.

  1. Metode Penelitian
  2. Metode yang digunakan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen.  Penggunaan metode ini dikarenakan penulis akan megujicoba pendekatan interpretatif dalam pembelajaran honyaku. Apakah perlakuan yang diberikan kepada kelas eksperimen memberikan pengaruh tertentu terhadap kemampuan mahasiswa dalam menerjemahkan teks cerita rakyat Jepang. Hal ini sejalan dengan pendapat Sugiyono (2011:72) bahwa metode eksperimen adalah metode penelitian yang digunakan utuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendalikan. Secara lengkap penelitian eksperimen dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian suatu treatment atau perlakuan terhadap subjek penelitian. Jadi penelitian eksperimen dalam pendidikan adalah kegiatan penelitian yang bertujuan untuk menilai pengaruh suatu perlakuan/tindakan/treatment pendidikan terhadap tingkah laku siswa atau menguji hipotesis tentang ada-tidaknya pengaruh tindakan itu jika dibandingkan dengan tindakan lain. Dalam hal ini adalah pengaruh penggunaan teori interpretatif dalam pembelajaran honyaku.

Penelitian ini akan menggunakan metode true experimental dengan menggambil disain posttest only control design. Tujuan dari true experiments menurut Suryabrata (1997) adalah untuk menyelidiki kemungkinan saling hubungan sebab akibat dengan cara mengenakan perlakuan dan membandingkan hasilnya dengan grup kontrol yang tidak diberi perlakuan.

Dalam Posttest only control group design ini terdapat dua grup yang dibentuk dan diasumsikan memiliki karakteristik yang sama (homogen). Grup pertama diberi perlakuan (X) dan grup yang lain tidak. Bagan penelitian ini adalah sebagai berikut.  

K1 X O1
K2 —- O2

Tabel.1 Bagan disain penelitian

Keterangan:

K1     = kelompok eksperimen

K2     = kelompok kontrol

X        = perlakuan yang diberikan pada kelompok eksperimen

O1     = hasil tes akhir kelompok eksperimen

O2     = hasil eksperimen kelompok control

(Nursyahidah:2012)

  1. Disain Penelitian

Diasain penelitian ini dapat dilihat pada bagan dibawah ini;

Bagan 3 disain penelitian

Seperti yang disampaikan diatas bahwa metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah true experiment.  Dibagi kedalam 2 grup yakni grup kontrol dan eksperimen. Kepada grup eksperimen diberikan treatment atau perlakuan berupa pembelajaran honyaku menggunakan pendekatan interpretatif.  Kegiatan eksperimen dilakukan sebanyak 5 kali dengan jadwal seperti dibawah ini.

No. Tanggal Kegiatan Kegiatan
1. 24 April 2013 Melakukan kegiatan pembelajaran honyaku menggunakan pendekatan interpretatif dengan kajian materi cerita rakyat Jepang dengan judul “Toufu To Omiso No Kenka
2. 1 Mei 2013 Melakukan kegiatan pembelajaran honyaku menggunakan pendekatan interpretatif dengan kajian materi cerita rakyat Jepang dengan judul “Ushi No Ongaeshi
3. 8 Mei 2013 Melakukan kegiatan pembelajaran honyaku menggunakan pendekatan interpretatif dengan kajian materi cerita rakyat Jepang dengan judul “Ten No Hagoromo
4. 15 Mei 2013 Melakukan kegiatan pembelajaran honyaku menggunakan pendekatan interpretatif dengan kajian materi cerita rakyat Jepang dengan judul “Okane O Hirottara
5. 22 Mei 2013 Melakukan kegiatan pembelajaran honyaku menggunakan pendekatan interpretatif dengan kajian materi cerita rakyat Jepang dengan judul “Kaguya Hime
6. 30 Mei 2013 Kegiatan post test dengan cerita “ Kagami No Naka No Oyaji

                    Bagan 4. Kegiatan ekperimen

Kegiatan dilakukan 5 kali pertemuan dan pada pertemuan ke 6 dilanjutkan dengan memberikan tes kepada kelas eksperimen untuk mengetahui kemampuan penerjemahannya. Materi tes adalah cerita rakyat Jepang yang  isi materinya memiliki level yang sama dengan materi yang diberikan pada kegiatan eksperimen. Tes yang sama diberikan juga kepada kelas kontrol. Materi cerita di bagi menjadi 10 bagian teks agar lebih mudah dalam memberikan penilaian. System penilaian yang digunakan adalah  strategi penilaian Accuracy and readibility-rating instrument. Strategi ini dikenalkan oleh Nagao, Tsuji dan Nakamura (1988) kemudian diadaptasi oleh Nababan (2004). Dalam penerapannya strategi ini menggunakan penilaian angka skala 1-4. Yang dibagi menjadi sangat mendekati, cukup mendekati, kurang mendekati, dan tidak mendekati. Angka-angka yang digunakan dalam instrumen ini ialah sebagai nilai kecenderungan untuk menilai suatu teks. Teks hasil terjemahan diperiksa dan diberi nilai kedekatannya dengan teks hasil terjemahan peneliti yang telah diverifikasi oleh Native Speaker bahasa Jepang dan ahli bidang bahasa Indonesia yang dijadikan sebagai teks kunci.

 

 

 

 

 

  1. Hasil dan pembahasan
  2. Tes

Berikut hasil tes dari kelas eksperimen.

Code  Sampel Butir Soal Skor akhir
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
E1 3 4 4 4 4 4 3 4 4 4 3,8
E2 4 4 3 3 3 4 3 4 2 3 3,3
E3 2 3 3 3 2 2 2 2 2 3 2,4
E4 4 4 3 4 4 4 3 3 3 4 3,6
E5 3 3 3 3 2 3 3 3 2 3 2,8
E6 3 3 3 2 3 3 3 3 3 2 2,8
E7 3 3 2 2 3 2 3 3 3 2 2,6
E8 3 4 4 3 4 4 4 3 3 4 3,6
E9 3 4 3 4 3 4 4 3 4 4 3,6
E10 4 4 2 3 3 3 4 3 4 4 3,4
E11 2 4 3 4 3 4 4 3 4 4 3,5
Mx 3,21

Tabel 2Tabel hasil tes kelas eksperimen

Sedangkan hasil tes kelas kontrol adalah sebagai berikut.

Code  Sampel Butir Soal Skor

akhir

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
K1 1 1 1 2 2 3 2 2 1 2 1,7
K2 3 3 2 3 3 3 4 3 4 3 3,1
K3 3 4 3 3 3 4 2 3 2 3 3,0
K4 3 3 4 3 3 4 3 3 4 4 3,4
K5 1 2 2 2 3 2 3 3 2 2 2,2
K6 4 4 3 2 2 4 3 4 3 3 3,2
K7 2 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3,0
K8 2 4 3 4 2 3 3 3 4 3 3,1
K9 1 1 1 2 3 2 2 2 1 2 1,7
K10 3 3 3 3 4 3 4 3 4 3 3,3
K11 2 3 2 2 3 2 2 3 2 3 2,4
My 2,73

Tabel 3Tabel hasil tes kelas control

Dari proses penilaian didapatkan hasil Rata-rata kelas eksperimen sebesar 3,21 dan rata-rata kelas kontrol sebesar 2,73. Penilain tersebut didasarkan pada standar penilaian Accuracy and readability – rating instrument merupakan standar penilaian penerjemahan, dimana angka 1-4 merupakan nilai kecenderungan untuk menilai suatu teks terjemahan. Dari hasil tes kelas eksperimen dan kontrol diatas rata-rata nilai tersebut didekatkan dengan standar kompetensi mahasiswa di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa  Asing (STIBA) INVADA sebagai berikut.

Skala NilaiAccuracy and readibility-rating instrument Standar Penilaian Kompetensi Mahasiswa

STIBA INVADA

Skala Score Skala Nilai Mutu Nilai Keterangan
4 86-90 A 86-100 Sangat  Baik
3 76-85 B 71-85 Baik
2 61-71 C 56 -70 Cukup
1 46-60 D 41-55 Kurang
  1.  

Tabel 4 Tabel Pendekatan PenilaianArri dan Standar Penilaian Kompetensi STIBA INVADA

Hasil nilai rata-rata kelas eksperimen adalah 3,21 yang berada ada skala nilai 76-85. Apabila didekatkan dengan standar kompetensi mahasiswa di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa  Asing (STIBA) INVADA nilai tersebut dekat pada rentang nilai 71-85. Dengan pendekatan tersebut menunjukkan bahwa kemampuan menerjemahkan teks cerita rakyat Jepang  kelas eksperimen masuk dalam kategori  B (Baik). Sedangkan nilai rata-rata kelas kontrol 2,73 berada pada skala nilai 61-71. Apabila didekatkan dengan standar kompetensi mahasiswa di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa  Asing (STIBA) INVADA nilai tersebut dekat pada rentang nilai 56-70.  Dapat diambil kesimpulkan bahwa kemampuan menerjemahkan teks cerita rakyat Jepang  kelas kontrol masuk ke dalam kategori C (Cukup).

Selanjutnya dilakukan uji t untuk mengetahui efektifitas pendekatan interpretatif. Berdasarkan perhitungan t hitung didapatkan hasil t hitung sebesar 2,12 dalam taraf signifikansi 5%, memiliki nilai t tabel 2,08. Dikarenakan hasil thitung>  ttabel maka dapat disimpulkan bahwa Hk diterima. Hal ini menunjukkan bahwa teknik pembelajaran Honyaku melalui pendekatan interpretatif efektif terhadap kemampuan pembelajar dalam menerjemahkan cerita rakyat Jepang.

  1. Angket

Dari penyebaran angket didapat hasil bahwa tahapan dalam kegiatan penerjemahan dengan menggunakan pendekatan interpretatif dapat dipahami oleh mahasiswa. Mahasiswa merasakan kemudahan dalam tiap proses tahapan dari pendekatan interpretatif ini.

Kemudahan dalam proses penerjemahan dapat diakomodir dengan tahapan yang disajikan oleh pendekatan interpretatif dalam penerjemahan. Tahapan tersebut meliputi 1) Tahap compréhension (pemahaman), pada tahap ini beberapa kegiatan eksplorasi teks seperti teknik membaca, pengumpulan bahan, informasi, dan data pendukung menjadi kunci bagi berlangsungnya penerjemahan. 2) Tahap decodage, pada tahap ini strategi mahasiswa dalam menyerap informasi dan meretensinyadalam ingatan menjadi tolak ukur. Berbagai cara untuk mengingat dan menjalin informasi menjadipenentu bagi proses penuangan gagasan dalam bahasa sasaran. 3) Tahap reformuler/réexpression,pada tahap ini kemahiran dan penguasaan mahasiswa terhadap bahasa sasaran dalam hal ini Bahasa Indonesia. Disamping itu pengetahuan tentang gaya bahasa sastra dan memilih kata yang mengandung nilai afektif menjadi sangat penting guna menghasilkan karya sastra terjemahan tetap setia pada makna karya aslinya. Seperti yang diungkapkan oleh Herman (2009) bahwa Théorie interpretative de la traduction sebagai sebuah pendekatan dalam penerjemahan dipandang sangat membantu dalam pembelajaran penerjemahan karena mahasiswa mendapatkan pegangan yang sistematis dan sederhana dalam proses menerjemahkan. Kemudahan melakukan kegiatan penerjemahan dalam hal ini dapat terbantu oleh tiap tahapan dalam teori ini.

Namun kemudahan yang ditawarkan oleh pendekatan ini bukan berarti tanpa kesulitan. Kesulitan dirasakan oleh pembelajar dalam kegiatan penerjemahan. Dalam penelitian ini kesulitan yang dihadapai oleh pembelajar adalah disebabkan faktor kemampuan pembelajar sendiri. Dalam pembelajaran penerjemahan kesiapan kemampuan dalam penerjemahan oleh pembelajar perlu dipersiapkan dengan baik. Pembelajar mengalami kesulitan dalam hal pemilihan padanan kata dalam bahasa Indonesia, kemampuan membaca kanji, pemahaman kosakata dan tata bahasa. Faktor-faktor diatas sama halnya dengan apa yang diungkapkan oleh Suryawinata (1989) bahwa dalam pembelajaran penerjemahan, siswa sebaiknya memiliki 3 penguasaan dasar yakni penguasaan Bahasa Indonesia yang cukup, penguasaan dasar Bahasa Inggris (Bahasa Asing) yang cukup dan pengetahuan umum yang cukup. Ketiga faktor diatas tersebut merupakan dasar kemampuan menerjemahkan. Dalam penelitian ini pembelajar mengalami kesulitan pemilahan padanan kata dalam Bahasa Indonesia, hal ini bisa disebabkan oleh faktor kurangnya penguasaan pembelajar terhadap Bahasa Indonesia. Kesulitan dalam pemahaman kosakata, tata bahasa dan huruf kanji disebabkan karena penguasaan Bahasa Jepang pembelajar masih kurang sehingga proses penerjemahan sedikit terhambat.

Selanjutnya kesulitan lain yang dihadapi adalah pada kemampuan pembelajar dalam memahami teks sastra. Kemampuan pembelajaran harus dipersiapkan termasuk pada kemampuan pembelajar dalam memahami makna yang terkandung dalam teks sastra yang tentunya berbeda dengan teks lainnya. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Herman (2009) Penerapan teori tersebut dalam pembelajaran penerjemahan karya sastra tidak serta merta mempermudah proses penerjemahan mengingat karakteristik teks sastra yang tidak sama dengan jenis teks lainnya.

Dari hasil penerjemahan teks menggunakan teori ini diketahui bahwa penggunaan bahasa sastra dan daya interpretatif pembelajar masih perlu dilatih lagi. Hal ini dikarenakan pemahaman dan kemampuan mahasiswa dalam menyelami karya sastra merupakan salah satu penentu kelancaran proses penerjemahan. Pada hasil terjemahan teks cerita rakyat Jepang, mahasiswa cenderung menerjemahkan secara gramatikal walaupun dari segi pemaknaan dapat diterima dan tidak jauh dari bahasa sumbernya. Dalam interpretatif akan banyak timbul berbagai macam anggapan yang disajikan secara bebas tergantung pada kemampuan berbahasa seseorang.  Mahasiswa menerjemahkan cultural words dalam bahasa Jepang dengan memadankannya dengan cultural words dalam bahasa Indonesia. Contohnya adalah tofu yang dipadankan dengan tahu dan miso yang dipadankan dengan taucho. Hal ini disebabkan adanya kemiripan antara tofu dan tahu juga miso dan taucho yang sama-sama berbahan dasar kedelai.

Berkaitan dengan penerjemahan kata kerja BSu ke dalam BSa beberapa mahasiswa menerjemahkan secara literal. Contohnya nozokikomu yang berarti ‘melongok, menengok ke dalam’ diartikan dengan ‘mengintip atau melihat’. Penerjemahan tersebut merupakan gambaran akan anggapan mahasiswa terhadap kata kerja nozokikomu dalam kalimat. Dimaknakan ‘mengintip’ karena konteks kalimat menyatakan keadaan ‘diam-diam melihat agar tidak diketahui’. Secara umum hasil penerjemahan oleh mahasiswa masih banyak yang bersifat gramatikal tetapi tidak sedikit juga yang menerjemahkan secara interpretatif. Menyampaikan makna secara berbeda namun masih dapat diterima oleh makna BSu.

