Tempat Tinggal Peserta JBIP 2015: Tengachaya, Sebuah Dilema

Laporan AHMAD DAHIDI dari Osaka Jepang

”Pak Ahmad! Selama JBIP 2015 ini, tinggal di mana?“ demikian pertanyaan yang akhirnya mengispirasi artikel ini. “Kami tinggal di asrama daerah Nishinari-ku- Tengachaya,“ jawab saya singkat. “Masa, di Tengachaya!!!“ seperti yang kaget. “Kenapa! ada yang aneh di daerah ini?“ tanya saya. “Tidak, juga. Cuma dulunya daerah tersebut merupakan daerah yang kurang aman, banyak penjambretan, pemerkosaan, dan kejahatan bentuk lainnya. Di sana banyak kakek kakek, ya!“, dia tanya lagi seperti ingin konfirmasi. “Betul”, jawab saya singkat.
Dialog sederhana tersebut merupakan awal hati saya tergelitik ingin mengetahui lebih jauh, ada apa di balik sebuah nama yang disebut Tengachaya itu. Setelah saya survei kecil-kecilan di sekitar wilayah yang “dicurigai” tersebut, saya menemukan gerombolan tunawisma. Mereka bergerombol dengan teman-temannya, di sepanjang jalan utama relatif banyak tempat karaoke, banyak pula tempat pemandian umum yang disebut dengan sentou*), pachinko*), banyak penginapan kelas melati, rata-rata semalam antara 1500 yen ~ 2000 yen. Mungkin penginapan ini bisa “short time” untuk istirahat bagi pria atau wanita “hidung belang”.

Jadi, karena kondisi seperti itu, mungkin yang menjadikan image tempat kami tinggal terkesan kurang kondusif. Meskipun demikian, di dekat asrama kami ada kantor polisi, kantor pemadam kebakaran, rumah sakit, dan toko swalayan yang harganya cukup miring. Toko tersebut adalah Tamade, menyediakan ragam makanan dan minuman, juga buah buahan untuk keperluan sehari-hari.
Saya sendiri tinggal di daerah ini untuk kedua kalinya. JBIP 2014 pun tinggal di asrama yang sama dan kondisi lingkungannya pun seperti tahun lalu. Meskipun image tempat kami tinggal seperti itu, saya coba muter-muter siang dan sedikit agak malam serta saya coba mewawancarai beberapa orang Jepang, kesimpulannya “tidak usah khawatir. Para tunawiswa tidak akan mengganggu asal jangan diganggu“, demikian kesimpulan wawancara tersebut. Pernyataan seperti itu sangat diperlukan oleh saya untuk memberikan keyakinan kepada para peserta JBIP agar bisa hidup tenang dan nyaman serta tertanam rasa aman selama mengikuti program ini.
Berbicara masalah image, memang cukup sulit untuk hilang dari ingatan seseorang. Mungkin perlu beberapa generasi untuk menghilangkan image buruk menjadi berubah ke arah image yang lebih baik. Sebagai ilustrasi, image “jam karet“ yang sudah melekat di masyarakat Indonesia sudah menyebar sedemikian rupa dan tampaknya sudah membudaya di kalangan msyarakat Indonesia sehingga untuk mengubah atau menghilangkan istilah ini dari memori orang asing (setidaknya kenalan saya orang Jepang) sangatlah sulit. Padahal tidak semua orang Indonesia punya budaya “jam karet“ ini.

