Ingin Maju, Tirulah Jepang

Laporan dan WAKHUDIN dan AHMAD DAHIDI

MUNGKINKAH Indonesia menjadi negara maju sebagaimana Amerika Serikat, atau seperti negara yang tergabung dalam Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, atau Cina? Kenapa tidak? Pasti bisa. “Kita sama-sama manusia. Kita sama-sama makan nasi. Maka apa yang bisa dicapai manusia yang satu dapat pula dicapai manusia yang lainnya,” kata Prof. Masami Nakahashi, Presiden Osaka in The World saat berdiskusi tentang peluang kebangkitan Indonesia menuju negara maju dan memenangi globalisasi, di Kota Sakai, Osaka, Jepang, Rabu (1/4/ 2015).

Menurut Nakahashi, Jepang menjadi bangsa dan negara maju bukan terjadi begitu saja (taken for granted), melainkan melalui proses yang panjang dan mengalami jatuh-bangun. Jepang harus melakukan politk isolasi diri selama beberapa ratus tahun sebelum akhirnya dipaksa membuka diri terhadap pasar global melalui Restorasi Meiji. Bangsa Jepang menyadari bahwa untuk memenangi persaingan global tidak cukup berdiam diri, melainkan harus mengejar ketertinggalan dari bangsa lain yang lebih dahulu maju.

Maka, Jepang kemudian berketetapan hati meniru Jerman agar bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa lain yang lebih maju. Jepang berusaha sekuat tenaga meniru Jerman dengan melakukan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi. Begitulah proses kreativitas dan inovasi. Dimulai dari meniru, terus meniru, kemudian melakukan perubahan sedikit demi sedikit, sehingga akhirnya bangsa Jepang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Kebiasaan untuk berkreasi dan berinovasi lama-lama menjadi kepribadian. Hasilnya, inilah Jepang yang bisa dilihat sekarang.

“Padahal, Jepang merupakan negara miskin. Kita tidak memiliki sumber daya apa pun. Sumber alam kita tidak memberikan hasil sebagaimana negara lain. Indonesia, misalnya, sangat kaya raya. Apa pun tumbuh subur, kekayaan alamnya ada di darat, laut, dan perut bumi melimpah. Demikian juga negara lain tetangga Jepang. Oleh karena itu, meskipun Jepang menjadi negara maju, pada hakikatnya kita tidak bisa hidup sendirian. Kita harus hidup berdampingan, saling bantu membantu,” kata Nakahashi.

Jepang sangat berkepentingan melakukan persahabatan dengan negara lain, khususnya negara tetangga di Asia Pasifik, kata Nakahashi. Sebab, abad ini merupakan eranya Asia. Oleh karena itu, Jepang berharap, yang maju tidak hanya bangsa Negeri Sakura tapi juga semua negara di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia. Dengan menjadi negara maju secara bersama-sama, maka satu negara dengan negara lainnya dapat saling membantu, saling menolong, dan saling menjaga perdamaian yang sejati.

Kembali ke pertanyaan, mungkinkah Indonesia menjadi negara maju? Kenapa tidak, kata Nakahashi menegaskan. Indonesia harus melakukan langkah yang sama dengan Jepang yaitu meniru serta melakukan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi dari negara maju. Meniru Jerman sebagaimana Jepang juga menjadi sebuah pilihan. Mungkin juga meniru negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa atau Amerika. Tapi secara geografis, meniru negara di Eropa atau Amerika Serikat terlalu jauh. Di samping itu, secara sosiologis, budaya Indonesia dengan Barat relatif berbeda.

Justru kalau Indonesia meniru Jepang, lebih memungkinkan. Secara geografis, Indonesia dengan Jepang relatif dekat, karena masih dalam kawasan Asia Pasifik. Di samping itu, secara sosiologis, sejarah hidup orang Jepang dengan Indonesia juga memiliki kemiripan. Kalau bangsa Indonesia meniru Jepang relatif lebih mudah dibandingkan jika bangsa Indonesia meniru Barat.