  1. Penutup

Kemampuan pembelajar dalam pembelajaran penerjemahan dinilai baik, hal ini dibuktikan dengan perbedaan nilai yang signifikan dari nilai post test kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dari hasil uji t juga didapatkan hasil dengan diterimanya Hipotesis Kerja (Hk) bahwa teknik pembelajaran Honyaku melalui pendekatan interpretatif efektif terhadap kemampuan pembelajar dalam menerjemahkan cerita rakyat Jepang. Proses penerjemahan dengan menggunakan pendekatan interpretatif dalam penerjemahan pun terbukti memberikan kemudahan kepada pembelajar dalam proses penerjemahan teks cerita rakyat Jepang. Ini terbukti dari hasil angket yang telah dipaparkan diatas. Dapat disimpulkan bahwa pendekatan interpretatif efektif sebagai pendekatan dalam pembelajaran penerjemahandalam penerjemahan teks cerita rakyat Jepang. Hasil penelitian ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Herman (2009) bahwa pendekatan interpretatif dalam penerjemahan memberikan panduan yang sederhana dalam proses penerjemahan sehingga memberikan kemudahan kepada pembelajar dalam kegiatan menerjemahkan. Sejalan pula dengan pendapat Choi (2003) bahwa pendekatan interpretatif dalam penerjemahan dapat diaplikasikan secara luas pada berbagai macam jenis teks. Tidak dibatasi pada teks yang bersifat fungsional saja namun juga pada teks sastra, politik, ekonomi bahkan teks yang sifatnya komersial sekalipun. Hal ini memberikan peluang pada teori ini untuk diuji cobakan pada pembelajaran penerjemahan dengan menggunakan materi teks di luar teks sastra (cerita rakyat).

Dari hasil penelitian ini dapat diambil saran untuk penelitian selanjutnya, sebagai berikut;

  1. Penelitian selanjutnya dapat menyoroti apakah pendekatan ini dapat menjadi efektif apabila digunakan pada teks yang bukan merupakan teks sastra.
  2. Banyak unsur pendukung dalam kegiatan pembelajaran. Dalam penelitian selanjutnya dapat dilakukan penelitian perihal unsur keterlibatan pengajar dalam kegiatan pembelajaran penerjemahan.
  3. Penelitian selanjutnya dapat menyoroti perihal analisa hasil terjemahan mahasiswa dari segi linguistik.
  1. Daftar Pustaka

Amalia, Fraida. 2007. Peningkatan Kemampuan Menerjemahkan Bahasa Perancis kedalam Bahasa Indonesia Melalui Model Penerjemahan Pedagogis-Profesional. Thesis. UPI Bandung. Tidak diterbitkan.

Anjani, Irna. 2012. Analisa Kesulitan Mahasiswa Dalam Mata Kuliah Honyaku I. Cirebon: STIBA INVADA. Tidak diterbitkan.

Choi Jungwha. 2003. “The Interpretative Theory of Translation and Its Current Aplications”. Interpretation Studies. No.3, December 2003, page 1-15.

Herman. 2009. Model Pembelajaran Penerjemahan Sastra dengan Théorie Interpretative de la Traduction.Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Sumber dari http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/132309875/artikel%20laporan%20penelitian%201.pdf  (Penulis: Herman (2009), diakses 18 Februari 2013).

Larson, Mildred L. 1989. Penerjemahan Berdasar Makna: Pedoman untuk Pemadanan Antarbahasa (Terj.). Jakarta: Penerbit Arcan.

Newmark, Peter .1988. A Book Of Translation. London: A Wheaton &. Co.Ltd.

(Penulis: Linna M R, diakses 21 Februari 2013)

Robinson Douglas .2005. Menjadi Penerjemah Profesional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Simatupang  Mourits D.S. 2000. Pengantar Teori Terjemahan. Dirjen Dikti.

Sutedi, Dedi. 2007. Penelitian Pendidikan Bahasa Jepang. Bandung: Humaniora Press.

Taufik. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Inti Prima.

 

*Citra Dewi, M. Pd. adalah dosen Prodi Sastra Jepang di STIBA INVADA Cirebon

ANALISIS KESALAHAN DALAM MENGGUNAKAN BENTUK V-TE OKU, V-TE ARU DAN V-TE SHIMAU

(Kasus dalam Mahasiswa Tingkat 3 angkatan 2011 Jurusan Pendidikan

Bahasa Jepang Universitas Pendidikan Indonesia)

Hardianto Rahardjo

Abstrak

 

Bentuk V-te aru, V-te oku, maupun V-te shimau adalah 3 aspek yang dipelajari Mahasiswa pada semester awal perkuliahan, tepatnya semester II. Namun apakah ketiga bentuk ini sudah benar-benar dimengerti fungsi dan penggunaannya bahkan pada semester VI? Penelitian ini bertujuan mendata dan menganalisa apakah mahasiswa semester VI sudah memahami dan hafal fungsi serta kegunaan bentuk V-te aru, V-te oku dan V-te shimau dengan mengumpulkan data kesalahan-kesalahan yang mereka buat saat mengerjakan soal test yang dibuat penulis. Kemudian, kesalahan tersebut dianalisa apakah tergolong sebagai Error karena kelalaian atau lupa, atau tergolong sebagai Mistake karena mahasiswa belum paham betul fungsi serta penggunaan ketiga bentuk di atas.

Kata kunci: analisis kesalahan, aspek, bentuk V-te aru, bentuk V-te oku dan bentuk V-te shimau, Error , Mistake.

 

 

  1. Latar Belakang Masalah

Saat mendiskusikan mengenai percakapan yang digunakan dalam Manga maupun Anime, salah satu mahasiswa tingkat 3 Bahasa Jepang UPI pernah menanyakan mengenai fungsi bentuk V-te oku dalam dialog “今先生に連絡しておくから…”, lalu dalam dialog yang ditemukan dalam Manga karya Suzuhito (2005;24) yang berbunyi “殺しちまったらさ~、そこで恐怖が終わっちゃうだろ?”, fungsi bentuk V-te shimau yang manakah yang diindikasikan dalam kalimat tersebut? Fungsi yang menyatakan penyesalan, atau pernyataan selesainya suatu perbuatan, atau kedua-duanya? Serta dalam kalimat “パーティのためのビールはもう買ってある”, bentuk V-te aru yang ada memiliki kemiripan fungsi dengan bentuk V-te oku dalam kalimat “パーティのためのビールはもう買っておいた”、yang berfungsi menunjukkan sesuatu yang dilakukan sebagai persiapan.

Berdasarkan Silabus pembelajaran mata kuliah Bunpo Bahasa Jepang UPI dan buku materi yang digunakan untuk mata kuliah Bunpo, ketiga bentuk ini dipelajari pada tingkat 1 maupun 2 jenjang S1 dalam perkuliahan Bahasa Jepang, dalam hal ini, di Universitas Pendidikan Indonesia. Tapi meskipun dipelajari pada level dasar (初級), masih banyak mahasiswa level menengah (中級), yang nampaknya belum paham betul fungsi dari masing-masing bentuk ini, baik dalam percakapan, menerjemahkan, ataupun membuat kalimat.

Apakah mahasiswa level中級 sudah paham benar dengan fungsi masing-masing bentuk di atas, dan bisa menggunakannya dalam situasi tertentu? Bila kesalahan terjadi saat mereka mengerjakan soal Bunpo mengenai ketiga bentuk di atas, apakah kesalahan tersebut merupakan sebuah Error atau Mistake? Dan mengapa kesalahan ataupun ketidak pahaman mahasiswa bisa terjadi? Mengetahui hal-hal seperti ini merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk dilakukan dalam mengevaluasi kualitas pendidikan dan instrumennya supaya kualitas tersebut bisa terus ditingkatkan, dan pada akhirnya, disempurnakan.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa tingkat 3 semester VI Jurusan Bahasa Jepang UPI memahami fungsi dan penggunaan bentuk V-te aru, V-te shimau, dan V-te shimau, serta alasan kenapa kesalahan yang mereka buat saat menggunakan ketiga bentuk tersebut bisa terjadi. Hasil peelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi dan bahan evaluasi bagi pengembangan kurikulum dan materi pendidikan Bahasa Jepang, terutama di Jurusan Pendidikan Bahasa Jepang Universitas Pendidikan Indonesia.

 

 

  1. Kajian Teori

2.2 Fungsi Bentuk V-te shimau

仁田 (Nitta) (2003;45)  menyebutkan mengenai bentuk V-te shimau sebagai berikut:

Bentuk V-te shimau, pada dasarnya adalah cara untuk mengungkapkan hal yang tidak diharapkan terjadi, tidak dibayangkan akan terjadi, dan secara mendadak terjadi, dalam kondisi dimana sesuatu hal yang sulit atau tidak seharusnya terjadi, namun tetap terjadi.

Bentuk V-te shimau, dalam banyak kasus, seperti contoh berikut, menunjukkan hal yang tidak diharapkan atau diinginkan oleh si pembicara:

  1. 私は財布を落としてしまった
  2. あの夫婦はそのうち離婚してしまうかもしれません。(p.46)

Kemudian, seperti contoh berikut, bukan menunjukkan hal yang tidak diinginkan atau diharapkan, tetapi hal yang diluar dugaan si pembicara:

  1. たまたま試験を受けたら受かってしまった
  2. ひどい風邪だったが、お酒を飲んでいるうちに治ってしまった。(p. 46)

Sehubungan dengan bentuk keinginan, ada juga cara pemakaian yang menunjukkan dilakukannya suatu tindakan dengan berani/nekad/memaksakan diri walau sesungguhnya si pelaku enggan atau tidak ingin melakukannya.

  1. 門が開いているから、今のうちに入ってしまおう。(p.46)

Di lain pihak, tanpa menghubungkan dengan persepsi dari si pembicara seperti contoh-contoh di atas, V-te shimau juga berfungsi menunjukkan sudah tuntas/selesainya suatu aktifitas. Ini adalah fungsi bentuk V-te shimau sebagai aspek.

  1. オードブルを食べてしまってから、メイン料理を食べるのがよい。
  2. テレビを見るまえに、宿題を最終までしてしまいなさい。(p.46)

Dalam bahasa percakapan, bentuk V –te shimau diucapkan sebagai V –chau.

  1. テレビを見るまえに、宿題を最終までしちゃいなさい。(p.46)

 

2.3 Fungsi Bentuk V-te oku

仁田 (Nitta) (2003;51) menyebutkan mengenai bentuk V-te oku sebagai berikut:

Dalam bentuk V-te oku, subyek biasanya adalah orang, sedangkan verbanya terbatas pada kata kerja berupa tindakan yang menunjukkan keinginan. Dalam bahasa percakapan, bentuk V-te oku sering diucapkan menjadi V-toku.

  1. おやつを机の上に置いておいたよ。
  2. おやつを机の上に置いといたよ。

Bentuk V-te oku memiliki 2 fungsi, yaitu untuk menyatakan kondisi yang merupakan hasil dari sebuah perbuatan yang bertahan/tersisa dalam jangka waktu tertentu, dan untuk memperlihatkan sebuah persiapan yang dibuat sebelum melakukan sesuatu. 2 fungsi itu bisa dilihat pada contoh berikut:

  1. パーティのあいだ、食卓に花を飾っておいて。(hasil dari perbuatan)
  2. 来客があるので、食器を買いそろえておいて。(persiapan sebelum sesuatu)

Bentuk V-sasete oku sendiri bisa juga digunakan untuk mengijinkan/membiarkan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan.

  1. 昨日は子どもの誕生日だったので、好きなだけ遊ばせておいて
  2. それで気がすむなら、好きなだけ言わせておこう

2.4 Fungsi Bentuk V-te aru

仁田(Nitta) (2003;49) menyebutkan mengenai bentuk V-te aru sebagai berikut:

Bentuk V-te aru, pada dasarnya menunjukkan hasil yang tersisa atau tertinggal dari sebuah perbuatan yang dilakukan dengan tujuan tertentu

  1. ドアが開けてある

(pintunya terbuka)

  1. テーブルにきれいなバラが活けてある

(diatas meja tersusun bunga mawar yang indah)

Dalam beberapa poin, bentuk ini memiliki kemiripan dengan bentuk V-te iru, tapi bedanya, bentuk V-te iru memiliki kondisi yang terbentuk masih terus berlanjut dan hasil dari aktifitas yang dilakukan bermacam-macam, sedangkan kebalikannya, dalam bentuk V-te aru, kondisi yang terbentuk dibatasi oleh hasil dari aktifitas yang dilakukan sebelumnya. Selain itu, verba atau kata kerja yang digunakan pada dasarnya adalah bentuk kata kerja aktif.

Dalam kalimat dimana Verba Transitif berubah menjadi Predikat, partikel “を” yang awalnya berada di depan Kata Benda atau Nomina berubah menjadi partikel “が”, dan ada kalanya juga tetap menggunakan partikel “を”. Misalnya:

  1. ドアを開ける。
  2. ドアが開けてある。
  3. ドアを開けている。

2 fungsi utama dari bentuk V-tearu adalah (1) menunjukkan hasil yang tersisa dari suatu tindakan, dan (2) menunjukkan akibat yang tersisa dari suatu tindakan.

  1. 電灯がつけてある。(fungsi no. 1)
  2. 確認のために、以前に1度この電灯はつけてある。(fungsi no. 2)

Mengenai pasangan Verba Transitif (他動詞) dan Intransitif (自動詞) seperti “開ける・開く”, “止める・止まる”, “入れる・入る” dan lain-lain, bila bentuk V-te aru menggunakan Verba Transitif, partikel “が bisa menggantikan partikel “を”. Pada saat dimana partikel “が menggantikan partikel “を” untuk Verba Transitif, kalimat yang mengandung Verba Transitif dalam bentuk V-te aru memiliki kesamaan dengan Verba Transitif bentuk V-rarete iru serta verba Intransitif bentuk V-te iru.

  1. 田中がドアを開ける。(Verba Transitif)
  2. ドアが開けてある。( Verba Transitif bentuk V-tearu)
  3. ドアが開けられている。(Verba Transitif bentuk V-rarete iru)
  4. ドアが開いている。(Verba Intransitif bentuk V-te iru)

Namun, dalam kondisi bentuk “V-te aru” dan “V-rareteiru” ini, sesuatu dihasilkan atau diakibatkan oleh perbuatan atau tindakan orang lain. Karena itu, apabila sesuatu tersebut diakibatkan oleh fenomena alam, maka akan digunakan Verba Intransitif bentuk V-te iru, sedangkan Verba Transitif bentuk V-te aru tidak akan digunakan.

  1. 風でドアが開いている。
  2. 風でドアが開けている。(X)

Bentuk V-te aru, pada saat aktifitas yang di dalamnya memiliki fungsi atau kegunaannya tersendiri, memiliki kemiripan dengan bentuk V-te oku.

 

  1. Metode Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan dengan metode kualitatif deskriptif. Data akan dikumpulkan, kemudian dengan menggunakan landasan teori sebagai patokan/acuan, data akan diproses untuk mengambil kesimpulan atau mendapat sebuah teori. Langkah-langkah yang akan diambil untuk melaksanakan penelitian ini secara berurutan adalah sebagai berikut:

  1. Pengumpulan data dengan memberikan soal test pada mahasiswa yang dipilih sebagai sampel. Dalam hal ini Mahasiswa S1 Universitas Pendidikan Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa Jepang tingkat 3 semester VI.
  2. Menghitung jumlah kesalahan yang dibuat oleh mahasiswa dari masing-masing bentuk V-te yang diteliti.
  3. Memberikan questioner kepada mahasiswa yang dipilih sebagai sampel untuk mencari tahu seberapa jauh mereka memahami fungsi dari masing-masing bentuk V-te aru, V-te oku, dan V-te shimau.
  4. Mangadakan follow up interview terhadap sebagian responden dengan memperlihatkan jawaban yang salah pada test yang mereka kerjakan untuk mengetahui apakah kesalahan yang mereka lakukan termasuk Error atau Mistake.
  5. Mengadakan interview dengan dosen pengajar mata kuliah Bunpo untuk mencari tahu sistematika pengajaran ketiga bentuk si atas, serta penggunaannya dalam mata kuliah lain.