Kalau kita berpikir lebih bijak, fenomena image baik atau buruk terhadap tempat seperti yang saya uraikan di atas, terjadi di mana mana setiap negara. Image apa yang terlintas dalam pikiran pembaca kalau mendengar nama kota kelahiran saya, Sumedang? Mungkin kebanyakan jawabannya adalah “kota tahu“. Mengapa demikian? Sebab seperti diketahui bahwa tahu merupakan komoditas yang menjadi primadona kota Sumedang yang sejak dulu sudah berkembang. Tahu Bunkeng dan Tahu Palasari adalah dua pabrik tahu yang bisa mewakili penghasil tahu yang banyak peminatnya di Sumedang. Bagaimana kalau mendengar nama tempat seperti Saritem di Bandung?. Kemungkinan besar, bagi orang Bandung tidak jauh berbeda dengan kebanyakan orang Surabaya mendengar nama tempat “Dolly“.
Demikian pula, ada sejumlah tempat lainnya yang pada akhirnya meninggalkan image yang “menakutkan“ seperti kota Port Moresby, Papua New Guinea. Kota ini menduduki peringkat pertama yang paling menakutkan dan tidak direkomendasikan untuk dikunjungi. Konon di kota tersebut, lebih dari 115 penderita HIV muncul tiap bulannya, kota ini menjadi top list tempat terburuk untuk tinggal di dunia, berdasarkan voting intelegen ekonomi pada tahun 2004. Populasi bertambah banyak tidak terkontrol disini, kasus pemerkosaan, pencurian mencapai angka tertinggi 23 kali lipat dari London. Terdapat Geng yang terkenal yang telah berhasil mencuri uang di bank dengan senapan M16. jika anda tak berhasil mencari souvenir disini, jangan kuatir karena setiba dirumah anda akan mendapatkan souvenir penyakit yang telah anda bawa bersama tubuh anda. Sungguh menakutkan. Demikian pula kota yang menduduki urutan kedua yang paling “menakutkan“ adalah Linfen, China. Syahdan, Di kota terbesar penduduknya versi majalah Time ini, sangat sayup dan gelap yang menjadikan kota ini seperti neraka. Udara disini penuh dengan polusi batubara, dan jalan yang sangat padat akan emisi. Anda harus menjauh, walaupun anda telah memakai masker, karena itu tidak bisa menyelamatkanmu, menjauhlah dan jangan pernah kembali ke kota ini.

Fenomena seperti itu, berlaku juga di beberapa wilayah di Jepang. Sepertri halnya di negara luar, hal yang sama pun terjadi di Jepang. Seperti tempat kami tinggal sekarang, yaitu wilayah Tengachaya Nishinari-ku di Osaka, ternyata bagi sebagaian besar orang Jepang yang sempat saya wawancarai menjelaskan bahwa tempat berkumpulnya para tunawisma dan banyak kejahatan. Hal ini terjadi tidak ujug ujug tapi diakibatkan suatu hal yang yang “dipaksa“ oleh lingkungan dan tuntutan hidup.
Syahdan, ketika Jepang membangun, terutama menjelang olimpiade tahun 1965, banyak memerlukan buruh kasar untuk proses pembangunan tersebut. Salah satunya adalah pembangunan jalur shinkansen*) yang menghubungkan Osaka dan Tokyo, kemudian jalur jalur berikutnya antara kota yang satu dengan yang lainnya. Untuk pembangunan ini, banyak didatangkan para buruh kasar dari berbagai pelosok Jepang, termasuk juga pegawai kasar dari luar negeri seperti Cina, Korea, dan Taiwan. Untuk menunjang kelancaran proyek tersebut, banyak didirikan losmen, hotel, dan penginapan lainnya yang berpusat di wilayah Tengachaya. Oleh sebab itu, ketika pembangunan itu berlangsung, daerah Tengachaya banyak dihuni oleh para imigran dalam dan luar negeri. Ketika proyek proyek itu selesai, diantara para buruh tersebut ada yang pulang lagi ke kampungnya, dan ada pula yang terus menetap. Bangunan yang berdiri masih pada kokoh saat ini merupakan saksi mati, betapa dasyatnya Jepang membangun diri menyiapkan olympiade itu agar bisa ditunjang dengan fasilitas yang memadai dan layak sehingga orang orang yang datang menyaksikan kegiatan spektakuler itu bisa terpuaskan.

Di satu sisi, pembangunan berhasil, tapi disisi lain mengakibatkan masalah sosial, yaitu terjadi pengangguran akibat proyek proyeknya sudah tuntas. Mereka yang “tidak tahan banting“ banyak yang mengambil jalan pintas untuk mengisi perutnya, yaitu dengan melakukan perampokan, penjambretan, dan bentuk kejahatan lainnya. Oleh sebab itu, katanya 20 tahun yang lalu, daerah ini merupakan daerah paling tidak aman di Osaka. “jangan sekali kali perempuan lewat daerah ini pada malam hari kalau tidak mau diperkosa“, demikian teman saya menjelaskannya. Meskipun kurang lebih sudah 20 tahun berlalu, tapi image tersebut masih melekat di sejumlah orang Jepang.
Ihwal Tengachaya Nishinari-ku Osaka
Wilayah ini berada di arah selatan dari Namba yang menjadi pusat kota Osaka. Menurut sejarahnya, nama Tengachaya ini berasal dari penemuan seseorang yang menyatakan bahwa kualitas air di daerah ini sangatlah baik, lalu dibukalah lahan perkebunan ocha (teh). Pantesan nama tempat ini ditulis dengan kanji 天下茶屋. Ketika Toyotomi Hideyoshi mampir ke daerah ini, sering dijadikan upacara minum teh, yang saat ini dikenal dengan sebutan cha no yu*). Ketika itu, Toyotomi Hideyoshi sangat terkesan akan rasa teh yang dihasilkan di daerah ini, lalu salah seorang anak buahnya berdiri dan dia nyatakan bahwa daerah ini kita sebut Tengachaya.
Meskipun daerah ini berada di wilayah pusat kota, namun saya lihat pembangunan wilayahnya cukup berbeda dengan daerah Namba, Umeda, dan sekitar Stasiun Osaka. Bangunan di daerah ini relatif “kumuh“, dan tidak banyak bangunan pencakar langit. Paling tinggi sekitar 15 lantai. Pemerintah setempat sedang merancang pembangunan untuk mengubah daerah ini semisal semakin banyaknya wilayah perumahan.

