METODE & TEKNIK PENGAJARAN BAHASA JEPANG*) (Kajian Terhadap Pengejawantahan Pendekatan Komunikatif dalam Keterampilan Berbicara Bahasa Jepang)

Oleh Ahmad Dahidi, M.A.

(Disampaikan pada Kegiatan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG)

di Pusdiklat Pos Jl. Sarijadi Bandung Tanggal 20 s.d. 28 Nopember 2008)

 

  1. Pendahuluan

Pada hakekatnya, pengkajian ulang terhadap berbagai metode, teknik, dan pendekatan yang dianut dalam pengajaran bahasa asing pada umumnya, dan pengajaran bahasa Jepang pada khususnya merupakan suatu upaya mawas diri dan adanya rasa tanggung jawab pengajar terhadap keberhasilan pengajarannya. “Tanpa adanya introspeksi”, demikian dijelaskan Kimura (1988). “sulit timbul hasrat untuk menyempurnakan metode pengajaran”.

Pengkajian terhadap metode, teknik, dan pendekatan yang akan dibicarakan disini, sudah barang tentu merupakan konsekwensi pengejawantahan perubahan kurikulum SMU. Seperti diketahui bahwa kurikulum SMU 1994 telah membawa konsekwensi terhadap pengajaran bahasa asing di SMU pada umumnya dan bahasa Jepang pada khususnya. Salah satu diantaranya adalah upaya penyempurnaan metode, teknik dam pendekatan pengajaran yang digunakan. Konsekwensi tersebut merupakan hal yang wajar mengingat faktor tersebut merupakan salah satu penunjang keberhasilan proses belajar-mengajar, disamping ketiga faktor lainnya yaitu guru yang mengajar, murid yang belajar, dan materi pengajaran yang digunakan. Di samping itu, tentunya perlu diperhatikan keterpaduan keempat keterampilan berbahasa yaitu mendengar, berbicara, membaca, dan menulis dalam proses belajar-mengajarnya. Hal ini sesuai dengan tuntutan GBPP bahasa Jepang SMU 1994 yang menyatakan bahwa “…dalam proses belajar mengajar keempat keterampilan berbahasa pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu, keterampilan berbahasa harus dikembangkan secara terpadu meskipun tekanannya pada keterampilan berbicara”. Jelas sekali bahwa orientasi pembelajaran bahasa Jepang pada kurikulum 1994 ditekankan pada keterampilan berbicara bahasa Jepang.

Seperti diketahui bahwa keterampilan berbicara adalah suatu keterampilan untuk mengkomunikasikan ide, gagasan, dan pikiran secara lisan. Untuk memperlancar keterampilan tersebut, perlu didukung oleh kemampuan komunikatif. Kemampuan komunikatif bukan sekedar “keterampilan untuk mengkomunikasikan lisan dalam bahasa tujuan”, namun lebih daripada itu. Kemampuan komunikatif yang benar adalah “pengetahuan mengenai bentuk-bentuk bahasa dan makna bentuk-bentuk itu, dan kemampuan untuk menggunakannya bilamana dan kepada siapa untuk memakai bentuk-bentuk tersebut secara wajar”. (Paulston dalam Subyakto-Nababan, 1993:172).

Adapun bentuk-bentuk bahasa yang sangat berpengaruh terhadap keterampilan berbicara bahasa Jepang adalah ucapan, kosakata, struktur, dan pemahaman terhadap faktor budaya pemakai bahasa sasaran. Alwasilah (1992) mengingatkan kita bahwa dalam pengajaran bahasa Jepang maupun bahasa asing lainnya tidak berorientasi linguistik semata, melainkan memperkenalakan pula aspek budaya bahasa sasaran (the target language). Pada bagian lain, ybs. menyarankan agar dalam konteks `pendekatan silang budaya` (istilah Chaedar Alwasilah), pengajaran bahasa asing (termasuk bahasa Jepang) tidak hanya menitikberatkan pada communicative competence yang dibina, tetapi lebih dari itu, yakni perlu diperhatikan ihwal intercultural communicative competence.

Untuk mendukung harapan tersebut, kurikulum SMU 1994 telah merumuskan tujuan pengajarannya, yaitu diharapkan para siswa mampu menguasai lebih kurang 600 kosakata dasar, penggunaan aksara kana dan pengenalan aksara kanji sederhana, serta tata bahasa yang sesuai baik dengan tema maupun dengan anak tema yang ditentukan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kebermaknaan (komunikatif).