Sejarah kemerdekaan Republik Indonesia 1945 membuktikan bahwa para pendiri bangsa (founding fathers) berani mendeklarasikan kemerdekaan RI banyak terinspirasi oleh keberanian tentara Jepang. Setelah belajar kepada Jepang, Soekarno dan Hatta akhirnya berani mendeklarasikan kemerdekaan RI di Jln. Kebangsaan Timur Jakarta, 17 Agustus 1945.

Tentara Nasional Indonesia yang dipimpin Jenderal Besar Soedirman juga banyak belajar dari Dai Nippon. Setelah Jepang menduduki Hindia Belanda tahun 1942, Soedirman tahun 1944 bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang disponsori Jepang sebagai Komandan Batalion di Banyumas, Jawa Tengah. Namun, Soedirman bersama rekannya sesama prajurit melakukan pemberontakan. Dia kemudian diasingkan ke Bogor. Setelah Indonesia merdeka, Soedirman melarikan diri dari pusat penahanan, pergi ke Jakarta bertemu dan bergabung dengan Presiden Soekarno.

Saat Belanda memboceng Sekutu ingin kembali menjajah NKRI, Jenderal Soedirman bersama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) memilih bergerilya daripada berkompromi dengan Sekutu. Dengan belajar dari keberanian tentara Jepang, Jenderal Soedirman bersama para gerilyawan dapat melakukan Serangan Oemoem ke Yogyakarta tahun 1949 sehingga Belanda dan Sekutu akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia.

Kini, Indonesia adalah negara merdeka dan independen sebagaimana Jepang atau negara lain yang merdeka. Indonesia bebas memilih pereferensi “mazhab”-nya dalam membangun. Jika Indonesia memilih Jepang sebagai “kiblat” pembangunannya, maka sesungguhnya Indonesia memilih jalan yang paling mungkin dan sesuai dengan histori bangsa Indonesia dalam proses kemerdekaan.

Memilih “mazhab” Jepang, tentu saja, bukan berarti Indonesia menjadi subordinat Jepang, melainkan sekadar memilih fokus pembelejaran menuju Indonesia maju. Sebab, berdasarkan pengalaman Jepang, menuju masyarakat maju memang harus melalui proses duplikasi. Proses duplikasi kemudian dilakukan secara terus menerus dan diulang-ulang, sehingga menjadi kebiasaan (habbit). Kebiasaan berpikir dan berkarya tinggi pada akhirnya menyebabkan pola pikir bangsa Indonesia maju, sehingga mereka terbiasa berpikir kreatif dan inovatif. Saat berpikir kreatif dan inovatif itulah, bangsa Indonesia bisa menciptakan apa pun yang sesuai dengan tantangan yang dihadapi.

Melakukan proses pembangunan dengan berkiblak ke Jepang dilakukan tidak harus melakukan alienasi diri dari bangsa lain. Biarlah bangsa lain memberikan pengaruh kepada bangsa Indonesia. Kalau terdapat nilai positif dari bangsa lain yang dapat menyempurnakan transfer ilmu pengetahuan dari Jepang, kenapa tidak diterima? Lagi pula bangsa Indonesia sudah terlanjur mendeklarasikan diri sebagai negara yang terbuka terhadap pasar global. Dengan demikian, Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh negara lain yang telah memasuki fase yang sama.

Dapat dikatakan, berkiblat ke Jepang dalam proses pembangunan merupakan pilihan utama dan wajib, sedangkan mengambil kebaikan dari proses pembangunan negara lain adalah pilihahan alternatif. Dengan demikian, Indonesia menjadi negara maju dengan model yang berbeda dibandingkan dengan Jepang itu sendiri dan negara-negara Barat. Meski demikian, proses duplikasi serta transfer ilmu pengetahuan dan teknologi dari Jepang harus dilakukan secara konsisten, terus menerus, dengan upaya tanpa henti serta kerja keras, disertai dengan pengawasan yang ketat. Dengan ikhtiar seperti itu dari sekarang, maka cita-cita Indonesia membangun generasi Indonesia Emas tahun 2045 akan tercapai.

 

Sumber: http://berita.upi.edu/?p=3227 [7 April 2015; pk. 06:31]