Memang diakui oleh salah seorang penghuni yang sudah lama tinggal di daerah ini bahwa Tengachaya merupakan daerah yang dicap oleh masyarakat Jepang lainnya adalah daerah yang kurang aman? Apakah benar tidak aman? Apakah benar banyak tunawisma? Apakah benar kalau jalan malam hari itu bahaya? Photo photo terlampir adalah gambaran kondisi Tengachaya saat ini yang saya ambil dari web Tengachaya. Di bangunan ini dilengkapi dengan beberapa permainan olahraga futsal untuk dewasa dan anak anak. Bila dibandingkan dengan kondisi beberapa tahun yang silam, daerah ini menunjukkan perkembangan yang bagus dan bisa menciptakan rasa nyaman dan aman. Di sekitar setasiun didirikan rumah sakit. Ciri khas daerah ini yaitu masih dipertahankannya alat tranfortasi yang tradional seperti trem tradisional yang disebut Chinchin densha.
Asrama Tempat Tinggal JBIP 2015
Asrama tempat peserta JBIP (termasuk tempat tinggal saya sendiri) berlantai 3, banyak kamar 22 buah. Saya sendiri menempati kamar B 101 berada di lantai 1, dan para peserta JBIP menempati lantai 2, dan 3. Setiap lantai dilengkapi dengan toilet dan wastapel, sedangkan untuk kamar mandi hanya ada dua dan berada di lantai 1 mengapit dapur. Fasilitas lainnya TV, WIFI, jaringan intrenet LAN, perlengkatan masak, dapur, kulkas, dan perlengkapan makan. Sedangkan di kamar, disediakan kasur, selimut, dan bantal, dan AC yang dwifungsi. Kalau musim panas bisa mengeluarkan suhu dingin, tapi kalau musim dingin bisa mengeluarkan suhu panas.
Para peserta JBIP menempati satu kamar satu orang. Harga sewa untuk program ini sebesar 450.000 yen (kurang lebih Rp. 51.300.000) untuk satu bulan.Kata pengelolanya, biasanya dihuni oleh orang Jepang dan kadang kadang sering juga oleh orang asing. Tapi untuk program JBIP semuanya dikontrak selama satu bulan. Jadi, tidak ada orang lain kecuali para perta JBIP 2015. Hal yang sama dilakukan pula untuk JBIP 2014, dan tahun 2014 pun saya sendiri menempati kamar yang sama.
Di asrama ini tidak ada petugas khusus yang membersihkan kamar maupun fasilitas umum. Mengenai kebersihan ini dibebankan kepada pemakainya. Untuk itu, JBIP 2014 maupun JBIP 2015 telah mengatur sedemikian rupa dengan pembagian tugas kebersihan (jadual piket). Intinya kamar sendiri dibersihkan oleh sendiri, sedangkan fasilitas umum seperti dapur, toilet, tempat mandi, buang sampah, dan cek pintu (terkunci atau tidaknya), diatur dengan bergiliran, termasuk juga masak memasak. Pada prinsifnya untuk makan pagi, diusahakan di asrama, makan siang bawa bekal, dan makan malam masak sendiri. Ini perlu dilakukan sebab pihak perusahaan, pada dasarnya tidak menfasilitasi dan tidak mengeluarkan dana lagi selain dana bantun sebesar 150.000 yen. Pada kenyataannya, ada peserta JBIP yang bernasib baik seperti di Tenso Gakuen, mereka yang training di sini tidak perlu bawa bekal makan siang karena sudah disediakan oleh pihak sekolah. Ada juga peserta yang sering ditraktir makan oleh pihak perusahaan untuk makan siang. Namun pada umumnya harus membawa sendiri dan kekurangan lainya harus ditanggung sendiri (termasuk tranfortasi dari tempat tinggal ke tempat training).
Osaka, 19 Mei 2015