Adapun konsep penting yang mendasari pendekatan ini antara lain :

  1. belajar bahasa asing adalah belajar komunikasi melalui bahasa tersebut sebagai bahasa sasaran, baik secara lisan maupun secara tulisan. Belajar berkomunikasi perlu didukung oleh pembelajaran unsur-unsur bahasa sasaran.
  2. dalam proses belajar mengajar, siswa merupakan subyek utama, tidak hanya sebagai obyek belaka. Oleh karena itu, ciri-ciri dan kebutuhan mereka harus dipertimbangkan dalam segala keputusan yang terkait dengan pengajaran.
  3. dalam proses belajar mengajar guru berperan sebagai fasilitator yang membantu siswa mengembangkan keterampilan berbahasannya.

(GBPP Bahasa Jepang SMU 1994: 2).

Lebih lanjut dikemukakan bahwa konsep-konsep di atas (yang berhubungan langsung dengan metode dan teknik pengajaran) dijabarkan menjadi 6 butir, diantaranya adalah “Dalam proses belajar mengajar, unsur-unsur bahasa yang dipandang sulit bagi siswa dapat disajikan tersendiri secara sistematis sesuai dengan tema yang dibahas”. Dalam hal ini, lebih ditonjolkan konsep fleksibilitas penyajian materi pengajaran. Konsep ini cukup menguntungkan bagi guru bahasa Jepang. Misalnya dalam proses belajar-mengajar, guru dapat memilih materi dengan bebas asalkan masih dalam ruang lingkup materi dan rentangan waktu yang disarankan dalam GBPP 1994. Walaupun demikian, dengan konsep seperti ini, nampaknya akan menjadi kendala bagi guru bahasa Jepang dalam menentukan urutan materi, terlebih-lebih bagi guru yang sudah terbiasa mengajarkan bahasa Jepang ketika pemberlakukan kurikulum 1984.

Sebelum kami mengemukakan lebih jauh mengenai pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa Jepang, terutama kaitannya dengan proses belajar mengajar keterampilan berbicara bahasa Jepang, ada baiknya kita mengkaji ulang perkembangan metode, teknik dan pendekatan yang selama ini digunakan dalam pengajaran bahasa Jepang. Pengkajian ulang ini cukup penting agar kita bisa melihat persamaan dan perbedaan, yang pada gilirannya kita dapat memilih berbagai metode dan teknik pengajaran yang dimungkinkan cocok untuk dilaksanakan pada proses belajar mengajar bahasa Jepang sesuai dengan tuntutan kurikulum 1994, atau setidak-tidaknya kita dapat memilih berbagai gagasan yang diperkirakan layak dan cocok bagi pembelajar bahasa Jepang di SMU. Hal tersebut merujuk pada pendapat Kimura (1988) bahwa ketika kita memikirkan metode pengajaran pada saat sekarang, kita harus meninjau kembali metode yang digunakan selama ini. Apakah landasan dan berbagai metode pengajaran yang selama ini dianjurkan, dan berdasarkan teori apa metode itu dipraktekkan, serta berdasarkan kondisi yang bagaimana metode tersebut dilaksanakan.

Pada tulisan ini hanya akan dibahas sepintas perkembangan metode pengajaran bahasa asing yang cukup berpengaruh terhadap pengajaran bahasa Jepang, sedangkan uraian masing-masing metode yang lebih lengkap disarankan pembaca mempelajari buku Dasar-dasar Metodologi Pengajaran Bahasa Jepang yang penulis terjemahkan dari buku Kyoojuhoo Nyuumon karya Kimura (1983).

Secara garis besar sistematika pembahasan meliputi bahasan teorits dan untuk kepentingan praktis. Pada bagian toeritis dibahas sekilas perkembangan metode pengajaran bahasa asing yang berpengaruh terhadap pengajaran bahasa Jepang sebagai bahasa asing, pengkajian metode Audiolingual, dan pendekatan komunikatif, sedangkan bagian praktis (aplikatif) lebih difokuskan pada pengejawantahan pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa Jepang, terutama keterampilan berbicara bahasa Jepang.

 

1. Selayang Pandang Metode Pengajaran Bahasa Asing yang Digunakan dalam Pengajaran Bahasa Jepang

Metode pengajaran dan pendekatannya telah mengalami pasang surut, silih berganti, sesuai dengtan perubahan-perubahan dalam pandangan linguistik dan psikologi. Misalnya, pendekatan kognitif telah melahirkan metode guru diam (The Silent Way), Community Language Learning (CLL), dan Suggestopedia. Pendekatan ini didasari dengan melibatkan pikiran atau`kegiatan kognitif` dari pelajar bahasa tujuan. Bersamaan dengan itu, di Inggris (akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an) lahir suatu pendekatan yang disebut pengajaran bahasa secara komunikatif. Seperti diketahui bahwa pendekatan ini menekankan `kebermaknaan` (meaningfulness) dan `penyampaian makna/pesan` yakni fungsi menggunakan bahasa secara wajar.