         

  1. 4. Pembahasan

Jumlah kesalahan dalam penggunaan bentuk V-te aru adalah yang paling tinggi, baik fungsinya yang menunjukkan kondisi yang merupakan hasil sebuah perbuatan yang dilakukan sebelumnya maupun yang menunjukkan bahwa suatu perbuatan telah dilakukan pada sebuah obyek. Sementara untuk bentuk V-te shimau sendiri, jumlah kesalahan dalam menggunakan fungsinya sepagai indikasi sudah selesainya suatu perbuatan lebih tinggi daripada kesalahan dalam menggunakan bentuk V-te oku. Tapi, jumlah kesalahan penggunaan bentuk V-te shimau sebagai indikasi suatu tindakan atau perbuatan yang hasilnya disesalkan ternyata lebih sedikit daripada jumlah kesalahan penggunaan bentuk V-te oku.

Keterangan:

  1. Bentuk V-te aru fungsi 1 (biru) adalah yang menujukkan sebuah kondisi hasil perbuatan yang telah dilakukan sebelumnya.
  2. Bentuk V-te aru fungsi 2 (merah) adalah yang menunjukkan bahwa sebuah perbuatan telah dilakukan terhadap sebuah obyek.
  3. Bentuk V-te oku fungsi 1 (biru) adalah yang menunjukkan sebuah perbuatan yang hasilnya ditujukan untuk kemudahan atau persiapan kegiatan berikutnya.
  4. Bentuk V-te oku fungsi 2 (merah) adalah yang menunjukkan perbuatan yang hasilnya dibiarkan atau ditinggalkan begitu saja.
  5. Bentuk V-te shimau fungsi 1 (biru) adalah yang menunjukkan sebuah perbuatan atau proses yang sudah selesai.
  6. Bentuk V-te shimau fungsi 2 (merah) adalah yang menunjukkan sebuah perbuatan yang akibat atau hasilnya disesali, tidak diharapkan, atau tidak disukai.

Angket yang dibagikan setelah test untuk mencari tahu sejauh apa responden memahami atau hafal fungsi serta penggunaan ketiga bentuk di atas juga menunjukkan, bahwa bentuk V-te aru adalah yang paling tidak dipahami oleh responden karena banyak yang tidak mengisi pertanyaan angket yang meminta menuliskan fungsi dari masing-masing bentuk diatas. Untuk bentuk V-te oku dan V-te shimau sendiri, meskipun belum sepenuhnya tepat, namun adanya usaha responden untuk menuliskan fungsinya berdasarkan apa yang mereka ingat atau pahami menunjukkan, bahwa setidaknya responden masih memahami atau ingat sebagian dari fungsi bentuk V-te oku maupun V-te shimau.

Karena kesalahan yang dibuat responden dalam mengerjakan soal bentuk V-te aru disebabkan oleh ketidak pahaman mereka terhadap fungsi maupun aspeknya, maka bisa disimpulkan bahwa kesalahan mereka tergolong sebagai Mistake, yaitu kesalahan yang terjadi karena ketidak tahuan akan cara melakukan sesuatu dengan benar. Sedangkan kesalahan yang dibuat mahasiswa sehubungan dengan bentuk V-te oku dan V-te shimau dapat digolongkan sebagai Error, karena kesalahan disebabkan oleh kelalaian, lupa, atau kurang teliti dalam mengerjakan soal test, walaupun mereka sebenarnya paham fungsi dan penggunaan kedua bentuk tersebut.

Wawancara yang dilakukan terhadap beberapa responden dengan jumlah kesalahan paling rendah, paling tinggi, serta beberapa yang dipilih secara acak menunjukkan, bahwa bentuk V-te aru adalah yang paling jarang digunakan atau ditemui diluar jam pembelajaran atau perkuliahan, sehingga apa yang dipelajari dalam kelas belum sepenuhnya dimengerti hingga pada akhirnya terlupakan di semester-semester berikutnya. Kebalikannya, menurut wawancara dengan sebagian responden yang dipilih tadi, bentuk V-te shimau, selain fungsinya lebih mudah dipahami dan diingat, juga banyak mereka temui atau gunakan diluar perkuliahan, misalnya melalui membaca majalah, manga, atau menonton anime dan drama dalam bahasa Jepang.

  1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasannya yang disajikan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan beberapa hal berikut.

  1. Kesalahan yang dibuat oleh responden dalam menggunakan bentuk V-te aru, V-te oku dan V-te shimau adalah kesalahan dalam membedakan fungsi dan penggunaan dari ketiga bentuk tersebut.
  2. Kesalahan yang paling banyak terjadi adalah dalam penggunaan bentuk V-te aru, baik dalam fungsinya sebagai penunjuk kondisi hasil dari sebuah perbuatan yang dilakukan sebelumnya, maupun untuk menyatakan bahwa sesuatu telah dilakukan terhadap sebuah obyek. Kesalahan yang terjadi karena masih kurang pahamnya mahasiswa akan fungsi dari bentuk V-te aru ini menunjukkan bahwa hampir semua kesalahan yang dibuat saat mengerjakan test dapat digolongkan sebagai “mistake”.
  3. Bentuk V-te shimau adalah bentuk yang paling sedikit jumlah kesalahannya. Namun, responden lebih banyak mengetahui fungsi bentuk V-te shimau sebagai indikasi sesuatu yang disesalkan atau tidak diharapkan daripada sebagai penunjuk sudah tuntas atau selesainya sebuah perbuatan.
  4. Selain didapati paling banyak kesalahan, responden juga paling banyak menunjukkan ketidak mampuan mereka dalam menyebutkan atau menjelaskan fungsi bentuk V-te aru dengan tepat. Menurut hasil wawancara, bentuk V-te aru adalah salah satu yang paling jarang digunakan. Hal inipun ditambah lagi dengan faktor kurangnya praktek maupun latihan dalam menggunakan bentuk ini di luar pembelajaran di dalam kelas. Sehingga pada semester berikutnya, saat materi yang sudah dipelajari tidak diulangi atau jarang digunakan, mahasiswa pun cenderung melupakan materi tersebut.
  5. Dalam wawancara disebutkan, bentuk V-te oku maupun V-te shimau adalah bentuk yang oleh mahasiswa masih banyak diingat dan dipahami fungsinya, karena paling sering didapati dalam media-media berbahasa Jepang lainnya seperti Manga, Anime, lagu-lagu Jepang, Drama, dan lain-lain. Dengan demikian, kesalahan yang dibuat responden dalam mengerjakan soal-soal test yang diberikan dapat dikategorikan sebagai “error”.

 

 

 

Daftar Pustaka

Alwasilah, Chaedar 2008. Pokoknya Kualitatif. Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif.

Emilia, Emi 2009. Menulis Tesis dan Desertasi. Alfabeta, cv.

Erizal 2005. Analisis Kesalahan Gramatikal Dalam Karangan Bahasa Jepang Mahasiswa STBA Harapan Medan. Tesis. Universitas Sumatera Utara.

工藤、真由美 1995.アスペクト・テンス体系とテクスト。ひつじ書房

http://file.upi.edu/Direktori/DUAL-MODES/PEMBINAAN_BAHASA_INDONESIA_SEBAGAI_BAHASA_KEDUA/10_BBM_8.pdf

http://thohir.sunan-ampel.ac.id/2012/04/23/analisis-kesalahan-berbahasa/

功雄, 庵 ; 松岡 弘; 中西 久実子; 山田 敏弘; 高梨 信乃2004  初級を教える人のための日本語文法ハンドブック, スリーエー・ネットワーク

Makino, Seiichi;Tsutsui, Michio 1999 A Dictionary of Basic Japanese Grammar. 日本語基本文法辞典

Minna no Nihongo IIV-terjemahan dan Keterangan Tatabahasa, 3A Corporation-PT Pustaka Lintas Budaya, 2001.

Moriyama, Takurou 2000. ここからはじまる日本語文法。ひつじ書房

Nitta, Yoshio 2003. 現代日本語文法3

Sutedi, Dedi.  2011.  Dasar-Dasar Linguistik Bahasa Jepang.  Bandung: Humaniora.

Teramura, Sunakawa.(2003) 日本語文法セルフ・マスターズシリーズ2・する・した。している。

Tarigan, Henry Guntur . (1988). Pengajaran  Analisis Kesalahan  Berbahasa. Bandung  : Angkasa.

Universitas Pendidikan Indonesia. 2013初級文法2.

ANALISIS KESALAHAN MAHASISWA DALAM MENGGUNAKAN MODALITAS INTENSIONAL

(Penelitian Terhadap Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia jurusan Pendidikan Bahasa Jepang Tingkat III Tahun Akademik 2010 – 2011)

Sigit Kurniawan

Abstrak

Pembelajaran bahasa kedua kerap kali melahirkan banyak kesalahan dalam penggunaan bahasa tersebut disebabkan interferensi bahasa ibu. Penelitian  ini bertujuan untuk menjawab permasalahan mengenai kesalahan penggunaan modalitas intensional pada mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia Jurusan pendidikan bahasa Jepang tingkat III tahun kademik 2010 – 2011. Jenis kesalahan apa saja yang muncul, serta apa yang menjadi penyebab munculnya kesalahan, serta  upaya apa yang bisa dilakukan  agar kesalahan serupa tidak terjadi di masa yang akan datang.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif  menggunakan 2 instrumen penelitian yaitu tes tulis dan wawancar. Tes tulis digunakan untuk mengetahui tingkat kemampuan dan kesalahan dalam menggunakan modalitas intensional, sedangkan wawancara dilakukan untuk mengetahui penyebab kesalhan tersebut. Berdasarkan hasil pengolahan data, tingkat kemampuan atau penguasaan modalitas intensional mahasiswa yaitu P = 65,93 %, tingkat kesalahan yaitu Tk = 37,07 %. Tingkat kesalahan penggunaan modalitas intensional meliputi  pemilihan partikel, konjugasi, pemilihan kosa kata, penyepadanan kata dalam soal menterjemahkan. Penyebab terjadinya kesalahan tersebut adalah 1)  kesalahan pengungkapan (expressive errors), 2) Kesalahan kelompok (errors of groups), 3) Kesalahan transfer (Transfer Error)) .Di samping itu, terdapat  kesalahan yang terjadi akibat kurangnya pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa Jepang dan kesalahan performansi.

Kata kunci: analisis, kesalahan, modalitas

         

  1. Pendahuluan

Bahasa Indonesia memiliki perbedaan yang sangat jelas dengan bahasa Jepang, baik dari kosakata, huruf, pelafalan, struktur kalimat dan lain-lain, sehingga hal ini menjadi faktor yang yang mempersulit pembelajar bahasa Jepang. Salah satu diantaranya adalah modalitas. Menurut Nitta ( 1991: 18 ), modalitas adalah cara pandang terhadap keadaan tertentu ,dan ungkapan tata bahasa berdasarkan sikap si penutur dalam berkomunikasi.  Sikap si penutur ini dapat berupa pernyataan, kemampuan, kemungkinan, keinginan, atau keizinan. Keempat sikap ini termasuk dalam jenis-jenis modalitas.

Menurut Alwi (1990, 36), modalitas dalam bahasa Indonesia terbagi atas empat jenis, yaitu :

  1. Modalitas intensional

Modalitas intensional adalah modalitas yang menyatakan keinginan, harapan, permintaan dan ajakan.

Contoh :

  • Nenek ingin naik haji. (Alwi, 38)
  • Saya mengharapkan dia selamat. (Alwi, 58)
  • Marilah kita pergi.                               (Alwi, 67)
  • Saya minta kepadamu untuk membaca buku ini. (Alwi, 72)
  1. Modalitas epistemik

Modalitas epistemik adalah modalitas yang menyatakan kemungkinan, kepastian, dan keharusan.

  1. Modalitas deontik

Modalitas deontik adalah modalitas menyatakan keizinan.

  1. Modalitas dinamik

Modalitas dinamik adalah modalitas yang menyatakan kemampuan.

Contoh kalimat (1), (2), (3), (4) merupakan contoh modalitas intensional yang menyatakan, keinginan, harapan, ajakan dan permintaan. Modalitas intensional pada kalimat (1), diungkapkan dalam bentuk leksikal ingin,  pada kalimat (2) dingkapkan dalam bentuk leksikal mengharapkan, pada kalimat (3) diungkapkan dalam bentuk leksikal marilah, dan pada kalimat (4) diungkapkan dalam bentuk leksikal marilah.

Masuoka dalam Sutedi (2003:93) menggolongkan modalitas bahasa Jepang ke dalam 10 jenis, yaitu: kakugen (確言), meirei (命令), kinshi-kyoka (禁止許可), irai (依頼), toui (当為), ishi-moushide-kanyuu (意思申し出勧誘), ganbou (願望), gaigen  (概言), setsumei (説明), dan hikyou (比況). Berikut ini contoh modalitas intensional yang menyatakan keinginan :

  1. ~kata benda がほしいです。

Contoh :

(5)新しい服が欲しいです。                                  (Yuriko, 526)

Saya ingin baju baru

  1. ~kata bendaがたいです。

(6)なにか冷たいものが飲みたいです。                (Yuriko, 180)

Saya ingin minum sesuatu yang dingin.

  1. ~てほしいです。

(7)この展覧会には、たくさんの人に来て欲しい。(Yuriko, 526)

Saya ingin banyak orang dating ke pameran ini.

Berikut ini contoh modalitas intensional yang menyatakan ajakan :

(8)夏休みには海に行こう。(Yuriko, 609)

Mari kita pergi ke laut pada saat liburan musim panas.

(9)一緒に神戸へ行きませんか。

maukah pergi ke Kobe bersama-sama

Dalam bahasa Jepang, modalitas termasuk kategori gramatikal (bunpou kategori). Pengertian modalitas dalam bahasa Jepang pada umumnya sama dengan bahasa Indonesia yaitu keterangan dalam kalimat yang digunakan pembicara dalam menyatakan sikap terhadap sesuatu kepada lawan bicaranya. Salah satu bahasan dalam bahasa Jepang yang menarik untuk dikaji menurut penulis adalah modalitas intensional. Karena cakupan madalitas intensional, jika dipadankan dalam kategorisasi dengan modalitas bahasa Jepang menurut Masuoka mencakup,ganbou, ishi-moushide-kanyuu. Selain itu modalitas ini sering digunakan dalam kalimat bahasa Jepang, serta masih banyak pembelajar bahasa Jepang yang belum paham tentang makna dan penggunaan modalitas tersebut. Oleh karenai itu, penulis membuat penelitian dengan judul, Analisis Kesalahan Mahasiswa dalam Menggunakan Modalitas Intensional.

  1. Tinjauan Pustaka
  2. Pengertian Analisis kesalahan

Menurut Pateda (1989 : 31) analisis kesalahan adalah suatu teknik untuk mengidentifikasi, mengklasifikasikan, menginterpretasikan secara sistematis kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh peserta didik yang sedang belajar bahasa asing atau bahasa kedua dengan menggunakan teori-teori dan prosedur-prosedur berdasarkan linguistik. Menurut Pateda (1989:32) tugas seorang guru adalah menilai kompetensi bahasa peserta didik yang muncul dalam performansinya. Ketika guru menemukan kesalahan, kesalahan tersebut dianalisis dengan cara mengkategorisasikannya, menentukan sifat, jenis dan daerah kesalahan. Kesalahan biasanya ditentukan berdasarkan keberterimaan.

Tarigan (1988 : 68) mendefinisikan analisis kesalahan berbahasa sebagai suatu prosedur kerja yang biasa digunakan oleh para peneliti dan guru bahasa, yang meliputi pengumpulan sampel, penjelasan kesalahan, pengklasifikasian kesalahan berdasarkan penyebabnya, serta pengevaluasian atau penilaian taraf keseriusan kesalahan tersebut.

Selanjutnya Kridalaksana  dalam  Nahadi  (1995: 230)  mengemukakan bahwa yang dimaksud analisis kesalahan berbahasa adalah teknik untuk mengukur kemajuan belajar bahasa dengan mencatat dan mengklasifikasikan kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh seseorang atau kelompok.