Catatan:
*)Sentou adalah tempat pemandian air panas untuk umum di Jepang. Orang yang ingin mandi dipungut biaya masuk. Pria dan wanita mandi di kamar mandi terpisah. Satu bak mandi digunakan untuk mandi berendam bersama-sama oleh beberapa orang sekaligus.
*)Pachinko adalah permainan ketangkasan asal Jepang yang digunakan sebagai bentuk rekreasi permainan arkade atau sebagai mesin perjudian. Mesin pachinko menyerupai mesin pinball yang diletakkan vertikal, tapi tidak memiliki flipper seperti halnya mesin pinball, sedangkan bola yang dipakai adalah bola-bola logam berukuran kecil dalam jumlah besar.
*) Shinkansen adalah jalur kereta api cepat Jepang yang dioperasikan oleh empat perusahaan dalam grup Japan Railways. Shinkansen merupakan sarana utama untuk angkutan antar kota di Jepang, selain pesawat terbang. Kecepatan tertingginya bisa mencapai 300 km/jam. Nama Shinkansen sering digunakan oleh orang-orang di luar Jepang untuk merujuk kepada kereta apinya, namun kata ini dalam bahasa Jepang sebenarnya merujuk kepada nama jalur kereta api tersebut. Shinkansen dibuka pada 1 Oktober 1964 untuk menyambut Olimpiade Tokyo. Jalur ini langsung sukses, melayani 100 juta penumpang kurang dari 3 tahun sejak dibuka pada tanggal 13 Juli 1967, dan melayani satu miliar penumpang pada 1976. Pada mulanya Shinkanshen dari Tokyo ke Shin-Osaka (515,4 km) memakan waktu kira-kira 4 jam. Pada 1992, Shinkanshen model baru ‘Nazomi’ yang dapat menghasilkan kecepatan 270 km/j telah menghasilkan perjalanan yang singkat. Rancangan penggunaan landasan kereta api linear motor car pada abad ke-21 yang akan datang ini diharapkan akan menambah kecepatan Shinkanshen.
*) Cha no yu (upacara minum teh (茶道 sadō, chadō?, jalan teh) adalah ritual tradisional Jepang dalam menyajikan teh untuk tamu. Pada zaman dulu disebut chatō (茶の湯?) atau cha no yu. Upacara minum teh yang diadakan di luar ruangan disebut nodate.Teh disiapkan secara khusus oleh orang yang mendalami seni upacara minum teh dan dinikmati sekelompok tamu di ruangan khusus untuk minum teh yang disebut chashitsu. Tuan rumah juga bertanggung jawab dalam mempersiapkan situasi yang menyenangkan untuk tamu seperti memilih lukisan dinding (kakejiku), bunga (chabana), dan mangkuk keramik yang sesuai dengan musim dan status tamu yang diundang.Teh bukan cuma dituang dengan air panas dan diminum, tapi sebagai seni dalam arti luas. Upacara minum teh mencerminkan kepribadian dan pengetahuan tuan rumah yang mencakup antara lain tujuan hidup, cara berpikir, agama, apresiasi peralatan upacara minum teh dan cara meletakkan benda seni di dalam ruangan upacara minum teh (chashitsu) dan berbagai pengetahuan seni secara umum yang bergantung pada aliran upacara minum teh yang dianut.
Seni upacara minum teh memerlukan pendalaman selama bertahun-tahun dengan penyempurnaan yang berlangsung seumur hidup. Tamu yang diundang secara formal untuk upacara minum teh juga harus mempelajari tata krama, kebiasaan, basa-basi, etiket meminum teh dan menikmati makanan kecil yang dihidangkan.
Pada umumnya, upacara minum teh menggunakan teh bubuk matcha yang dibuat dari teh hijau yang digiling halus. Upacara minum teh menggunakan matcha disebut matchadō, sedangkan bila menggunakan teh hijau jenis sencha disebut senchadō.
Dalam percakapan sehari-hari di Jepang, upacara minum teh cukup disebut sebagai ocha (teh). Istilah ocha no keiko bisa berarti belajar mempraktekkan tata krama penyajian teh atau belajar etiket sebagai tamu dalam upacara minum teh.

 
Sumber: http://berita.upi.edu/?p=4139 [19 Mei 2015]