Adapun metode-metode yang cukup berpengaruh terhadap pendidikan bahasa Jepang sebagai bahasa asing diantaranya metode terjemahan (tata bahasa), metode langsung Yamaguchi Kiichiro, metode Gouin, metode pengajaran Palmer, metode pengajaran ASTP, dan metode Audiolingual. Metode-metode tersebut telah mewarnai pembelajaran bahasa Jepang. Disatu pihak perkembangan tersebut memperkaya guru bahasa asing untuk mempraktekannya ke dalam kegiatan belajar mengajar bahasa. Namun di pihak lain timbul masalah yang cukup menyulitkan yaitu pemilihan metode yang cocok. Hal tersebut antara lain disebabkan setiap pembelajar mempunyai latar belakang dan teori masing-masing, serta kepentingan dan bentuk-bentuk latihan yang berbeda pula.

Kenyataan tersebut di atas disadari oleh Subyakto-Nababan (1993) yang menyatakan bahwa “Meskipun sudah banyak penelitian dan eksperimen yang diadakan mengenai metode-metode mana yang paling efektif”, demikian dijelaskan Subyakto-Nababan, “tetapi masih tetap sulit untuk membuktikan secara ilmiah metode mana yang paling baik”. Kaitannya dengan pendekatan komunikatif, lebih lanjut dijelaskan bahwa “….pendekatan komunikatif tidak menekankan sesuatu metode, tetapi mencoba menerangkan kebenaran jalan pikirannya mengenai apa sebetulnya `komunikasi` itu”. Pada bagian lain, dijelaskan pula bahwa “……..hingga saat ini kita masih belum pasti mengenai metode yang paling efektif dalam mengajar berbicara bahasa tujuan kepada pelajar”. Dari kenyataan tersebut, ybs. sampai pada sebuah kesimpulan bahwa:“…pendekatan `elektik` (electic approach) pada metode pengajaran bahasa mungkin suatu pendekatan yang paling baik untuk guru bahasa, selama kita belum mengetahui dengan pasti teori-teori linguistik dan psikologi mana yang dapat memberi jawaban dengan mantap atas pertanyaan-pertanyaan mengenai efektivitas metode-metode pengajaran bahsa. Yang dimakud pendekatan efektif ialah `penggunaan unsur-unsur dari beberapa metode pengajaran bahasa`……;`untuk tujuan yang sesuai dengan situasi dan kondisi di kelas`. Dengan mengambil pendekatan elektik, seorang guru bahasa tidak terlalu terpaku pada satu metode saja,tetapi ia dapat mengadakan penyesuaian yang lebih cocok bagi situasi dan kondisi kelasnya dalam usahanya untuk lebih meningkatkan mutu dan efektivitas pengajaran bahasa”. (Subyakto-Nababan) : 1993 : 151).

Sejalan dengan pendapat di atas, Kimura (1988) menjelaskan pula bahwa dalam pengajaran bahasa Jepang dewasa ini banyak digunakan metode yang sama.

 

C. Metode, teknik,dan Pendekatan

Penulis yakin, yang lama bukan berarti jelek, dan yang baru bukan berarti bagus. Oleh sebab itu, walaupun banyak orang mengeritik audiolingual dan menyarankan pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa asing (dalam hal ini : bahasa Jepang), namun tidak salah apabila kita mencermati kembali salah satu metode yang paling banyak digunakan saat ini dalam pengajaran bahasa Jepang, yaitu metode audiolingual.

Metode audiolingual merupakan hasil pemikiran lingustik struktural, yang lahir di Amerika Serikat. Pada waktu itu, yaitu setelah perang dunia II selesai, Amerika banyak menerima mahasiswa asing dari berbagai negara. Dari Jepang pun banyak mahasiswa yang diundang belajar di sana. Di antara para mahasiswa tersebut ada yang tidak mampu berbahasa Inggris. Untuk mengatasi hal tersebut, pertama-tama diupayakan diajarkan bahasa Inggris kepada mereka sebagai bahasa asing. Akibatnya, di Amerika sangat populer para ahli bahasa melakukan penelitian bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Ketika perang berlangsung, ASTP mengajarkan bahasa asing kepada rakyat Amerika, sedangkan sekarang program tersebut beralih fungsi, yakni mengajarkan bahasa Inggris kepada bangsa lain. Pada pelaksanaannya, digunakan metode-metode yang berdasarkan ilmu psikologi dan ilmu linguistik struktural dengan berpijak pada metode ASTP yang telah ada.