  1. Ruang Lingkup Analisis Kesalahan

Menurut Pateda (1990:34) analisi kesalahan meliputi :

  1. fonologi ; misalanya menganalisis kesalahan yang berhubungan dengan pelafalan,

grafemik, pungtuasi dan silabisasi

  1. morfologi ; misalnya menganalisis kesalahan yang berhubungan dengan morfem, kata dan segala derivasinya.
  2. Sintaksis ; misalnya menganalisis kesalahan yang berhubungan dengan urutan kata, koherensi, logika kalimat.
  3. Semantik ; misalnya menganalisis kesalahan yang berhubungan dengan ketepatan penggunaan kata atau kalimat yang didukung oleh makna, baik makna leksikal maupun makna gramatikal.
  1. Batasan Analisi Kesalahan

Pateda (1989, 32) mengatakan bahwa kesalahan ditentukan berdasarkan keberterimaan. Artinya apakah suatu ujaran berterima atau tidak bagi penutur asli.

Batasan Analisis Kesalahan

  1. Kesalahan global, kesalahan yang menggangu komunikasi atau yang mengacaukan pemahaman suatu pesan. Kesalahan-kesalahan ini, mendapat prioritas pertama untuk dikoreksi.Kesalahan yang sering terjadi, yang mempunyai frekuensi yang tinggi pun harus diberi prioritas utama untuk diperbaiki atau dikoreksi.
  2. Kesalahan yang mengakibatkan salah paham, yang mengakibatkan timbulnya reaksi-reaksi yang tidak menguntungkan , merupakan kesalahan-kesaalhan paling umum, yang paling pertama dikoreksi.
  3. Jenis dan Ketegori Kesalahan

Pateda (1990, 39) membagi jenis kesalahan menjadi 12, diantaranya :

  1. Kesalahan acuan (referential errors)

Kesalahan acuan berkaitan dengan realitas realisasi benda, proses atau peristiwa yang tidak sesuai dengan acuan yang dikehendaki pembicara atau penulis.

  1. Kesalahan register (register errors)

Kesalahan register berhubungan dengan variasi bahasa yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang. Dengan demikian kesalahan register adalah kesalahan yang berhubungan dengan bidang pekerjaan seseorang.

  1. Kesalahan sosial (sosial errors)

Kesalahan sosial merupakan kesalahan memilih kata/ diksi yang dikaitkan dengan status sosial orang yang diajak berbicara.

  1. Kesalahan tekstual (textual errors)

Kesalahan tekstual mengacu pada  jenis kesalahan yang disebabkan oleh tafsiran yang keliru terhadap kalimat atau wacana yang kita dengar atau kita baca.

  1. Kesalahan penerimaan (receptive errors)

Kesalahan penerimaan berhubungan dengan keterampilan menyimak dan membaca.

  1. Kesalahan pengungkapan (expressive errors)

Kesalahan pengungkapan berkaitan dengan pembicara. Pembicara atau penulis salah mengungkapkan atau menyampaikan apa yang dipikirkannya, yang dirasakannya atau yang diinginkannya.

  1. Kesalahan perorangan (errors og individuals)

Kesalahan perorangan adalah kesalahan yang dilakukan oleh seseorang diantara teman-temannya sekelas. Misalnya, semua siswa menulis huruf capital di awal kalimat, dan hanya seorang yang tidak. Memperbaiki kesalahan perorangan tentu bersifat perorangan pula.

  1. Kesalahan kelompok (errors of groups)

Memahami kesalahan kelompok hanya berarti apabila kelompok itu homogen, misalnya mempunyai bahasa ibu yang sama, latar belakang yang sama, baik intelektual ataupun sosial. Kesalahan kelompok terjadi apabila ada kesalahan yang dilakukan berulang-ulang oleh kelompk atau banyak orang. Dikarenakan sifatnya kelompok, maka memperbaikinya juga harus secara kelompok dan memerlukan waktu yang lama.

  1. Kesalahan Menganologi (errors of overgeneralization)

Kesalahan menganologi adalah jenis kesalahan peserta didik yang menguasai suatu bentuk bahasa yang dipelajari lalu menerapkannya  dalam konteks, padahal bentuk itu tidak dapat diterapkan.

  1. Kesalahan Transfer (transfer errors)

Kesalahan transfer terjadi apabila kebiasaan-kebiasaan pada bahasa pertama diterapkan pada bahasa yang dipelajari. Apabila sistem bahasa pertama mirip dengan bahasa kedua disebut facilitation atau transfer positif (interlingual) dan apabila transfer yang disebabkan oleh sistem bahasa yang berbeda disebut interferensi atau interlingual.

  1. Kesalahan Guru (teaching-induced)

Kesalahan guru sebenarnya berhubungan dengan teknik dan metode pengajaran yang dilakukan guru di dalam kelas. Kesalahan guru adalah kesalahan yang dilakukan peserta didik karena metode atau bahan yang diajarkan salah.

  1. Kesalahan Lokal (local errors)

Kesalahan lokal adalah kesalahan yang tidak menghambat komunikasi yang pesannya diungkapkan dalam sebuah kalimat.

  1. Kesalahan Global (global error)

Kesalahan global adalah kesalahan karena efek makna seluruh kalimat. Kesalahan jenis ini menyebabkan pendengar atau pembaca salah mengerti suatu pesan atau menganggap bahwa suatu kalimat tidak dapat dimengerti.

  1. Modalitas

Lyons dalam alwi (1990, 10) menyatakan modalitas sebagai sikap pembicara yang dilandasi oleh perangkat prinsip yang berupa kaidah rasional kaidah sosial, ataupun hukum alam. Sikap itu dinyatakan tidak secara gramatikal, tetapi secara leksikal. Lyons membagi modalitas atas 2 jenis saja epistemik dan deontik. Contoh “John may absent”. Menurut Lyons modalitas ini dapat berupa epistemic atau deontik. Jadi dapat diinterpretasikan sebagai “John mungkin absen” (epistemik) atau John boleh/diizinkan absen (deontik).

Menurut Sutedi (2004, 93) modalitas merupakan kategori gramatikal yang digunakan pembicara dalam menyatakan suatu sikap terhadap sesuatu kepada lawan bicaranya, seperti dengan menginformasikan, menyuruh, melarang, meminta dan sebagainya dalam kegiatan berkomunikasi. Kato (1989, 113), menjelaskan bahwa modalitas atau modus merupakan bentuk gramatikal yang digunakan untuk menyampaikan seuatu kepada lawan bicara dengan meperhatikan faktor psikologis , pertimbangan, keinginan, perkiraan/dugaan, kesimpulan si pembicara.

Masuoka dalam Dedi Sutedi (2003:93) menggolongkan modalitas bahasa jepang ke dalam 10 jenis, yaitu: kakugen (確言), meirei (命令), kinshi-kyoka (禁止許可), irai (依頼), toui (当為), ishi-moushide-kanyuu (意思申し出勧誘), ganbou (願望), gaigen  (概言), setsumei (説明), dan hikyou (比況).

  1. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang dilakukan untuk menggambarkan, menjabarkan suatu fenomena yang terjadi saat ini dengan menggunakan prosedur ilmiah untuk menjawab masalah secara actual (Sutedi, 2009 :58). Sifat dari penelitian deskriptif yaitu menjabarkan, memotret segala permasalahan yanbg dijadikan pusat perhatian peneliti, kemudian dibeberkan apa adanya. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa dari dipilihnya metode ini, bertujuan untuk menggambarkan suatu fenomena actual yang ada di dalam lingkungan bahasa Jepang.  Masalah aktual yang menjadi subjek penelitian ini adalah kesalahan mahasiswa tingkat III Jurusan Pendidikan Bahasa Jepang Universitas Pendidikan Indonesia dalam menggunakan modalitas intensional, sehingga dengan menggunakan metode ini peneliti akan menggambarkan dan menjabarkan kemampuan penguasaaan mahasiswa dalam menggunakan modalitas intensional serta kesalahan apa saja yang dilakukan oleh mahasiswa dalam menggunakan modalitas intensional serta apa yang menjadi solusinya.

Sumber data dalam penelitian ini berupa tes tulis yang bersumber dari buku teks yang digunakan di jurusan pendidikan bahasa Jepang.

Adapun instrumen penelitian ini adalah   pedoman wawancara untuk mengetahui penyebab kesalahan berbahasa yang dilakukan oleh siswa. .

Langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis data adalah sebagai berikut:

  1. Mengumpulkan data
  2. Mengidentifikasi kesalahan
  3. Menjelaskan kesalahan
  4. Mengklasifikasikan kesalahan
  5. Menyimpulkan
  1. Hasil dan Pembahasan

Untuk mengukur kemampuan mahasiswa dalam menggunakan modalitas intensional, diberikan tes mengenai modalitas intensional yang terdiri dari 30 soal, yang terdiri menjadi 3 bagianyaitu ;

Bagian 1 adalah soal yang mengukur kemampuan mahasiswa dalam menggunakan modalitas intensional sesuai konteknya,

Bagian 2 adalah soal yang mengukur kemampuan menerjemehkan kalimat modalitas intensional bahasa Jepang ke dalam bahasa  Indonesia,

Bagian 3 adalah soal yang mengukur kemampuan menerjemahkan kalimat modalitas intensional bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jepang.

Dari 30 soal yang diujikan, penulis telah menerima 870 butir jawaban dan dari semua jawaban tersebut terdapat 294 kesalahan. Berdsarakan hasil tes tersebut kemudian dilakukan pengolahan data sebagai berikut :

  1. Membuat distribusi nilai tes

Table D.1 Distribusi Nilai Tes

No NIM I II III TOTAL
1 1002137 14 28 24 66 B
2 1002602 16 32 24 72 B
3 1002604 14 20 12 46 D
4 1002605 20 36 24 80 A
5 1002614 12 36 32 80 A
6 1002624 4 24 32 60 C
7 1002628 8 24 14 46 D
8 1002647 12 32 16 60 C
9 1002673 10 28 28 66 C
10 1002676 18 32 32 82 A
11 1002682 16 32 32 80 A
12 1002703 8 24 24 56 C
13 1002708 20 32 20 72 B
14 1002721 14 32 24 70 B
15 1002724 14 28 24 66 B
16 1002741 6 28 32 66 B
17 1002745 8 28 24 60 C
18 1002751 14 28 24 66 B
19 1002769 14 36 24 74 B
20 1002778 12 28 12 52 D
21 1002783 12 32 16 60 C
22 1002789 2 36 20 58 C
23 1002798 4 28 20 52 D
24 1003136 12 40 34 86 A
25 1003142 6 32 8 46 D
26 1003154 20 36 36 92 A
27 1003168 14 32 16 62 C
28 1003240 12 20 20 52 D
29 1004883 20 36 28 84 A
JUMLAH (Σ) 1912

 

Kolom I, II, III adalah hasil skor responden pada pertanyaan bagian I,II, III. Seperti yang telah diuraikan pada Bab III, skor total untuk bagian pertama (I) adalah dua puluh (20), untuk bagian kedua (II) adalah empat puluh (40), sedangkan bagian ketiga adalah 40.

  1. Menghitung tingkat kemampuan penggunaan modalitas intensional dengan rumus :

P =    ΣR         x 100%

S x 100

P =    1912      x 100%

29 x 100

P =    1912        x 100%

2900

P =  65,93%

  1. Menghitung tingkat kesalahan penggunaan modalitas intensional dengan rumus :

Tk = 100% – P

Tk = 100% – 65,93%

= 34,07%

  1. Menghitung nilai rata-rata (mean) tes, dengan rumus :

M =    Σ fX

N

Tabel D.2 Distribusi Frekuensi Nilai Tes

Rentang X F fX
91 – 95

86 – 90

81 – 85

76 – 80

71 – 75

66 – 70

61 – 65

56 – 60

51 – 55

46 – 50

92

86

82

80

74

72

70

66

62

60

58

52

46

1

2

1

3

1

2

1

5

1

4

2

3

3

92

172

82

240

74

144

70

330

62

240

116

156

138

                      Total (Σ) 29 1916

M = 1916

29

= 66,1

Dari hasil perhitungan di atas, dapat disimpulkan bahwa tingkat kemampuan mahasiswa tingkat III Program Studi Pendidikan Bahasa Jepang Universitas Pendidikan Indonesia dalam menggunakan modalitas intensional adalah 65,93% dan berdasarkan pada standar nilai tes pada table 3.1 maka penggunaan modalitas intensional oleh responden termasuk kategori baik (B). Sedangkan rata-rata (mean) dari hasil tes yang dilaksanakan responden adalah 66,1, yang menunjukkan gambaran kemampuan responden dalam menggunakan modalitas intensional.

Hal ini juga terbukti pada hasil masing-masing responden dalam mengerjakan tes. Sesuai dengan standar nilai tes pada table 3.1, diketahui kemampuan responden tingkat III Program Studi Pendidikan Bahasa Jepang UPI dalam menggunakan modalitas intensional yang dikategorikan menjadi lima yaitu baik sekali (A), baik (B), cukup (C), kurang (D) dan gagal (E).

Dari seluruh responden yang mengikuti tes didapatakan hasil sebagai berikut : kemampuan responden tergolong sangat baik (A) dijumpai sebanyak tujuh dari 29 orang responden (24%), kemampuan tergolong baik (B) sebanyak delapan dari 29 orang responden (27,5%), untuk kemampuan yang termasuk kategori cukup (C) sebanyak delapan orang (27,5%) dan responden dengan kategori kurang (D) terdapat 6 orang (25%), sedangkan responden yang mempunyai kemampuan tergolong gagal (E) tidak dijumpai.

Dari data yang diperoleh maka ada beberapa penyebab atau pemicu kesalahan responden dalam menggunakan modalitas intensional. Kami akan mengelompokkan jenis kesalahan yang muncul berdasarkan teori Pateda (1989, 39)  diantaranya :

  1. Kesalahan pengungkapan (expressive errors)

Salah satu pemicu kesalahan yang muncul yaitu karena salah menyampaikan apa yang dipikirkan, diantaranya :

  1. Responden melakukan kesalahan dalam mengubah kata kerja bentuk kamus menjadi bentuk –MASU dan –TE IMASU. Contohnya :

(10) よろしければ、取ってくりれますか

Pada soal ini responden melakukan kesalahan mengubah bentuk kamus TOTTEKURERU ke dalam bentuk –MASU. Namun, hal ini hanya dilakukan oleh 1 orang responden saja, diakibatkan ketidakhati-hatiannya atau disebut mistake.

  1. Responden melakukan kesalahan dalam mengubah kata kerja bentuk kamus menjadi bentuk keinginan –TAGARU.

(11) でも、若者は公務員になりがっています。                       (1002614)

Seharusnya : なりたがっています

(12)  全日本語学習者も電子辞書を買いがっています。     (1003142)

Seharusnya :買いたがっています。

Kalimat nomor 11 dan 12 merupakan kesalahan yang muncul akibat ketergesa-gesa

dalam mengubah bentuk kamus ke bentuk keinginan, sehingga tidak sesuai apa yang

dipikirkan dengan yang ditulis.

  1. Kesalahan kelompok (errors of groups)

Kesalahan kelompok yang dilakukan oleh responden adalah mengubah bentuk keinginan  sesuai subjek yang ada. Sebanyak 60 % responden melakukan kesalahan tersebut, dikarenakan latarbelakang pendidikan sama, dosen yang mengajar dan buku ajar juga sama, sehingga kesalahan kelompok ini sangat mungkin terjadi. Mereka tidak dapat mengubah kata kerja bentuk keinginan untuk orang kedua dan ketiga, responden melakukan generalisasi yaitu menggunakan HOSHII dan –TAI. Ketika ditanyakan alasan pemicunya, diketahui bahwa kurangnya penekanan dalam pengajaran mengenai hal ini.