Pada perkembangan selanjutnya, yaitu tak lama kemudian setelah perang usai, metode tersebut menjadi metode audiolingual. Pada program tersebut, C.C Fries dari Universitas Michigan menganjurkan teknik oral approach. Gagasan tersebut, dibawa pulang oleh banyak guru bahasa Inggris yang belajar di Amerika ke Jepang dan mempraktekkannya. Oleh karena itu, akhirnya sangat mempengaruhi dunia pendidikan bahasa Inggris di Jepang.

Ciri khas pendekatan yang utama dari oral approach tersebut adalah pattern practice, sedangkan tekniknya disebut substitute drill, yaitu suatu latihan menggantikan kata yang satu dengan kata lain dalam kalimat yang diberikan oleh guru. Hal tersebut merupakan latihan terbaru yang belum diberikan sebelumnya di dalam kelas. Pattern practice tersebut digunakan juga dalam pengajaran bahasa Jepang. Bertepatan dengan itu, sekolah-sekolah di Jepang telah mulai dilengkapi language lavoratory (LL) yang sangat sesuai untuk melaksanakan pattern practice tersebut. Sejak itu, pattern practice menjadi populer dilaksanakan dalam pendidikan bahasa dan dapat dikatakan seolah ada korelasinya antara penyebaran alat-alat lab. Bahasa dengan bertumbuhnya pemanfaatan teknik pattern practice tersebut. Hal tersebut merupakan bukti nyata bahwa pengembangan alat-alat pendidikan memberikan pengaruh yang baik terhadap metode pengajaran.

Metode audiolingual berorientasi pada hasil penganalisaan struktur bahasa dan perbandingan antara bahasa ibu para siswa dengan bahasa asing yang dipelajarinya (studi kontrastif) menetapkan pola kalimat yang harus dipelajari oleh para siswa serta membiasakan bahasa yang baru dengan melaksanakan drill yang mengutamakan pattern practice. Para siswa dituntut perlu menirukan dan mengingat materi pelajaran seperti halnya dilakukan pada program ASTP.

Setelah perang usai, metode inilah yang memberi pengaruh besar terhadap pengajaran fonologi bahasa Jepang pada tahap pemula dalam pendidikan bahasa Jepang.

Langkah-langkah penyajian metode audiolingual secara umum  sebagai berikut.

  1. penyajian dialog/bacaan pendek yang dibacakan guru berulang kali. Pelajar menyimak dan tidak melihat pada teksnya. Peniruan dan penghafalan dialog/bacaan pendek dengan teknik meniru setiap kalimat secara serentak dan menghafalkan kalimat-kalimat itu. Teknik ini disebut peniruan-penghafalan (mimicry-memorization technique atau mim-mem technique).
  2. penyajian pola-pola kalimat yang terdapat dalam dialog /bacaan yang dianggap guru sukar karena terdapat struktur atau ungkapan yang sukar, dilatihkan dengan teknik drill. Dengan teknik ini dilatih struktur atau kosakata.
  3. dramatisasi dari dialog/bacaan yang sudah dilatih di atas. Pelajar yang sudah hafal disuruh memperagakan di muka kelas.
  4. pembentukan kalimat-kalimat lain yang sesuai dengan pola-pola kalimat yang sudah diberikan.

Kekuatan metode ini, diantaranya : a). para pelajar menjadi terampil dalam membuat pola-pola kalimat yang sudah di drill. b). para pelajar mempunyai lafal yang baik atau benar, dan c). para pelajar tidak tinggal diam tetapi harus terus menerus memberi respons pada rangsangan guru.

Adapun kelemahannya diantaranya : a). para pelajar cenderung seperti membeo, dan sering tanpa mengetahui makna dari apa yang diucapkan. Respons selalu mekanis. b). proses belajar mengajar lebih cenderung teacher oriented, c). kesalahan-kesalahan dihindari, yang utama adalah penguasaan pola-pola kalimat yang banyak, dan d). dengan menyimak apa yang dikatakan oleh guru, memberi respons yang benar, dan melakukan semua tugas tanpa salah, pelajar dianggap sudah belajar bahasa sasaran dengan benar secara otomatis mereka akan `lancar berbahasa sasaran untuk komunikasi selanjutnya`.

Pendirian metode audiolingual di atas, disangkal oleh banyak orang diantaranya oleh Subyakto-Nababan (1993) menyatakan bahwa dengan meniru tanpa mengetahui makna adalah aktifitas yang mubazir. Penghafalan pola-pola kalimat, dan ucapan-ucapan yang baik dan benar belum tentu para pelajar akan mampu berkomunikasi dengan wajar. Dalam hal ini, diperlukan bimbingan dalam mencapai kemampuan komunikatif.

Pada perkembangan selanjutnya, ditemukan teori baru yang disebut dengan cognitive code theory. Teori tersebut beranggapan bahwa dasar-dasar pengajaran bahasa diperlukan penjelasan arti kata serta mengetahui kaidah-kaidah tata bahasa yang akan digunakan pada kalimat-kalimat yang akan dipelajari. Pada pendidikan bahasa Jepang, teori tersebut mulai diterapkan. Teori tersebut bukan berarti kembali pada metode tata bahasa terjemahan yang lama. Tata bahasa menurut aliran cognitive code theory adalah bukan tata bahasa yang berpusat pada bentuk kata, melainkan pada kaidah tata bahasa yang banyak dipengaruhi oleh teori tata bahasa transformasi generatif yang dicetuskan oleh N. Chomsky.

Di atas sudah disinggung bahwa salah satu pendekatan dalam pengajaran bahasa asing umumnya, dan bahasa Jepang pada khususnya adalah pendekatan komunikatif. Pendekatan ini lahir di awal 70-an sebagai cikal bakal untuk menyempurnakan pengajaran bahasa Inggris. Pendekatan ini merupakan suatu upaya untuk memperbaharui kelemahan-kelemahan yang terdapat pada metode audiolingual.

Seperti kita ketahui bahwa metode audiolingual adalah pendekatan pengajaran bahasa yang menitikberatkan pada pemerolehan bentuk bahasa/pola-pola kalimat dan struktur bahasa. Sedangkan pendekatan komunikatif lebih daripada itu. Dalam hal ini menitikberatkan pada kemampuan komunikatif.

Komyunikatipu apuroochi wa, gengo no kozoo ya katachi no shuutoku ni juuten o oku oodioringaru apuroochi no ketten ya jakuten o kaizen shi, gengo gakushuu ga honrai mezashite iru komyunike-shon nooryoku oyoosei suru tameni kaihatsu sarete kita kyooju riron dearu” (Okazaki : 1990 : I).

Sedangkan menurut Bistok A. Siahaan (1986) dengan pendekatan komunikatif pelajar perlu dilatih penggunaan unsur kebahasaan, yaitu apa yang sebaiknya dikatakan pada suatu situasi tertentu, ragam bahasa apa yang sebaiknya digunakan, kapan dan bagaimana menggunakannya. Lebih lanjut dikatakan, “….untuk mendukung kemampuan tersebut diperlukan penguasaan struktur dan kosakata”.

Seperti telah dikemukakan di muka bahwa pendekatan ini berlawanan dengan audiolingual. Kita tahu bahwa pengajaran bahasa asing dengan metode audiolingual adalah suatu metode yang menitikberatkan pada penguasaan struktur. Dengan perkataan lain, masih banyak ditekankan “kemampuan gramatik”. Hal tersebut dapat dipahami karena paham yang dianut dalam pengajaran bahasa Jepang dewasa ini masih berorientasi pada aliran struktural dengan metode audiolingualnya.

Kita tahu bahwa paham ini menganut sebuah asumsi bahwa “……makin banyak struktur dikuasai oleh seorang pelajar bahasa, makin lancar ia berbahasa asing secara otomatis” (Subyakto-Nababan : 1990 : 1). Kepercayaan terhadap asumsi ini telah dicoba dalam praktek-praktek pengajaran bahasa Jepang khususnya dan praktek pengajaran bahasa asing pada umumnya, namun ternyata belum membawakan hasil sesuai dengan harapan. Masalahnya, telah terbukti bahwa hasil pembelajaran kemampuan aktif dengan pendekatan ini terutama dalam keterampilan berbicara bahasa asing sangatlah lemah. Salah satu pernyataan yang senada, misalnya Subyakto-Nababan menyatakan bahwa :”…..dalam kenyataannya; tujuan (pengajaran bahasa asing dengan audiolingual) tidak atau belum tercapai” (Subyakto-Nababan : 1990 : 1-2).

Salah satu ciri khas dalam pendekatan ini adalah dengan banyaknya drill atau latihan struktur kalimat yang diberikan guru kepada para pembelajar.sehubungan dengan drill ini Hubbard dkk (1983 : 36 dalam Subyakto-Nababan 1990 : 2) menjelaskan bahwa:

Drill itu membosankan dan pelajar mungkin membuat pola-pola kalimat yang sama tanpa menyadari apa yang mereka katakan. Ini disebabkan oleh karena para pelajar belum mampu untuk menghubungkan kemampuan gramatiknya dengan kemampuan komunikatifnya. Dengan perkataan lain, pengetahuan membentuk pola-pola kalimat belum tentu menjamin keterampilan komunikatif. Oleh karena pelajar mungkin menggunakan pola-pola kalimat tersebut tanpa mengetahui dalam situasi-situasi mana pola-pola kalimat itu harus digunakan”.