Kesalahan lain yang dilakukan oleh 30% responden yaitu pada soala nomor 6 bagian 2 yaitu 主人に家事を手伝ってほしい.  Responden menganggap HOSHII dalam kalimat ini sama maknanya dengan HOSHII pada bagian 1. Padahal sangat jelas kalimat ini memilki makna yang berbeda. Responden mengaku lupa atau mistake, karena jarang digunakan. Secara kelompok pula bagian 3 soal menterjemahkan  bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jepan menyulitkan 70 % responden. Mereka memandang lebih mudah menterjemahkan bahasa Jepang ke dalam bahasa Indonesia.

  1. Kesalahan Transfer (transfer errors)

Kesalahan transfer adalah kesalahan yang paling banyak terjadi akibat pengaruh bahasa ibu/ interferensi bahasa ibu. Kesalahan ini banyak terlihat pada soal bagian 3. Pada saat responden tidak dapat menterjemahkan sesuai soal, maka mereka akan menterjemahkan sesuai referensi yang dimilikinya. Referensi tersebut meliputi bahasa ibu, tatabahasa lain yang dipelajari.  Berikut kesalahan-kesalahan yang muncul :

(13) . 合格が欲しかったら、一生懸命に勉強しなければなりません。        (1003154)

Soal : Kalau ingin lulus ujian, kamu harus belajar keras.

Jawaban : 合格したいなら、一生懸命勉強しなければなりません。

Kalimat di atas responden kesulitan untuk mentransfer kalimat “kalau ingin lulus”. Responden bahawa kata GOUKAKU adalah verba nominal, yaitu nomina yang diverbakan dengan menambahkan SURU, sehingga menajadi GOUKAKU SURU.

(14)  STUDY TOURへ行きたくない学生のため、先生に教えてください。(1002605)

Soal : Bagi siswa yang tidak ingin ikut study tour, silakan lapor ke bapak guru.

Jawaban : 旅行に参加しない人は先生にご連絡ください/連絡してください。

Pada kalimat ini responden kesulitan menterjemahkan kata study tour, kalimat “bagi siswa yang tidak ingin ikut…” dan lapor ke bapak guru. Responden tidak mengubah kata study tour, tetapi menggunakan apa adanya. Kalimat berikutnya dia ubah ke dalam bentuk keinginan, padahal tidak perlu. Kata kerjayang digunakan bukan IKU tetapi SANKA SURU. Kalimat terakhir, kata lapor bisa saja menggunakan kata OSHIERU, tetapi lebih tepat menggunakan kata RENRAKU, meski dalam bahasa Indonesianya lapor.

(15) トニさんが忘れ物を持ってくれた。                                                          (1002751)

Soal :Toni membawakan barang saya yang ketinggalan di kereta.

Jawaban : トニさんは(私の)忘れ物を持って来てくれました

Banyak responden lupa untuk mencari padanan kata barang ketinggalan dam membawakan dalam kontek kalimat ini. Responden di atas menggunakan kata MOTTEKURETA untuk mengganti kata membawakan, padahal maknanya adalah membawakan barang dari tempat lain yang jauh dari yang kehilangan, dan menyerahkannya ke tempatnya sekarang, sehingga kata yang tepat untuk menggambarkan makana tersebut adalah MOTTEKITEKURERU.

(16)  皆、今病院へANDIさんを見ましょう。                                                 (1002778)

Soal : Teman-teman yuk kita menengok Andi ke rumah sakit sekarang.

Jawaban : みなさん、病院へアンデイさんをお見舞いしましょう。

Pilihan katanya sudah tidak tepat untuk menerjemahkan kata menengok. Responden menggantinya dengan MIRU sebagai referensi yang ada. Dengan demikian makanya jadi berbeda.

Demikian penyebab kesalahan yang dilakukan responden berdasarkan teori Pateda. Pemicu kesalahan tersebut perlu diatasi agar tidak terjadi di hari yang akan datang. Dari data dan analisa di atas bisa disimpulkan bahwa kesalahan yang dilakukan responden adalah termasuk error dan mistake, sudah menguasai materi namun kurang fokus dan masih bisa diperbaiki.

Secara teoritis kita ketahui bahwa untuk meminimalisir kesalahan error yang disebabkan kurangnya kompetensi adalah dengan mengadakan remedial dan latihan intensif dengan bantuan bimbingan dari pengajar. Pengajaran remedial dan latihan intensif tersebut harus mencakup penjelasan serta latihan mengenai berbagai macam makna modalitas intensional dan strukturnya, cara memilih partikel yang tepat, serta meningkatkan pemahaman konjugasi. Latihan dan bimbingan dalam memahami makna dan membuat kalimat dalam bahasa Jepang terkhusus kalimat yang berunsur modalitas intensional mutlak diperlukan, karena untuk membuat kalimat yang natural diperlukan kemampuan secara gramatikal. Namun semua itu dirasa tidak cukup apabila tidak ada motivasi dari responden untuk mempertahankan pemahaman yang telah didapatkannya. Hal yang dapat dilakukan diantaranya adalah lebih mengaplikasikan berbagai makan modalitas intensional disaat membuat kalimat dan lebih banyak membaca teks yang berbahasa Jepang di luar buku teks utama, karena dengan hal tersebut responden akan mempunyai potensi untuk menemukan berbagai macam makna modalitas intensional. Hal ini berfungsi untuk mempertahankan pemahaman materi yang telah didapat agar tidak menurun, selain itu juga berfungsi untuk latihan pemahaman makna kalimat dan menambah wawasan pengetahuan bahasa Jepang.

  1. PENUTUP

Melalui penelitian ini, permasalahan yang telah dirumuskan dapat terjawab dan penulis merekomendasikan untuk penelitian selanjutnya bisa menganalisi

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan. (1990), Modalitas dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta : Penerbit Kanisius

Arikunto, Suharsimi. (2006), Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta

Isao, Iori. (2001). Atarshii Nihongo Gaku Nyuumon. Jepang : Kogawa

Isao, Iori (2000).Nihongo Bunpo Handobukku. Jepang : Surie

Masuoka, Takashi (2007), Nihongo no Modariti Tankyuu. Jepang : Kuroshio

Nitta, Yoshio. (1999). Nihongo no modariti no ninshou. Jepang : Hitsuji

Nitta, Yoshio, (2003),Gendai Nihongo Bunpo. Jepang :Kuroshio

Pateda, Mansoer.(1989), Analisis Kesalahan. Gorontalo : Penerbit Nusa Indah

Sudaryanto. (1993), Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Jogjakarta : Duta Wacana University

Sutedi, Dedi. (2009), Pengantar Penelitian Pendidikan Bahasa Jepang. Bandung : Bahan Kuliah

Tanaka, Higuchi. (1996). Gengo Gaku Enshuu. Jepang : Daishuukan Shoten

Tarigan, Guntur. (2011), Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa. Bandung : Angkasa

Tim dosen UPI (2011). Shokyu Bunpo 1. Bandung : UPI

Tim dosen UPI (2013). Shokyu Bunpo 2. Bandung UPI

Tim dosen (2013). Shokyu Dokkai 2. Bandung : UPI

Tim dosen (2013). Chukyu Dokkai 2. Bandung. UPI

Tim dosen (2011). Jokyu Dokkai 1. Bandung. UPI

Yuriko dkk (2004). Nihongo Bunkei Jiten. Jepang : Kuroshio

UPAYA MENINGKATKAN KREATIFITAS MENULIS KARANGAN

BAHASA JEPANG MELALUI MODEL PEMBELAJARAN

BERBASIS PROYEK RESPON KREATIF

(Penelitian Tindakan Kelas Terhadap Mahasiswa Tingkat 2 Jurusan Pendidikan Bahasa Jepang Tahun Akademik 2012/2013)

Linna Meilia Rasiban

Abstrak

   Penelitian tindakan kelas ini dilatarbelakangi dari kesulitan mahasiswa dalam mengembangkan ide dalam sebuah karangan. Hal ini diperkuat pada hasil penelitian sebelumnya yaitu pada siklus pertama menyatakan bahwa lebih dari setengah jumlah responden (75%) mengalami kesulitan pada alokasi waktu yang telah ditentukan dalam menulis karangan sehingga karangan belum selesai (Meilia, 2014).  Pada siklus pertama pembelajaran dengan menggunakan teknik Peer Review masih belum dapat dilaksanakan secara maksimal dikarenakan kondisi waktu yang kurang memadai (Meilia, 2014).  Banyak penelitian yang menggunakan teknik ini diantaranya penelitian Amanda (2013) menunjukkan bahwa model pembelajaran PRK signifikan meningkatkan kreatifitas mahasiswa dalam menulis karangan.  Dan penelitian (Thaib, 2012) model proyek respons kreatif efektif bila diterapkan dalam pembelajaran menulis paragraf deskripsi. Oleh karena itu, untuk memperbaiki penelitian sebelumnya dilakukan pembelajaran berbasis Proyek Respon Kreatif (PRK). Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kreatifitas menulis karangan mahasiswa dalam perkuliahan Chuukyuu Sakubun 1 (menulis tingkat menengah). Dari hasil angket didapatkan sebanyak 80% mahasiswa kesulitan mengembangkan ide cerita ke dalam bentuk tulisan utuh.  Faktor kesulitan tersebut dipengaruhi dari kurangnya waktu untuk mengembangkan ide selain dari faktor internal yaitu penguasaan kosa kata, penguasaan struktur pola kalimat.

Penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas siklus kedua yang merupakan perbaikan dari penelitian sebelumnya. Penelitian tindakan kelas ini menitikberatkan pada perbaikan model pembelajaran menulis karangan tingkat menengah (Chuukyuu Sakubun) yang telah dilakukan selama ini. Objek penelitian ini adalah mahasiswa tingkat 2 semester 4 Jurusan Pendidikan Bahasa Jepang FPBS UPI tahun akademik 2012/2013.  Dengan sampel penelitian sebanyak 30 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan model pembelajaran berbasis Proyek Respon Kreatif (PRK) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang  signifikan dari hasil keterampilan menulis karangan bahasa Jepang setelah menggunakan model proyek respon kreatif.

Kata kunci : kreatifitas, menulis, chuukyuu sakubun, proyek respon kreatifitas (PRK)

  1. Pendahuluan

Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa selain dari membaca, mendengar, dan berbicara. Menulis merupakan padanan kata dari mengarang yaitu keseluruhan rangkaian kegiatan seseorang mengungkapkan gagasan dan menyampaikannya melalui bahasa tulis kepada pembaca untuk dipahami” (Gie, 1992:17). Sedangkan menurut Tarigan (dalam Abidin, 2009:98) “Menulis adalah kegiatan produktif dan ekspresif.”

Pembelajaran menulis harus diarahkan kepada kemampuan penguasaan bahasa Jepang secara kreatif dan berfikir logis dalam berbicara dan menulis.  Pembelajaran menulis harus mengajak anak didik untuk menggunakan bahasa dalam segala bentuk dan variasinya. Pembelajaran menulis tidak semata-mata  untuk keterampilan komunikasi saja,  tetapi juga untuk berfikir kreatif dan logis (Amanda, 2013).

Hal inilah yang membuat menulis sulit sekali dikembangkan oleh mahasiswa. Berdasarkan hasil angket yang disebarkan pada responden menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa sebanyak 80% menganggap hal yang paling sulit dalam menulis/mengarang adalah mengembangkan ide cerita menjadi satu cerita utuh.  Diperkuat oleh hasil penelitian pada siklus pertama Meilia (2014) bahwa faktor penyebab sulit dalam menuliskan karangan adalah mengembangkan ide cerita selain kurangnya penguasaan kosa kata dan kurangnya pemahaman dalam pola kalimat.

Sesuai dengan pendapat Hyogyon (2010, hlm.4) bahwa menulis merupakan proses dalam berkomunikasi. Jadi apa yang dituliskan harus dapat berbicara kepada pembacanya.  Dan pembaca dapat menangkap pesan dari penulis. Dengan kata lain, kegiatan menulis adalah proses menulis sambil berpikir untuk menyampaikan sesuatu pesan kepada lawan bicara tanpa mengetahui reaksi lawan bicara (Hyogyon, 2010).

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada siklus pertama perkuliahan Chuukyuu Sakubun (menulis tingkat menengah) pada tingkat 2 semester 4 pun menunjukkan hal yang sama.  Walaupun mahasiswa telah diberi tema kemudian distimulus dengan memberikan latihan pola kalimat yang akan muncul pada karangan/tulisan, lalu diberikan kerangka karangan/berpikir, tetap saja isi tulisan /karangan apabila tidak dipaksakan, tidak bisa berkembang (Meilia, 2014).

Untuk mengatasi hal tersebut, sesuai dengan hal yang disebutkan di atas dibuatlah situasi memaksa mahasiswa untuk menghasilkan sebuah karya tanpa ada perasaan terpaksa, yaitu dengan memberikan pembelajaran berbasis proyek (project-based learning).  Agar kegiatan tersebut dapat berkembang dan terarah perlu adanya kontrol dan evaluasi dari pengajar yaitu dengan memberikan respon berupa evaluasi dan feedback untuk mengembangkan daya kreatifitasnya. Maka lahirlah model pembelajaran Proyek Kreatif Respon (selanjutnya disebut PRK).

Dari hasil observasi pada siklus pertama (Meilia, 2014, hlm.118) apabila kegiatan menulis/mengarang diberikan waktu 40 menit, hanya 30% responden saja yang bisa menyelesaikan satu karangan/tulisan utuh (3 paragraf). Sebagian besar lainnya rata-rata hanya mampu menuliskan 1 paragraf saja.  Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa masih belum mampu dan merasa kesulitan dalam mengembangkan ide cerita ke dalam bentuk karangan/tulisan.

Hal ini sejalan dengan hasil angket yang dihimpun pada siklus kedua masih sama dengan siklus pertama yaitu faktor yang membuat sulit dalam mengembangkan karangan/tulisan adalah 55% menjawab pemilihan dan penguasaan kosa kata, kemudian 35% penguasaan struktur pola kalimat dan 10% kurangnya penguasaan antar koherensi kalimat.

Target yang ingin dicapai pada perkuliahan Chuukyuu Sakubun 1 ini adalah mahasiswa mampu menuliskan sebuah karangan / tulisan berdasarkan tema sehari-hari dengan pola kalimat yang telah dipelajari pada semester sebelumnya dalam tingkat kemampuan bahasa Jepang level menengah.

Dalam proses menulis, khususnya menulis karangan, mahasiswa yang memiliki keterbatasan ide akan merasa kesulitan untuk menulis. Kesulitan yang dialami siswa mencakup kesulitan untuk memunculkan ide awal, merangkai kata dan menghidupkan gagasan dalam sebuah tulisan.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dipaparkan di atas bahwa ada berbagai macam masalah yang dialami oleh mahasiswa dalam menulis karangan, salah satunya adalah sulitnya mendapatkan ide dan mengembangkannya. Oleh karena itu penerapan model proyek respons kreatif digunakan untuk meningkatkan kemampuan menulis karangan bahasa jepang dan mempermudah siswa untuk mengeluarkan ide dan mengembangkannya ke dalam sebuah karangan yang baik.

Pada penelitian ini terdapat masalah pokok yang perlu diidentifikasi dan dirumuskan berkaitan dengan kegiatan menulis dalam bahasa Jepang dengan menerapkan model pembelajaran teknik Peer Review. Pokok permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut,

  • Bagaimana hasil menulis sakubun mahasiswa setelah menggunakan model pembelajaran berbasis Proyek Respon Kreatif (PRK)?
  • Bagaimana pengaruh model pembelajaran berbasis Proyek Respon Kreatif (PRK)?
  • Bagaimana tanggapan mahasiswa terhadap penggunaan model pembelajaran berbasis Proyek Respon Kreatif (PRK) dalam perkuliahan sakubun ?

Adapun batasan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut.