Pernyataan di atas mengingatkan kita (baca: guru) untuk senantiasa memikirkan dan memberikan bimbingan kepada para siswa agar suatu ungkapan bahasa asing (baca: bahasa Jepang) sesuai dan relevan dengan situasi yang sebenarnya manakala orang Jepang menggunakan bahasanya. Hal tersebut merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Oleh sebab itu, diperlukan berbagai upaya guru itu sendiri.

Walaupun pernyataan ahli pengajaran bahasa di atas mengeritik terhadap keterbatasan drill, namun sebenarnya drill dengan pola-pola kalimatnya akan sangat bermanfaat dalam latihan level dasar atau untuk “menjebatani” dari level dasar kepada tingkat selanjutnya atau tingkat terampil dalam menguasai bahasa bahasa Jepang. Tentunya hal tersebut tergantung pada tujuan pengajarannya. Apabila tujuan itu lebih berorientasi pada penguasaan aktif (dalam arti agar para pembelajar lebih aktif berbicara), maka pengembangan lebih lanjut dari drill-drill tersebut sangatlah diperlukan. Dalam hal ini jangan terpaku pada drill-drill yang berbentuk pola-pola kalimat secara terpisah, tetapi perlu diupayakan drill dalam bentuk dialog (ini bermanfaat dalam melatih keterampilan berbicara) atau pola kalimat yang satu ada keterkaitan dengan pola kalimat yang lainnya (ini bermanfaat untuk melatih membuat karangan sederhana dalam bahasa Jepang), dll.

Selain itu, perlu juga dipikirkan bentuk-bentuk drill yang relevan dengan tujuan pengajaran bahasa itu sendiri, terutama dikaitkan dengan konteksnya. Penulis yakin, apabila drill itu diarahkan untuk membuat kalimat yang benar baik lisan maupun tulisan yang notabene melalui pola-pola kalimat itu merupakan salah satu kunci keberhasilan para pembelajar dalam penguasaan kemampuan berbahasa Jepang. Akan terasa sulit apabila kita menggunakan gagasan-gagasan pendekatan komunikatif dilakukan sepenuhnya dalam pengajaran bahasa Jepang pada tahap awal (dasar). Alasannya adalah pola-pola kalimat merupakan unsur bahasa Jepang yang cukup sulit untuk dihindari. Bagaimanapun juga, pola-pola kalimat ini akan mendominasi dalam pengajaran bahasa Jepang pada tahan dasar/awal.

Sehubungan dengan hal tersebut Uryu (1992) menyarankan agar pengajaran bahasa Jepang pada level dasar (shokyu) dimulai dari ucapan, kata-kata salam, percakapan-percakapan sederhana yang menggunakan pola-pola kalimat yang sudah diberikan sebelumnya, dan menyimak. Uryu berpendapat bahwa “Shokyuu no kaiwa renshuu to iu nowa, bunkei renshuu to totemo chikai mono….”. dengan demikian, pola-pola kalimat merupakan unsur penting dalam pengajaran bahasa Jepang. Masalahnya adalah bagaimana caranya untuk mengaplikasikan pola-pola kalimat dasar tersebut dalam konteks/situasi yang wajar.

Sudah barang tentu langkah-langkah yang tepat dan relevan dari guru sangatlah diperlukan. Antara lain perlu dipikirkan cara-cara memanfaatkan suatu pola kalimat agar dapat digunakan oleh para pembelajar dalam konteks yang sesuai. Kaitannya dengan hal tersebut, Matsuoka (wawncara tanggal 26 Juli 1994) dikemukakan bahwa dari seperangkat kewajiban guru, khususnya di dalam mengaplikasikan sebuah struktur kalimat yang telah diberikan kepada siswa adalah perlu dipikirkan lagi apa fungsi atau manfaat dari struktur tersebut. Contoh jika kita membuka buku pelajaran bahasa Jepang, umumnya diawali dengan pola kalimat : …wa…desu.

Tugas guru adalah memikirkan konteks yang bagaimana agar pola kalimat tersebut dikuasai dan dapat dimanfaatkan oleh siswa pada konteks yang sebenarnya (diterapkan pola pikir pendekatan komunikatif). Dengan perkataan lain, pola/struktur kalimat pada langkah awal (dasar) dalam pengajaran bahasa Jepang masih diperlukan. Setidak-tidaknya Matsuoka menekankan bahwa dalam proses belajar mengajar bahasa Jepang perlu diawali dengan pengenalan pola kalimat, kemudian pola-pola kalimat tersebut diaplikasikan pada bentuk latihan yang komunikatif ketika PBM berlangsung.