  • Penelitian hanya meneliti keefektivitasan model pembelajaran berbasis Proyek Respon Kreatif (PRK) dalam pengajaran mata kuliah Chuukyuu Sakubun 1,
  • Subjek penelitian adalah mahasiswa tingkat 2 semester 4 JPBJ FPBS UPI kelas C sebanyak 30 orang tahun akademik 2012/2013,
  • Materi yang digunakan dalam kegiatan eksperimen menggunakan tema-tema karangan yang diambil dari buku pegangan yang digunakan pada perkuliahan Chuukyuu Sakubun 1 yang digunakan di Jurusan Pendidikan Bahasa Jepang FPBS UPI.

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

  1. Untuk mengetahui kemampuan menulis mahasiswa sebelum menggunakan model pembelajaran berbasis proyek respon kreatif.
  2. Untuk mengetahui kemampuan menulis mahasiswa sesudah menggunakan model pembelajaran proyek respon kreatif.
  3. Untuk mengetahui pengaruh dari keefektivitasan dari model pembelajaran proyek respon kreatif dalam meningkatkan kreatifitas menulis karangan bahasa Jepang pada mahasiswa tingkat dua.
  4. Untuk mengetahui tanggapan mahasiswa terhadap model pembelajaran proyek respons kreatif dalam meningkatkan kreatifitas menulis karangan bahasa Jepang.

 

  1. Menulis Karangan (Sakubun)

Menulis adalah kegiatan produktif dan ekspresif (Tarigan dalam Abidin, 2009, hlm. 98).  Keterampilan menulis dalam bahasa Jepang dapat digolongkan ke dalam tiga macam (Sutedi, 2009, hlm.1), yaitu:

  • menulis huruf (kana dan kanji)
  • menulis kalimat (bunsaku); dan
  • menulis cerita atau karangan (sakubun)

Kegiatan menulis pada penelitian ini difokuskan pada kegiatan menulis karangan (sakubun) sehingga sampel penelitian melakukan kegiatan mengarang dalam setiap treatment dengan tema dan jenis karangan yang bervariasi.

Menurut Akhadiah, dkk (1988:2) tahapan-tahapan dalam menulis dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

– Tahap pra penulisan yang meliputi penentuan topik penulisan, pembatasan topik, menentukan tujuan penulisan, menentukan bahan atau materi penulisan, menyusun kerangka karangan.

–  Tahap penulisan yang meliputi memilih kata-kata yang dapat dirangkai menjadi kalimat-kalimat yang efektif. Kemudian kalimat-kalimat tersebut harus disusun menjadi paragraf-paragraf yang memenuhi persyaratan. Selain itu ejaan dan tanda baca dalam penulisan pun perlu diperhatikan.

– Tahap revisi yang dilakukan dengan cara meneliti secara keseluruhan mengenai logika, sistematika, ejaan, tanda baca, pilihan kata, kalimat, paragraf, dan lain-lain.

Dalam pendekatan proses lebih ditekankan kepada bagaimana responden menuangkan gagasan menjadi sebuah tulisan. Setelah mendapat feedback dari guru dan teman berupa coretan-coretan perbaikan, responden menulis dan memperbaiki kembali hasil tulisannya itu. Begitu seterusnya sampai tulisan itu layak dianggap sebagai tulisan (Alwasilah, 2005:44).

Model pembelajaran yang menjadi objek penelitian ini merupakan pusat strategi pembelajaran, dimana siswa belajar konsep utama dari suatu pengetahuan melalui kerja proyek. Oleh karena itu, kerja proyek bukan merupakan praktik tambahan dan aplikasi praktis dari konsep yang sedang dipelajari, melainkan menjadi sentral kegiatan pembelajaran di kelas. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran akan dapat dilaksanakan secara optimal. Dalam  pembelajaran berbasis proyek, proyek adalah strategi pembelajaran; siswa mengalami dan  belajar konsep-konsep inti suatu disiplin ilmu melalui proyek.

  1. Metode dan Desain Penelitian

Pada penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian tindakan kelas.  Penelitian Tindakan Kelas merupakan penelitian yang permasalahannya dari konteks kelas (Susanto, 2002:7).  Alasan peneliti menggunakan metode ini karena penelitian ini merupakan perbaikan dan lanjutan dari penelitian sebelumnya yaitu penelitian pada mata kuliah Chuukyuu Sakubun 1.  Mata kuliah ini adalah perkuliahan yang diampu oleh peneliti.

Objek dalam penelitian ini menggunakan kelas yang diambil dari mahasiswa yang sedang mengambil mata kuliah Chuukyuu Sakubun 1 yaitu mahasiswa tingkat 2 semester 4 Jurusan Pendidikan Bahasa Jepang FPBS UPI tahun akademik 2012/2013.  Dengan sampel penelitian yaitu kelas C sebanyak 30 orang.

Kegiatan penelitian ini berlangsung mulai dari bulan Desember 2013 hingga bulan Januari 2014, dengan mengambil 4 kali pertemuan. Penelitian ini merupakan siklus kedua dari roadmap penelitian mata kuliah Chuukyuu Sakubun (Menulis tingkat menengah). Data penelitian yang dihimpun berupa nilai tes melalui pre-test dan post-test, nilai tugas, hasil angket dan hasil wawancara dengan mahasiswa mengenai respon pembelajaran Chuukyuu Sakubun dengan model pembelajaran berbasis PRK. Instrumen pada penelitian ini adalah menggunakan lembar kerja (Work Sheet) yang digunakan untuk menuliskan karya tulisan dalam setiap pertemuan.

Penelitian ini adalah penelitian tindakan  kelas, maka desain penelitian dapat digambarkan  sebagai berikut,

Hasil Penelitian Siklus #1

Tidak memuaskan

Gambar 1.  Desain Penelitian

LAPORAN
Siklus #2
Hasil Memuaskan ?M,
Refleksi setelah Observasi
Implementasi, Observasi, dan  Refleksi di lapangan

 

                                                                                                                      YA

·  Menggabungkan  data hasil pengamatan

·  Menganalisis data

·  Menginterpretasikan hasil

·  Membahas hasi

·  Membuat simpulan

 

Pre-test
Pert.1
Pert.2
Pert.3
Perencanaan

 

 

Siklus #3

                                                                                                                 TIDAK

Pert.4
Post-test

 

(Susanto, 2010, hlm.10)

  1. Model Pembelajaran Proyek Respon Kreatif (PRK)

Pembelajaran berbasis proyek atau tugas adalah metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam pengumpulan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktivitas secara nyata (Widyatun, 2012). Pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) membutuhkan suatu pendekatan pengajaran komprehensif di mana lingkungan belajar siswa didesain agar pembelajar dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah-masalah autentik termasuk pendalaman materi dari suatu tema karangan, dan melaksanakan tugaskarangannya. Pendekatan ini memperkenankan siswa untuk bekerja secara mandiri dalam mengkostruksikannya dalam produk nyata.

Dalam pembelajaran berbasis PRK ini mahasiswa diberikan tugas tugas atau proyek yang kompleks, cukup sulit, lengkap dalam menyusun suatu karangan tetapi dapat terukur dan dapat dievaluasi kemudian diberikan bantuan secukupnya agar mereka dapat menyelesaikan tugas. Pendek kata, bentuk hasil kerjanya hampir mirip semacam porto folio. Di samping itu, penerapan strategi pembelajaran berbasis proyek ini mendorong tumbuhnya kompetensi seperti kreativitas, kemandirian, tanggung jawab, kepercayaan diri, dan berpikir kritis dan analitis.

Dalam blognya Widyatun (2012) menyatakan bahwa konteks pembaruan di bidang teknologi pembelajaran, Pembelajaran Berbasis Proyek dapat dipandang sebagai pendekatan penciptaan lingkungan belajar yang dapat mendorong pebelajar mengkonstruk pengetahuan dan keterampilan melalui pengalaman langsung. Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek dibangun berdasarkan ide-ide pembelajar sebagai bentuk alternatif pemecahan masalah riil tertentu, dan pembelajar mengalami proses belajar pemecahan masalah itu secara langsung.

Peranan pengajar yang utama adalah sebagai fasilitator yaitu mengendalikan ide-ide dan interpretasi mahasiswa dalam belajar, dan memberikan alternatif-alternatif melalui aplikasi, bukti-bukti, dan argumen-argumen yang dituangkan dalam suatu karangan utuh.

Menurut Buck Institute For Education (1999) dalam Widyatun (2012) karakteristik pembelajaran berbasis proyek memiliki karakteristik yaitu  :

  1. Siswa membuat keputusan dan membuat kerangka kerja
  2. Terdapat masalah yang pemecahannya  tidak ditentukan sebelumnya
  3. Siswa merancang proses untuk mencapai hasil
  4. Siswa bertanggunga jawab untuk mendapatkan dan mengelola informasi yang dikumpulkan
  5. Siswa melakukan evaluasi secara kontinu
  6. Siswa secara teratur melihat kembali apa yang meraka kerjakan
  7. Hasil akhir berupa produk dan di evaluasi kualitasnya
  8. Kelas memiliki atmosfir yang memberikan toleransi kesalahan dan perubahan.

 

  1. Perkuliahan Chuukyuu Sakubun dengan Menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Proyek Respon Kreatif

Chuukyuu Sakubun 1 merupakan mata kuliah wajib yang diberikan kepada mahasiswa semester 4 di Jurusan Pendidikan Bahasa Jepang FPBS UPI. Tujuan umum dari mata kuliah ini adalah mahasiswa diharapkan mampu menuliskan berbagai informasi dalam bentuk karangan, catatan kecil/memo, surat, email, poster dan lain sebagainya.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya pembelajaran pada perkuliahan Chuukyuu Sakubun (menulis tingkat menengah) dengan menggunakan teknik Peer Review dapat memberikan pengaruh yang cukup berarti (Meilia, 2014).  Pada penelitian tindakan kelas siklus pertama ini model pembelajaran dengan menggunakan teknik Peer Review yaitu teknik yang berpusat pada kerja sama dengan partner belajar (peer) untuk menambah informasi yang muncul dari percakapan / diskusi pada saat saling mereview hasil tulisan teman sebaya.

Kelebihan teknik Peer Review yang digunakan pada siklus pertama adalah mendorong mahasiswa untuk bekerja secara kolaboratif, memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk memberikan respon, penilaian dan kritik karena biasanya mahasiswa enggan, kurang kreatif dan kurang berani merespon dosennya. Tetapi kelemahannya adalah waktu yang digunakan dalam pembelajaran di kelas kurang dan untuk pengayaan serta evaluasi tidak bisa disampaikan.

Dengan beberapa kekurangan yang ditemui pada siklus pertama, kemudian dilanjutkan pada siklus kedua dengan mengubah model pembelajaran yang serupa tapi agak sedikit berbeda yang difokuskan lebih kepada pemecahan masalah pada siklus pertama.  Oleh karena itu, peneliti mencoba melakukan proyek respon kreatif dalam perkuliahan Chuukyuu Sakubun.

Model pembelajaran ini berbentuk proyek (project-based learning) untuk mengatasi keterbatasan waktu di kelas. Pada penelitian ini diberikan dua tema besar karangan yang diurai menjadi sebuah proyek tugas.  Pengerjaannya dilakukan secara berkelompok agar mudah dikerjakan dan proses saling respon serta proses kreatif dapat terjadi.

Dalam blognya Widyatun (2012) pelaksanaan pembelajaran berbasis PRK terbagi dalam tiga tahapan yakni persiapan, pembelajaran dan evaluasi, tetapi dari tiga tahapan tersebut dapat dideskripsikan menjadi enam tahapan sebagai berikut,

  1. Persiapan

Pengajar merancang desain atau membuat kerangka proyek yang sesuai dengan silabus mata kuliah Chuukyuu Sakubun.  Pada penelitian ini ada dua tema besar yang diambil dari buku utama yang digunakan dalam perkuliahan, yaitu bab 3 “Kazoku ni Kansha Koto” dan bab 4 “Akogareteiru Sensei” dengan luaran produk karya tulis berupa surat, poster dan karangan.

Peran pengajar adalah mendukung keberhasilan mahasiswa dalam menyelesaikan suatu proyek dengan cukup membantu dalam menjawab pertanyaan dan mengarahkan mahasiswa dalam menyelesaikan tugasnya. Yaitu dengan cara memberikan sumber referensi seperti alamat web site atau sumber yang dapat membantu mahasiswa dalam menyelesaikan proyek.

  1. Penugasan/menentukan topik

Sesuai dengan tugas proyek yang diberikan oleh pengajar, mahasiswa akan memperoleh dan membaca kerangka proyek, lalu berupaya mencari sumber yang dapat membantu. Dengan berdasar pada referensi alamat web yang berisi materi relevan, mahasiswa dengan cepat dan langsung mendapatkan materi yang berkualitas yang sesuai dengan kebutuhan proyek karangan. Lalu mahasiswa berupaya berpikir dengan kemampuannya berdasar pada pengalaman yang dimiliki, membuat pemetaan topik, dan mengembangkan gagasannya dalam menentukan sub topik suatu proyek.

  1. Merencanakan kegiatan

Mahasiswa bekerja dalam proyek kelompok dalam satu kelas, dengan personil 4 orang setiap grup. Mahasiswa menentukan kegiatan dan langkah yang akan diambil sesuai dengan sub topiknya, merencanakan waktu pengerjaan dari semua sub topik dan menyimpannya di dalam web. Jika bekerja dalam kelompok, tiap anggota harus mengikuti aturan dan memiliki rasa tanggungjawab. Sedangkan pengajar berkewajiban mengontor dan mengarahkan jalannya proyek tersebut.

Pada penelitian ini tagihan luaran bab 3 adalah karangan berupa tulisan dan surat dengan dua kali tatap muka, 4 tahapan kegiatan.  Tagihan luaran bab 4 adalah karangan berupa poster dan surat dengan dua kali tatap muka, 4 tahapan kegiatan.

  1. Investigasi dan penyajian

Investigasi disini termasuk kegiatan : memeriksa web site, dan saling tukar pengalaman dan pengetahuan serta melakukan survei melalui web, bisa berupa observasi, ekperimen, atau wawancara. Atau diskusi dapat dilakukan secara sinkron dan asinkron melalui chating dengan pengajar. Lalu penyajian hasil dapat berupa gambar, tulisan, dan lain-lain secara berkala dikomunikasikan dengan pengajar di luar tatap muka di kelas. Salah satunya untuk merespon proses kegiatan proyek tersebut.

  1. Finishing

Mahasiswa membuat laporan berupa karangan dan surat untuk luaran bab 3 dan laporan berupa surat dan poster untuk bab 4 sebagai hasil dari kegiatannya. Lalu pengajar dan mahasiswa membuat catatan terhadap proyek untuk pengembangan selanjutnya. Mahasiswa secara individu menerima feedback atas apa yang dibuatnya dari kelompok denggan hasil karya individual. Fasilitas feedback berupa online atau mengisi lembaran evaluasi yang telah disediakan oleh pengajar.

  1. Monitoring/Evaluasi.
    Pengajar menilai semua proses pengerjaan proyek yang dilakukan oleh tiap mahasiswa berdasar pada partisipasi dan produktifitasnya dalam pengerjaan proyek walaupun dalam pengerjaannya secara berkelompok.

 

  1. Hasil dan Pembahasan

Pada penelitian ini dilakukan 6 kali pertemuan diantaranya pertemuan pertama mengadakan pre-test untuk mengetahui kemampuan awal responden dan pertemuan terakhir mengadakan post-test untuk mengetahui perbedaan hasil pembelajaran dengan membandingkan hasil ujian pada pre-test.

Kegiatan ini dilakukan pada saat diawal perkuliahan dengan menggunakan tema sesuai dengan buku ajar yang digunakan pada perkuliahan Chuukyuu Sakubun. Dari setiap pertemuan pada kegiatan menulis menggunakan lembar kerja (worksheet) dan lembar evaluasi pada setiap pertemuan.  Hasil penilaian karangan dari setiap pertemuan kemudian digabungkan dengan hasil tes didapat hasil sebagai berikut, 

  1. Hasil Belajar Mahasiswa setelah Menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Proyek Respon Kreatif (PRK)

Dari hasil enam kali pertemuan yang telah dijelaskan di atas, dapat diamati bahwa kemampuan menulis karangan bahasa Jepang mahasiswa mengalami cukup peningkatan terutama pada bagian proses kegiatan menulis. Nilai rata-rata mahasiswa dari pertemuan kedua sampai keempat pelaksanaan treatment selalu berada di atas nilai 8,0. Dan karangan proses dalam penyusunan karangan mahasiswa selalu mengalami perkembangan karena telah diberikan tahapan kegiatan dalam bentuk lembar kerja proyek (proyek worksheet) dan lembar evaluasi.

Dari hasil empat kali pelaksanaan treatment dapat diketahui bahwa nilai rata-rata mahasiswa pada pre-tes yaitu 70,87. Akan tetapi pada post-test mengalami peningkatan hingga mencapai rata-rata 85,1.  Jadi dapat disimpulkan model pembelajaran berbasis proyek respon kreatif dapat memberikan pengaruh yang signifikan dalam kegiatan menulis sakubun pada perkuliahan Chuukyuu Sakubun (menulis tingkat menengah).  Hal ini dapat ditunjukkan dengan meningkatnya 15 poin dari hasil belajar.

  1. Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Proyek Respon Kreatif (PRK) pada Pembelajaran Chuukyuu sakubun 1.

Selama proses kegiatan proyek ini berlangsung terjadi suasana dinamis yang kondusif antara pembelajar. Karena mereka saling memberikan masukan dan ide-ide dalam proses kegiatannya.  Dari ide masing-masing kemudian dikembangkan sesuai dengan kreatifitas masing-masing dalam tulisan individu.

Karena setiap tahapan kegiatan dalam setiap proyek selalu diberikan respon dalam bentuk evaluasi dan feedback. Dari hasil observasi selama kegiatan berlangsung dalam kelas, hal ini membuat mahasiswa  menjadi bersemangat dan selalu ingin berbuat lebih baik lagi dalam karyanya. Karena setiap kegiatan selalu ada evaluasi dan feedback.  Hal ini diperkuat dari hasil angket yang disebarkan menunjukkan hampir seluruh responden merasakan bersemangat dan selalu ingin memperbaiki dan mengembangkan hasil tulisannya berkat hasil evaluasi dan feedback yang diberikan oleh pengajar.

Dari hasil enam kali pertemuan yang telah dijelaskan di atas, dapat diamati bahwa kemampuan menulis karangan bahasa Jepang mahasiswa mengalami peningkatan yang signifikan terutama pada bagian proses kegiatan menulis. Nilai rata-rata mahasiswa dari pertemuan kedua sampai keempat pelaksanaan treatment selalu berada di atas nilai 8,0.

  1. Respon Mahasiswa terhadap Pembelajaran Chuukyuu Sakubun dengan Menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Proyek Respon Kreatif (PRK)

Hasil wawancara dan angket yang dihimpun dari responden menunjukkan bahwa seluruh responden berpendapat bahwa model pembelajaran Sakubun Berbasis Proyek Respon Kreatif (PRK) dapat membantu dan mempermudah responden dalam mengembangkan ide-ide menjadi kerangka karangan kemudian mengembangkan kembali kreatifitasnya dalam bentuk karangan utuh baik berupa karangan, memo, surat, email ataupun poster.

Sebagian besar responden (70%) menyatakan ada perkembangan terhadap kegiatan menulis sakubun yang dibuat setelah mendapatkan proyek yang bertahap dalam mengerjakan sebuah tulisan. Karena berbentuk proyek (proyek-based learning), permasalahan yang ditemui pada siklus pertama dapat diatasi, yaitu hampir seluruh dari jumlah responden (80%) tidak mengalami kesulitan dalam mengembangkan idea tau gagasan ke dalam suatu karangan utuh. Kemudian dengan adanya lembar evaluasi yaitu bentuk respon dari pengajar dalam mengevaluasi dari karangan yang dibuat dapat dianggap menjadi tolak ukur perbaikan dalam menyelesaikan suatu karangan.

Tetapi ada beberapa kelemahan dari model pembelajaran ini adalah pada alokasi waktu yang telah ditentukan dalam menulis karangan. Karena berbentuk proyek, kegiatan menulis ini butuh waktu lama dan dikerjakan di luar perkuliahan tanpa bisa diawasi kegiatannya oleh pengajar.

Tetapi kelemahan dari teknik ini dapat diminimalisir dengan adanya lembar evaluasi. Kehadiran dosen sebagai evaluator dan fasilisator untuk mereviu ulang hasil reviu yang dilakukan oleh responden tidak harus dilakukan secara tatap muka.  Tapi dengan adanya lembar evaluasi dapat dikontrol isi dan alur suatu karangan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kesalahan agar tidak dilakukan pembelajar.  Dan membantu mengarahkan dalam mengembangkan kreatifitas pembelajar.

 

  1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang dikemukakan di atas, penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut, model pembelajaran berbasis Proyek Respon Kreatif secara signifikan memberikan pengaruh yang berarti dalam menghasilkan sebuah karangan pada perkuliahan Chuukyuu Sakubun (menulis tingkat menengah).  Hal ini dapat ditunjukkan dengan meningkatnya 20 poin dari hasil tes yang diberikan. Hasil ini juga diperkuat dari hasil penilaian dari setiap pertemuan.

Hasil wawancara dan angket yang dihimpun dari responden menunjukkan bahwa seluruh responden mengakui bahwa model pembelajaran berbasis Proyek Respon Kreatif dapat membantu dan mempermudah responden dalam mengembangkan ide dan kreatifitas dalam kegiatan menulis terutama dalam proses membuat sebuah tulisan baik berupa karangan, memo, surat, email ataupun poster.  Sebagian besar responden menyatakan ada perkembangan terhadap kegiatan menulis sakubun yang dibuat setelah mendapatkan proyek yang bertahap dalam mengerjakan sebuah tulisan. Karena berbentuk proyek (proyek-based learning), permasalahan yang ditemui pada siklus pertama dapat diatasi, yaitu hampir seluruh jumlah responden tidak mengalami kesulitan dalam mengembangkan idea tau gagasan ke dalam suatu karangan utuh.

Hampir setengah dari jumlah seluruh responden merasa bahwa model pembelajaran berbasis Proyek Respon Kreatif menarik ketika diterapkan dalam perkuliahan sakubun karena dapat mengetahui letak kesalahan pada karangan dan dapat secara langsung memperbaikinya.

Ada beberapa kelemahan dari model pembelajaran ini adalah pada alokasi waktu yang telah ditentukan dalam menulis karangan. Karena berbentuk proyek, kegiatan menulis ini butuh waktu lama dan dikerjakan di luar perkuliahan.  Selain itu fasilitas multimedia seperti internet harus dapat dipastikan tidak ada gangguan. Selama kegiatan penelitian ini berlangsung selalu mendapatkan hambatan mengenai respon / feedback online karena koneksi internet yang tidak bagus. Sehingga komunikasi dialihkan pada sms atau telepon.

Pada penelitian ini waktu yang diberikan sangat singkat dan tema proyek karangan juga hanya dua, jadi masih belum dapat dilaksanakan secara maksimal dikarenakan kondisi waktu dan fasilitas internet yang kurang memadai. Hal ini akan dijadikan sebagai rekomendasi untuk penelitian selanjutnya. Agar proyek ini dapat dikembangkan ke dalam berbagai macam tulisan dan lebih terinci dan jelas lagi tahapan proyek respon kreatif ini.

Daftar Pustaka

Abidin, Y. (2009). Kemampuan Menulis dan Berbicara Akademik. Bandung: RIZQI Press.

Akhadiah, S. (1988). Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Amanda, Raysha. (2013). Efektivitas Model Proyek Respons Kreatif dalam Meningkatkan Keterampilan Menulis Karangan Bahasa Jepang. (Skripsi). Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Gie, L. (1992). Pengantar Dunia Karang Mengarang. Yogyakarta: Liberty.

Hyogyon, Kimu. (2010). Kaku Koto o Oshieru (Kokusai Kouryuu Kikin Nihongo Kyoujuhou Shiriizu Dai8ka. Tokyo : Hituzi & The Japan Foundation.

Meilia, Linna. (2014). Model Pembelajaran Peer Review dalam Meningkatkan Kemampuan Menulis. Jurnal Kajian Bahasa dan Pariwisata BARISTA, Vol.1 No. 1 hlm.116-125.

Susanto. (2010). Konsep Penelitian Tindakan Kelas dan Penerapannya. Surabaya : Unesa.

Sutedi, D. (2009). Beberapa Alternatif untuk Mengatasi Masalah dalam Pembelajaran Sakubun. Jurnal Pendidikan Bahasa Jepang ASPBJI Korwil Jabar, Vol. 2, No. 2, hlm.1-13.

Thaib. (2012). Penerapan Model Proyek Respons Kreatif dalam Pembelajaran Menulis Paragraf Deskriptif. [online]. Diakses dari http://thaibcorporations.blogspot.com/2012/08/penerapan-model-proyek-respons-kreatif.html

Widyatun, Diah. (2012). Model Pembelajaran Berbasis Proyek atau Tugas. [online]. Diakses dari http://jurnalbidandiah.blogspot.com/2012/04/model-pembelajaran-berbasis-proyek-atau.html

 

ANALISIS KESALAHAN PENGGUNAAN KOSAKATA DALAM NASKAH DRAMA BAHASA JEPANG YANG DIBUAT OLEH SISWA SMAN 1 CIAMIS

Elim Siti Halimah

Abstrak

Penelitian  ini untuk menjawab permasalahan mengenai kesalahan penggunaan kosakata dan ungkapan apa saja yang  terjadi dalam naskah drama bahasa Jepang yang dilakukan oleh siswa SMAN 1 Ciamis, apa penyebab terjadinya kesalahan tersebut, serta  upaya apa yang bisa dilakukan  agar kesalahan serupa tidak terjadi di masa yang akan datang.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang menggunakan teknik simak, teknik sadap, dan teknik catat. Untuk menguatkan data,  penulis melakukan wawancara kepada partisipan. Berdasarkan hasil pengolahan data, kesalahan yang muncul terbagi menjadi lima kategori,yakni  1) kesalahan addition dan omission, 2) kesalahan penulisan huruf, 3) kesalahan urutan kata (missorder), 4) kesalahan pengunaan kosakata yang tidak sesuai dalam kalimat, dan 5) kesalahan penggunaan kata yang menyebabkan tidak tersampaikannya maksud kalimat. Dari kelima kategori tersebut terdapat 147 kesalahan yang muncul.

Penyebab terjadinya kesalahan tersebut adalah  1) Language Transfer, 2) Overgeneralization, 3) Learning Strategy, 4) Communication Strategy.  Di samping itu, terdapat  kesalahan yang terjadi akibat kurangnya pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa Jepang dan kesalahan performansi.

Kata kunci: analisis, kesalahan, kosakata

 

 

  1. Pendahuluan

Tujuan pembelajaran bahasa Jepang di SMA, sejalan dengan sasaran pembelajaran bahasa yang dikemukakan oleh Danasamita (2009:80) yakni untuk menguasai  empat keterampilan berbahasa: membaca, menulis, mendengarkan dan berbicara.

Untuk mengetahui bagaimana penguasaan siswa dalam keterampilan menulis dan berbicara di SMAN 1 Ciamis, diadakan evaluasi dalam bentuk tugas membuat naskah drama bahasa Jepang yang mencakup semua materi yang telah diajarkan di kelas X.  Dari tugas tersebut,  dapat diketahui bahwa ternyata siswa sering melakukan kesalahan dalam menggunakan kosakata bahasa Jepang.  Diantaranya:

  1. Kesalahan dalam menggunakan kata san, contoh:

Elim sensei  san wa doko ni imasu ka.

Seharusnya : Elim sensei wa doko ni imasu ka.

  1. Kesalahan dalam menggunakan partikel yang menunjukkan keterangan tempat dilakukannya suatu perbuatan, contoh:

Doko ni bideo o mimasuka.

Seharusnya:  Doko de bideo o mimasuka.

  1. Kesalahan dalam mengurutkan kata majemuk, contoh:

Denwa bangou no lutfi san wa nanban desuka.

Seharusnya: Lutfi san no denwa bangou  wa nanban desuka.

 

Kesalahan berbahasa yang ditimbulkan oleh pembelajar bahasa kedua

merupakan suatu hal yang perlu diketahui dan dipelajari. Dalam bidang pengajaran bahasa, analisis kesalahan berbahasa dipergunakan untuk menunjang pengajaran bahasa kedua. Dengan analisis kesalahan berbahasa guru atau perencana pengajaran akan lebih mudah menyusun, menyajikan dan melatihkan bahan pelajaran bahasa yang harus diketahui murid-muridnya. Dengan kata lain, jika bisa dikenali peta kesalahan itu akan bisa diprediksi kesalahan yang mungkin dibuat oleh siswa. (Nahadi, 1995:228)

Penelitian ini diharapkan akan menghasilkan beberapa hal seperti

dikemukakan oleh  Tarigan (2011:71)  tentang manfaat yang akan diperoleh dari  pengkajian kesalahan berbahasa,  diantaranya

  1. Menghasilkan pemahaman yang semakin mendalam tentang pengajaran bahasa kedua,
  2. Melalui pengkajian tersebut pemahaman terhadap psikologi belajar bahasa kedua juga semakin mendalam
  3. Bahan pengajaran bahasa kedua dapat disusun lebih terarah dan lebih cocok.

Dengan dilatar belakangi oleh hal-hal tersebut di atas, maka penulis memandang perlu dilakukan kajian tentang Analisis Kesalahan Berbahasa khususnya Analisis Kesalahan Penggunaan Kosakata dalam Naskah Drama Bahasa Jepang yang dibuat oleh siswa SMAN 1 Ciamis,  agar bisa diketahui latar belakang kesalahan, penyebab kesalahan dan ragam kesalahan yang hasilnya bisa digunakan sebagai umpan balik dalam perbaikan pengajaran bahasa Jepang.

  1. Tinjauan Pustaka
  2. Pengertian Analisis kesalahan

Crystal seperti yang dikutif Ruru dalam Pateda (1989:32)  mengatakan bahwa analisis kesalahan adalah suatu teknik untuk mengidentifikasikan, mengklasifikasikan dan  menginterpretasikan secara sistematis kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh si terdidik yang sedang belajar bahasa asing atau bahasa kedua dengan menggunakan teori-teori  dan prosedur-prosedur berdasarkan linguistik. Sedangkan menurut  Ellis dalam Tarigan (2011: 60) Analisis kesalahan adalah suatu prosedur kerja yang biasa digunakan oleh para peneliti dan guru bahasa yang meliputi pengumpulan sampel, pengidentifikasian kesalahan yang terdapat dalam sampel, penjelasan kesalahan tersebut, pengklasifikasian kesalahan itu berdasarkan penyebabnya serta pengevaluasian atau penilaian taraf keseriusan kesalahan itu. Selanjutnya Kridalaksana  dalam  Nahadi  (1995: 230)  mengemukakan bahwa yang dimaksud analisis kesalahan berbahasa adalah teknik untuk mengukur kemajuan belajar bahasa dengan mencatat dan mengklasifikasikan kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh seseorang atau kelompok.

  1. Tujuan Analisis kesalahan

Analisis kesalahan dapat dibagi atas analisis kesalahan tradisional dan analisis kesalahan yang disempurnakan. Menurut Sridhar (1975) yang dikutif oleh Baradja (1981:11) dalam Pateda ( 1989: 35-36) analisis kesalahan tradisisonal jelas-jelas pragmatis, yaitu memperoleh balikan untuk keperluan penyusunan buku teks dan penyempurnaan strategi pengajaran. Dengan demikian, analisis kesalahan dapat digunakan guru untuk:

  1. Menentukan urutan sajian
  2. Menentukan penekanan-penekanan dalam hal penjelasana dan latihan
  3. Memperbaiki pengajaran remedial
  4. Memilih butir-butir yang tepat untuk mengevaluasi penggunaan bahasa terdidik.