Sepengetahuan penulis, pada saat ini pemberian pola-pola kalimat ini masih banyak diberikan hanya terbatas pada pembuatan kalimat-kalimat tunggal atau kalimat majemuk secara terpisah. Dengan perkataan lain, masih sedikit guru bahasa Jepang yang memikirkan pola-pola kalimat yang dapat membuat suatu dialog atau suatu karangan dalam bahasa Jepang secara terpadu (meminjam istilah wacana : cohension).

Uraian di atas, jika mengacu kepada pendapat Paulston (1971), seorang ahli pengajaran bahasa yang menggunakan metode audiolingual, drill-drill yang kami maksud dapat dibagi menjadi tiga corak, yakni a). drill yang bercorak mekanistis, b). bermakna c). komunikatif. Yang dimaksud drill yang bercorak mekanistis yaitu drill-drill yang berupa ulangan atau penggantian unsur-unsur bahasa, guru sepenuhnya menguasai respons para pelajar. Para pelajar tidak dituntut untuk mengetahui makna dari apa yang mereka katakan asalkan respons mereka benar secara struktural. Yang dimaksud butir b, yaitu bermakna adalah masih ada di dalam penguasaan guru terhadap respons para pelajar. Meskipun jawaban boleh diungkapkan dalam berbagai cara. Sedangkan yang dimaksud butir c),yaitu ada sesuatu pengalihan bebas pada bahasa tujuan (dalam hal ini : bahasa Jepang) kepada situasi-situasi yang wajar. Para pelajar diperbolehkan untuk menambahkan informasi-informasi yang baru dan sesuai dengan fakta. Paulston mengatakan bahwa tekanan yang besar harus diberikan pada butir-butir b dan c. Sejalan dengan itu Rivers (1972, 1973) menyarankan agar memberi semacam `waktu peralihan` atau `transisi` dengan penyajian latihan-latihan `komunikasi semu`, yang akhirnya menjadi latihan-latihan `komunikasi penuh`. Dengan perkataan lain, River menyarankan perlu dilakukan secara bertahap yaitu bergerak dari teknik drill yang mekanistis ke drill yang komunikatif.

Seperti kita ketahui, diantara para pembelajar bahasa Jepang ada yang sekedar ingin bisa bahasa Jepang untuk kepentingan wisata dan ada pula para pembelajar yang mempelajari bahasa Jepang untuk kepentingan bidang keahliannya sebagai disiplin ilmu. Kami belum mengetahui secara pasti, apa sebenarnya dorongan siswa SMU di Indonesia belajar bahasa Jepang?. Apakah mereka disebabkan `korban` kebijakan dalam sistem pendidikan menengah? Atau mereka semata-mata hanya ingin mengenal dan mengetahui bahasa Jepang?. Terlepas dari masalah tersebut, yang jelas tujuan pembelajar dalam belajar bahasa Jepang akan menentukan materi dan metode pengajarannya. Wajarlah apabila diantara para pembelajar ada yang hanya ingin mempelajari kata-kata salam saja dan ada pula sekelompok pembelajar yang mempelajari bahasa Jepang untuk bidang keahliannya masing-masing. Kejelasan tujuan mereka belajar bahasa Jepang perlu diteliti mengingat akan berpengaruh terhadap kelancaran pembelajaran, setidak-tidaknya bisa dijadikan masukan dalam penetuan materi ajar. Seperti disimpulkan oleh Rivers bahwa beragamnya tujuan pembelajar di atas akan menentukan jenis/bentuk buku ajar dan jenis metode/pendekatan yang akan digunakan.

Dari penjelasan di atas, terutama kaitannya dengan audiolingual dan komunikatif, secara global disimpulkan oleh Okazaki sebagai berikut :

Audio Lingual Komunikatif
Landasan filosofis Kebahasan

 

– Linguistik struktural

– kalimat tunggal

– difokuskan ragam lisan

– konteks tidak

diperhatikan

– hasil analisis kontrastif

– linguistik fungsional

– wacana

-dipusatkan pada

ragam lisan dan tulisan

– konteks diperhatikan

– analisis interlingual

Perolehan bahasa – Stimulus – respon

– kebiasaan  berbahasa

– pembelajaran struktur

– learning by doing

– language for use

– pembelajaran komunikatif

Pembelajar

an bahasa

Berpusat kepada guru Berpusat kepada

pembelajar

apa silabus – Silabus sturkutr dari

pola kalimat dasar

menuju kalimat

majemuk

– dari polakalimat yang

mudah menuju kepada

yang sukar.

– Silabus nosional

– silabus fungsional

bagaimana Kegiatan di kelas – Mimicry &

  Memorazation,

   pattern Practice,

  controlled conversation

– titik berat pada

latihan ragam lisan

– titik berat pada

pembetulan kesalahan

– kesalahan berbahasa

disebabkan pengaruh

bahasa  ibu.

– titik berat pada bentuk

  accurasy oriented.

– Information gap, choise,

  feed back, kegiatan

bentuk pemecahan masalah (problem solving).

– latihan pada bentuk

wacana.

– kesalahan

tidak menjadi  perhatian.

– kesalahan disebabkan

oleh proses

pemerolehan bahasa.

– titik berat pada

kelancaran berbahasa

(fluency oriented).

Sumber: Okazaki Toshio & Okazaki Hitomi (1990:28).

 

Perlu penulis kemukakan bahwa butir-butir simpulan Okazaki di atas, bukan untuk membandingkan atau membedakan antara audiolingual dengan pendekatan komunikatif, tetapi lebih cenderung merupakan gambaran global atau ciri-ciri audiolingual dan pendekatan komunikatif.

 

D. Kesimpulan

Dalam kenyataannya, penerapan metode dan pendekatan di atas pada keterampilan berbahasa cukup bervariasi atau penyajiannya berlainan. Metode audiolingual misalnya, mengajarkan `berbicara` dengan teknik drill (yang bermacam-macam coraknya) dan min-mem. Dalam metode ini kesalahan `berbicara` dihindari karena dianggap tidak menunjang kemajuan berbicara. Sedangkan pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa Jepang, yang utama adalah kita (baca : guru bahasa Jepang) senantiasa berupaya menciptakan bentuk-bentuk latihan yang mengacu pada information gap. Latihan seperti ini diperlukan dalam rangka menciptakan iklim yang kondusif dalam PBM bahasa Jepang agar para pembelajar dilatih cara-cara mengaplikasikan berbagai unsur bahasa dalam konteks yang wajar.

 

Daftar Pustaka

Alwasilah, A. Chaedar. 1992. “Problema Pengajaran Bahasa Asing di Indonesia”, dalam Problema dan Pembahasan Materi Bahasa Jepang SMTA di Indonesia. Makalah ini disampaikan pada kegiatan Workshop Pendidikan Bahasa Jepang SMTA Kerjasama IKIP Bandung dengan The Sasakawa Peace Foundation, Bandung, 15-18 Juli 1992.

Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Sekolah Menengah Umum (SMU) Mata Pelajaran Bahasa Jepang Kurikulum 1994, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan. Jakarta, 1995.

Hayashi Masaru, (ed) 1990. Nihongo Kyoiku Handobukku, Tokyo: Taishukan Shoten.

——-,   (ed). 1982. Nihongo Kyoiku Jiten, Tokyo: Taishukan Shoten, 1982.

Ishii, Toshiko. 1990. Kaitei Shinpan Nihongo Kyojuho, Tokyo: Tashukan shoten.

Kimura, Muneo. 1993. Dasar-dasar Metodologi Pengajaran Bahasa Jepang (diterjemahkan oleh Ahmad Dahidi, dan Michie Akahane), Program Pendidikan Bahasa Jepang FPBS IKIP Bandung.

——: et.al. 1992. Nihongo Kyojuho, Tokyo: Ofusha.

Okazaki, Toshio. dan Okazaki, Hitomi. 1990. Nihongo Kyoikuni Okeru Komyunikatip Apurochi, Tokyo: Bonjinsha.

Okazaki, Toshio. 1992. Keesu Sutadi Nihongo Kyoiku, Tokyo: Ofusha.

Siahaan A, Bistok, dan Ruwiyantoro. 1986. Perencanaan Pengajaran Bahasa Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Univertas Terbuka.

Subyakto-Nababan, Sri Utari. 1990. “Pragmalingustik Kontrastif: Suatu Penjajakan Gaya Komunikasi Antara Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia” (Laporan Penelitian), IKIP Jakarta.

——-: 1993. Metodologi Pengajaran Bahasa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Uryu, Kayo. 1992. “PBM Berbicara Bahasa Jepang SMTA”, dalam Problema dan Pembahasan PBM Bahasa Jepang SMTA di Indonesia. Makalah ini disampaikan pada kegiatan Workshop Pendidikan Bahasa Jepang SMTA Kerjasama IKIP Bandung dengan The Sasakawa Peace Foundation,Bandung, 15-18 Juli 1992.

 

 

*) Makalah ini pernah disampaikan pada Seminar Pengajaran Bahasa Jepang di SMU dalam Kaitannya dengan Implementasi Kurikulum SMU 1994, Kerjasama IKIP Bandung dengan The Sasakawa Peace Foundation,15- 16 Januari 1996