Adapun analisis kesalahan yang disempurnakan menurut Corder yang dikutif Baradja dalam Pateda (1989:36) mempunyai dua tujuan, yaitu yang teoretis, dan yang sifatnya lebih praktis. Tujuan yang bersifat praktis tidak berbeda dengan tujuan analisis kesalahan tradisional, sedangkan tujuan yang bersifat teoretis ialah adanya usaha untuk memahami proses  belajar bahasa kedua. Bagi seorang guru, yang penting menemukan kesalahan itu, lalu menganalisisnya. Hasil analisis sangat berguna untuk tindak lanjut proses belajar mengajar yang ia lakukan.

  1. Lingkupan Analisis Kesalahan

Menurut Pateda (1987: 34) Kesalahan yang perlu dianalisis meliputi tataran fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik. Pada penelitian ini, penulis menganalisis kesalahan pada tataran sintaksis. Menurut Erlinda (2008) kesalahan sintaksis terbagi atas tiga jenis, yakni :

  1. Urutan kata (word order) adalah ketidakmampuan penerjemah menampilkan urutan kata yang sesuai dalam bahasa sasaran.
  2. Penghilangan (omission)/penambahan(addition) adalah kesalahan sintaksis yang berkaitan dengan dihilangkan atau ditambahkannya elemen-elemen bahasa sumber dalam terjemahan. Penghilangan atau penambahan ini berakibat hilangnya sebagian pesan yang ada dalam teks bahasa sumber.
  3. Kegagalan mentransfer maksud bahasa sumber (Erlinda:2008:10)
  4. Penyebab Kesalahan Berbahasa

Menurut Tarigan ( 2011: 65), kesalahan berbahasa disebabkan oleh

interferensi bahasa I ke dalam bahasa II. Hal ini diperkuat   dengan hasil penelitian Nani Sunarni  (2011, 32-39) tentang campur kode, interferensi dan integrasi dalam penguasaan bahasa Jepang (studi kasus di program studi sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran)  bahwa dalam proses penguasaan bahasa Jepang, para pembelajar mengalami berbagai interferensi baik interferensi bidang morfologi, sintaksis, fonologi maupun terjemahan.

Sedangkan menurut Sakoda, yang diterjemahkan oleh  Muhlisian  (2013:20-31) penyebab kesalahan berbahasa diakibatkan oleh 5 hal, yakni

  1. Language Transfer: pengaruh bahasa ibu terhadap bahasa kedua yang dipelajari sehingga menimbulkan kesalahan.
  2. Overgeneralization: kesalahan yang diakibatkan ketidakmampuan pembelajar dalam menguasai aturan-aturan bahasa kedua.
  3. Transfer of training: Kesalahan yang terjadi dikarenakan pengaruh negatif yang muncul ketika pengajar menyampaikan materi dengan dua bahasa yang berbeda
  4. Learning strategy: berhubungan dengan metode pembelajaran bahasa yang salah yang menimbulkan kesalahan dalam berbahasa.
  5. Communication strategy: kesalahan yang didasarkan pada kurangnya pengetahuan dan kemampuan berkomunikasi atau keadaan saat tidak bisa mengucapkan kata atau ungkapan tertentu maka diganti dengan kata lain dalam berkomunikasi.

Penyebab lain adalah adanya perbedaan antara bahasa Jepang dan bahasa Indonesia terutama  ditinjau dari morfologi dan  sintaksis juga menyebabkan terjadinya kesalahan dalam   berbahasa, seperti yang dikemukakan oleh kunkun dalam analisis kesalahan menerjemahkan (2011:3).

  1. Metode Penelitian

Pada penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif karena  penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan, menjabarkan suatu fenomena yang terjadi saat ini dengan menggunakan prosedur ilmiah untuk menjawab masalah secara aktual (Sutedi, 2009: 58). Dengan pendekatan goyou bunseki.

Sumber data dalam penelitian ini berupa 11 naskah drama bahasa Jepang yang telah dibuat oleh siswa kelas X SMAN 1 Ciamis tahun pelajaran 2012/2013.

Adapun instrumen penelitian ini adalah   pedoman wawancara untuk mengetahui penyebab kesalahan berbahasa yang dilakukan oleh siswa. .

Langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis data adalah sebagai berikut:

  1. Mengumpulkan data
  2. Mengidentifikasi kesalahan
  3. Menjelaskan kesalahan
  4. Mengklasifikasikan kesalahan
  5. Menyimpulkan
  1. Hasil dan Pembahasan
  2. Kesalahan penggunaan kosakata yang muncul dalam naskah drama bahasa Jepang yang dibuat oleh siswa SMAN 1 Ciamis kelas X    tahun pelajaran 2012/2013  dapat dilihat  dalam tabel berikut ini:

Tabel kategorisasi kesalahan

Item Frekuensi Persentase
1.      Kesalahan addition dan omission

a.       Kesalahan addition

b.      Kesalahan Omission

2.      Kesalahan penulisan huruf

3.      Kesalahan urutan kata/ missorder

4.      Kesalahan pengunaan kosakata yang tidak sesuai dalam kalimat

5.      Kesalahan penggunaan kata yang menyebabkan tidak tersampaikannya maksud kalimat

22

18

35

19

32

21

14.97

12.24

23.81

12.93

21.77

14.28

 

Total Kesalahan     147 100%

          Berdasarkan hasil analisis data, pada bagian pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa, kategorisasi kesalahan sesuai dengan wilayah kajian sintaksis bahasa terbagi berdasarkan lima  kategori yaitu, (1)  kesalahan penulisan huruf, (2) penghilangan/ penambahan kata, (3) kesalahan urutan kata/missorder, (4)  ketidaksesuaian penggunaan kosakata dalam kalimat serta  (5) kesalahan yang mengakibatkan  tidak tersampaikannya maksud kalimat  .

Kesalahan yang ditemukan sebanyak  147  kesalahan,  yang paling banyak muncul adalah Kesalahan penambahan dan penghilangan kata dalam kalimat sebanyak 40  (27,21%), kemudian  kesalahan  penulisan huruf romaji sebanyak 35 (23, 81%), kesalahan penggunaan kosakata yang tidak sesuai dalam kalimat yakni sebanyak 32 (21,77%) ,  lalu kesalahan yang mengakibatkan  tidak tersampaikannya maksud kalimat  sebanyak 21 (14,28%),  serta kesalahan pengurutan kata/missorder sebanyak 19 ( 12,93%) .

Kesalahan  yang  ditemukan  sebagian besar merupakan local error yaitu kesalahan yang tidak terlalu berpengaruh pada pemahaman lawan bicara terhadap maksud kalimat yang disampaikan. Berdasarkan hasil wawancara terhadap siswa, kesalahan  tersebut juga bisa dikategorikan sebagai mistakes yakni kesalahan yang terjadi karena faktor kelelahan atau lupa sehingga penutur kurang tepat menggunakan kata atau ungkapan untuk situasi tertentu. Dengan demikian, maka siswa bisa memperbaiki sendiri kesalahan-kesalahan tersebut tanpa bantuan guru.

Kesalahan yang merupakan local error dan mistake terutama banyak ditemukan pada kategori kesalahan penulisan huruf, kesalahan penambahan atau pengurangan kata  dan kesalahan pengurutan kata.

Adapun kesalahan yang merupakan Global error yakni kesalahan yang mengakibatkan tidak faham atau tidak tersampaikannya maksud kalimat kepada lawan bicara banyak ditemukan pada kategori kesalahan penggunaan kosakata yang tidak sesuai dalam kalimat dan kesalahan yang mengakibatkan  tidak tersampaikannya maksud kalimat. Berdasarkan hasil wawancara tehadap siswa, dapat diketahui bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan kompetensi (errors) disebabkan siswa kurang memahami kaidah-kaidah bahasa yang dipelajarinya sehingga siswa memerlukan bantuan guru untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan tersebut.

Selanjutnya, sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Sakoda, (2002:29-32)  penyebab terjadinya kesalahan-kesalahan yang ditemukan pada semua data yang telah dianalisis,  di samping  yang sudah dijelaskan sebelumnya adalah sebagai berikut:

  1. 言語転移(Language Transfer):学習者の母語(または既習の言語)が第二言語(または次に学習する言語)を習得する場合に何らかの影響を与えることを言語転移という。

Contoh:

  • Ohayou gozaimasu sensei (N2-1c)
  1. Sensei, ohayou gozaimasu

Pada kalimat (N2-1c) terjadi kesalahan pengurutan kata disebabkan language transfer, yaitu pengaruh bahasa ibu terhadap bahasa kedua yang dipelajari sehingga menimbulkan kesalahan berbahasa. Kesalahan tersebut merupakan local error, yaitu  kesalahan yang tidak terlalu berpengaruh pada pemahaman lawan bicara terhadap maksud kalimat yang disampaikan.

  1. 過剰一般化(Overgeneralization):過剰般化あるいは過般化とも呼ばれる。言語内エラーの一種で、ある一つの規則の別の語へも適用できると考えて広く一般化することである。

Contoh:

  • Robby san, shitsurei desu ga, odenwa bangou wa nanban

desuka. (N1-2)

Penulisan kata odenwa pada kalimat di atas mengalami Penambahan  (addition) huruf o disebabkan Kesalahan akibat generalisasi yang berlebihan (overgeneralizations). Kesalahan ini disebabkan oleh perluasan kaidah kaidah bahasa kedua pada konteks-konteks yang tidak tepat. Siswa menyamakan kata odenwa dengan kata onamae dengan maksud menghaluskan kata. Tetapi kenyataannya, tidak semua kata bisa ditambah huruf o supaya terdengar sopan/halus.

  1. 学習ストラテジー(Learning Strategy):学習ストラテジーは学習方略ともいい、学習をたかめるための学習者の具体的な行動、あるいは態度のことである。しかしこのことでは、化石化の原因としての学習ストラテジーなので、不適切な行動だったり、適用の仕方が間違っていたりする場合を指す。ある英語話者が日本語を覚える際に「ありがとう」は「ARIGATOO」と発音し、“Alligator” の発音に近いので日本語の感謝の表現は「ワニ」と覚えていた。そして、実際に日本人にお礼を言う場面になったとき「ワニ」を思い出して、”Crocodile” を発話してしまった。

Contoh:

(37)    a. Kagami        : Ima nanji desuka

Kimi           : Ima gozen roku ji han desu (N2-1a)

Pada kalimat  (N2-1a), terdapat penambahan kata gozen, sehingga apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kalimat tersebut menjadi ‘sekarang jam 6 pagi’ . Kalimat tersebut terkesan tidak alami, karena ketika pembicara dan lawan bicara berada pada tempat yang sama, mengemukakan jawaban jam berapa sekarang, tidak perlu menggunakan kata gozen/pagi. Kesalahan ini disebabkan oleh Learning strategy.   Pada saat mengajarkan materi tentang jam, untuk berlatih membedakan a.m dan p.m, guru melatih siswa menggunakan Lembar kerja siswa yang memuat contoh kalimat  sebagai berikut:

Rei: AM 10.15                    Q: Ima nanji desuka.

                                            A: Gozen juuji juugofun desu.

  1. コミュニケーションストラテジー(Communication Strategy):コミュニケーション方略ともいい、学習者が自分の知識や能力が足りなかったり、言葉や表現が重い出せなくてコミュニケーションに支障を来したりした場合にとる行動や態度のことである。

Contoh:

  • Rizki : anata wa nan desuka. (N9-1e)

Neneng                   : watashitachi wa eigo o benkyou shimasu.

  1. Rizki : anata wa nani o shite imasuka.

Pada kalimat (N9-1e) terjadi kesalahan penggunaan kata nan de untuk menanyakan ‘sedang apa?’ Kesalahan ini merupakan global error karena mengakibatkan tidak faham atau tidak tersampaikannya maksud kalimat kepada lawan bicara. Kesalahan tersebut didasarkan pada kurangnya pengetahuan      dan

kemampuan berkomunikasi atau keadaan saat tidak bisa           mengucapkan kata atau ungkapan tertentu maka diganti dengan kata lain dalam berkomunikasi.

Beberapa hal yang harus dilakukan agar kesalahan yang serupa tidak terulang, hasil analisis dalam penelitian ini harus diberitahukan kepada siswa dan  strategi pembelajaran yang telah terbukti menyebabkan kesalahan, harus diganti dengan strategi lain yang lebih baik  untuk meningkatkan kemampuan siswa,  khususnya dalam menulis dan berbicara, perlu diadakan latihan intensif dan diberikan contoh/model yang baik. Misalnya pada saat mengajarkan atarashii kotoba perlu diperdengarkan CD pembelajaran secara berulang-ulang agar siswa terbiasa mendengarkan bunyi bahasa yang benar. Selain itu latihan menulis juga perlu diberikan secara intensif agar anak bisa menulis kosakata dengan tepat. Penggunaan DVD erin, dan website-website pembelajaran bahasa Jepang dalam kegiatan belajar mengajar juga akan menambah wawasan siswa tentang penggunaan bahasa Jepang yang baik dan benar sehingga siswa tidak melakukan kesalahan serupa.

  1. PENUTUP

Melalui penelitian ini, permasalahan yang telah dirumuskan dapat terjawab dan penulis merekomendasikan untuk penelitian selanjutnya bisa menganalisi kesalahan dari tataran linguistik lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Muhlisian, A. (2013) Analisis kesalahan sintaksis dalam penerjemahan karya ilmiah bahasa indonesia ke dalam bahasa jepang. (Tesis Program Magister Sekolah Pascasarjana). Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Chaer, A. (2003). Linguistik umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Danasasmita et all. (2001). Kamus istilah gramatika bahasa jepang, FPBS UPI.

Danasasmita, W. (2009) Metodologi pembelajaran bahasa jepang. Bandung: Rizqi Press.

Erlinda, R. (1998). Analisis Kesalahan Morfologis dan Sintaktis dalam Karya  Terjemahan. Jurnal Studia Akademika, 6(1), hlm. 3-21.

Goro Taniguchi.(1961). Tata bahasa lisan djepang-indonesia. Tokyo: Japan Indonesia Association Inc.

Guntur Tarigan, H & Tarigan, D. (2011).Pengajaran analisis kesalahan berbahasa. Bandung: Angkasa.

Keraf, G. (1984). Tata Bahasa Indonesia. Flores: Nusa Indah.

Manaf Ngusman,A. (2009). Sintaksis: Teori dan Terapannya dalam Bahasa Indonesia. Padang: Sukabina Press.

Nurhadi. (1995). Tata bahasa pendidikan landasan penyusunan buku pelajaran bahasa. Semarang: IKIP Semarang Press.

Pateda, M. (1989). Analisis kesalahan. Flores, Nusa Indah

Purwati, K. (2011). Analisis kesalahan menerjemahkan dalam pembelajaran honyaku tingkat dasar. Skripsi, Universitas Pendidikan Indonesia

水谷 信子、1984『日本語教育辞典』

迫田 久美子・2002『日本語教育に生かす:第二言語習得研究』東京・アルク

Sudjianto. (1996). Gramatika bahasa jepang modern. Jakarta: Kesaint Blanc.

Sudjianto &  Dahidi, A. (2004).  Pengantar linguistik bahasa jepang. Jakarta: Kesaint Blanc.

Sunarni, N. (2011). Campur kode, interferensi, dan integrasi dalam proses pe

nguasaan bahasa jepang. Jurnal nihongo, 3 (1), hlm. 32-39.

Sutedi, D. (2009). Penelitian pendidikan bahasa jepang. Bandung: Humaniora.

Universitas Pendidikan Indonesia. (2013). Pedoman penulisan karya ilmiah. Bandung:  UPI PRESS

 

Widjono HS. 2007. Bahasa indonesia: mata kuliah pengembangan kepribadian di perguruan tinggi. Jakarta: Grasindo.